Rabu, 29 September 2010


METODE DALAM PSIKODIAGNOSTIK


            Dalam bab ini kita akan membahas tentang metode dalam psikodiagnostik. Secara garis beras metode dalam psikodiagnostik dibagi menjadi 2, yaitu metode secara umum dan khusus. Secara umum terdapat nmetode observasi, angket dan wawancara. Secara khusus terdapat metode biografi/riwayat hidup dan test. Selain itu kita juga akan membahas metode-metode lainnya yang berhubungan dengan psikodiagnostik. Yakni :


A.    Metode Observasi

            observasi adalah kegiatan mengenali tingkah laku individu yang biasanya akan diakhiri dengan mencatat hal-hal yang dipandang penting sebagai penunjang informasi mengenai klien.
            Atau, metode observasi adalah metode serba sengaja dan sistematis mengamati aktivitas individu lain.
Pendekatanyang sistematis dalam observasi dikelompokkan berdasarkan pertanyaan ini;
·         Di mana observasi dilakukan?
·         Apa yang diobservasi?
·         Bagaimana observasi dilakukan?
·         Bilamana observasi dilakukan?

            Mengenai dimana observasi dilakukan berhubungan dengan masalah situasi observasi,di golongkan menjadi 3 macam, yakni :
1.      Observasi medan atau alamiah (field setting). Yakni observasi di lapangan atau kancah atau di tempat yang sesungguhnya.
2.      Observasi simulative (simulated setting). Yakni observasi dengan simulasi situasinya. Artinya, situasi observasi bila individu mendapat suatu simulasi (tiruan) atau rangsangan untuk memperoleh tingkah laku tertentu.
3.      Observasi laboratoris (laboratory setting). Ialah observasi dengan situasi laboratorium, sehingga situasinya dapat dikendalikan sepenuhnya oleh observer.

            Masalah apa yang diobservasi berhubungan dengan tingkah laku yang mana yang akan diamati dan dicatat oleh observer. Untuk keperluan ini ada dua jenis observasi, ialah :
1.      Observasi sampel peristiwa (even-sampling), yakni hanya mengamati mengamati beberapa sampel tingkah laku pada saat tertentu.
2.      Observasi sampel waktu (time sampling), yakni mencatat dan mengamati apa saja yang dilakukan individu dalam waktu tertentu.

            Selanjutnya mengenai bagaimana observasi itu dilakukan, maka dilihat dari posisi observer dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni :
1.      Observasi non-partisipan, disini posis observer sebagai penonton,  semacam ada di luar objek yang diamati. Observer tidak ikut serta dalam kegiatan individu yang di observasi. Observasi benar-benar berfungsi sebagai penonton, pengamat dan mencatat tingkah laku yang diobservasi. Atau bisa dikatakan juga, observasi di mana sipenyelidik (observer) tidak ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan oleh yang diobservasi. Jadi si penyelidik berlaku sebagai penonton.[1]
2.      Observasi partisipan, di sini posis observer turut serta dalam kegiatan individu yang diobservasi. Cara ini untuk memperoleh tingkah laku individu yang alamiah atau wajar, tidak dibuat-buat, tidak dilandasi oleh rasa curiga atau rasa sedang diamati. Atau, observasi dimana si penyelidik ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan oleh subyek yang diselidiki. Jadi disini si penyelidik tidak berlaku sebagai penonton, melainkan sebagai pelaku atau peserta.[2]
3.      Observasi dalam situasi eksperimental, pada dasarnya eksperimen adalah dengan sengaja menimbulkan gejala tertentu untuk dapat diobservasi. Kecuali penimbulan gejala dengan sengaja itu di dalam situasi eksperimental hal-hal yang harus diobservasi itu banyak kali telah dipilih/ditentukan. Pengembanagn metode ini makin lama makin intensif karena ternyata memang sangat beasr kegunaannya.

            Jika dilihat dari segi pencatatan hasil-hasil observasi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1.      Observasi dengan pencatatan langsung ( immediate recording ), artinya segera setealah observasi dilakukan atau ketika pengamatan sedang berlangsung , observer membuat catatan-catatan yang diperlukan.
2.      Observasi dengan pencatatan retrospektif ( retrospective recording ), yaitu pencatatan setelah observasi selesai.

            Secara ringkas metode observasi dalam psikodiagnostik dapat dikatakan bahwa umunya sebagai pelengkap atau pengontrol bagi metode-metode yang lain, namun kadang-kadang peranannya begitu menonjol, sehingga dapat bersifat menentukan.

B.     Metode Angket

            Metode angket dan wawancara mempunyai persamaan dasar, yaitu keduaduanya mendasarkan diri kepada data yang berwujud laporan (verbal report) dari subjek yang diselidiki. Laporan itu dapat berbentuk tertulis (pada angket), dapat pula berbetuk lisan (pada wawancara). Karena kesamaan yang demikian itu, maka di sini kedua metode itu dibicarak berurutan.
            Angket adalah daftar pertanyaan yang harus dijawab dan atau daftar isian yang harus diisi yang berdasarkan kepada sejumlah subjek, dan berdasarkan atas jawaban dan atau isian itu penyelidik mengambil kesimpulan mengenai subjek yang diselidiki.

Angket sering digolong-golongkan sebagai berikut:
1.      Berdasarkan atas siapa yang harus menjawab atau yang mengisi angket itu, angket dibedakan menjadi:

·         Angket langsung, yaitu kalau yang menjawab atau mengisi angket itu adalah subjek yang diselidiki sendiri (bukan orang lain).
·         Angket tak langsung, yaitu kalau yang harus menjawab atau mengisi angket itu bukan si subjek yang diselidiki sendiri melainkan orang lain.

2.      Berdasar atas bentuknya angket dibedakan menjadi:

·         Angket bentuk terbuka, yaitu kalau dalam angket itu belum dibatasi bagaimana jawabannya.
·         Angket bentuk tertutup, yaitu kalau jawaban atau isian telah dibatasi atau ditentukan.

3.      Berdasar atas aspek-aspek kepribadian yang diselidiki dibedakan menjadi:

·         Angket umum, yaitu angket yang bertujuan untuk mendapatkan data yang selengkap mungkin mengenai subjek yang diselidiki.
·         Angket khusus, yaitu angket yang bertujuan untuk mendapatkan data mengenai gejala-gejala atau aspek-aspek kepribadian khusus.

            Dalam psikodiagnostik metode angket sering digunakan untuk tujuan mendapatkan pedoman-pedoman umum untuk tindakan diagnostic selanjutnya. Dalam keadaan khusus, angket sering dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum (psikografi) supaya dapat mendapatkan kedudukan gejala khusus yang dihadapi pada tempat yang sebenarnya. Data-data ini sering mempunyai nilai diagnostic yang tinggi.

C.    Metode wawancara

            Wawancara adalah metode yang mendasarkan diri pada laporan verbal (verbal report) di mana terdapat huvungan langsung antar si penyidik dan subjek yang diselidiki. Jadi dalam metode ini ada “face to face relation” antara penyelidik dan yang diselidiki.
            Sedangkan menerut sundberg (1977) wawancara adalah “ interview is a sharing of perspectives and information between to people metting together”. Jadi dalam wawancara akan terjadi peretukaran pandangan dan informasi antara dua orang yang bertemu.[3]
            Jika dilihat dari tujuan wawancara dapat dibedakan menjadi 3 macam wawancara, ialah sebagai berikut :
1.      Wawancara untuk aplikasi organisasi, industry (personal interview). Misalnya, wawancara dalam seleksi calon karyawan pabrik.
2.      Wawancara untuk aplikasi klinis (clinical interview). Misalnnya wawancara riwayat, keluhan dan riwayat hidup klien.
3.      Wawancara untuk aplikasi riset (research interview). Misalnya di bidang riset atau survey.

Sedangkan menurut bentuknya dapat di golongkan menjadi 3 macam, yakni :
1.      Wawancara tak berstruktur atau bebas (non-struktured interview). Yaitu wasancra di mana arah pembicaraan sekehendak, tidak terbimbing ke sesuatu tema pokok tertentu.
2.      Wawancara berstruktur (structured interview). Yaitu wawancra di mana hal-hal yang akan dibicarakan telah ditetentukan terlebih dahulu.
3.      Wawancara terarah. Merupakan synthese dari kedua bentuk wawancra yang telah dibicarakan itu. Dimulai dengan bentuk tak berstruktur, selanjutnya diikuti oleh wawancara berstruktur.

            Wawancara mempunyai peran penting dalam psikodiagnostik sebagai metode untuk mendapatkan data maupun mencocokkan konstansiyang telah ditetapkan berdasar atas metode-metode lain. Terutama dalam keadaan-keadaan di mana diperlukan perlakuan secara individual , metode wawancara ini mempunyai peran yang sangat besar.




D.    Riwayat Hidup

            Riwayat hidup atau latar belakang kehidupan  (life history), dapat sebagai suatu proses perkembangan dalam jangka panjang yang terjadi dalam satu kurun waktu kehidupan seseorang. Keinston dan Sunberg mengajukan tiga hal yang termasuk dalam riwayat hidup, yakni sebagai berikut :
1.      Menelusuri tema hidup seseorang.
2.      Menelusuri sebab-sebab terjadinya gangguan psikis/keluhan (search of etiology).
3.      Menelusuri dugaan atau ramalan (prediksi).

Data riwayat hidup itu juga dapat diriset dengan metode :
1.      Metode longitudinal, ialah menelusuri latar belakang kehidupan subjek dalam kurun waktu tertentu yang berturut-turut. Atau bisa juga di katakana bahwa metode longitudinal adalah pendekatan dalam penelitian yang dilakukan dengan cara menyelidiki individu dalam jangka waktu yang lama.[4]
2.      Metode kasus silang, ialah menelusuri latar belakang kehidupan subjek dalam satu periode saja, kemudian dibandingkan dengan kriterium atau subjek lain dalam periode waktu yang sama.


E.     Metode Pengumpulan Bahan-Bahan

            Bahan-bahan yang digunakan seseorang atau yang dihasilkan olehnya sebagai buah karyanya, sering kali mempunyai nilai diagnostic yang penting.
            Bahan-bahan yang dapat dikumpulkan dan selanjutnya digunakan dalam diagnosis psikologis itu secara garis besar dapat digolongkan demikian.
1.      alat-alat permainan
            Permainan sebagai metode penyelidikan bersangkutan langsung dengan observasi. Biasanya si subjek dibiarkan atau disuruh melakukan permainan itu dan diobservasi bagaimana dia melakukan permainana tersebut. Cara ini sering dipilih, karena dalam suasana bermain itu jiwa si subjek yang diselidiki bebas, tanpa syak wasangka sehingga dia akan bertingkah laku wajar. Akhir-akhir ini mulai dilakukan sebagai teknik terapi yang dasar teoritisnya sebenarnya sama dengan psikodrama dan sosiodrama..
2.      hasil karya
            Hasil karya seseorang dapat dipandang sebagai pengabdian dari pada sebagian tingkah lakunya, karena prestasi dihasilkan dari kegiatan. Karena itu hasil karya dapat dipakai sebagai salah satu metode untuk mengungkap keadaan atau sifat-sifat psikis seseorang. Beberapa diantara hasil karya yang banyak digunakan penyelidikan psikologis adalah : puisi, prosa, gambaran, dan tulisan tangan.
            Dalam peraktek psikodiagnostik metode ini lebih boleh dikatakan hampi selalu hanya sebagai pelengkap bagi metode-metode lain


F.     Metode Biografis/Analisis Dokumen Pribadi

            Metode ini memang jarang dipakai dan hanya dipakai untuk kasus-kasus tertentu, tetapi jika dipakai ada juga manfaatnya untuk menambah pengertian dan kejelasan mengenai kepribadian subjek.
            Secara etimologis metode biografis adalah metode yang menggunakan bahan-bahan yang berwujud tulisan mengenai kehidupan subjek yang diselidiki, baik tulisan itu di buat oleh si subjek sendiri, maupun di buat oleh orang lain. Bahan-bahan biografis yang banyak dipergunakan dalam penyelidikan adalah:
1.      Biografi, yaitu tulisan mengenai peri kehidupan yang di buat (di tulis) oleh orang lain sering bermanfaat dalam pengungkapan kepribadian seseorang. Hanya saja kiranya mudah dimengerti bahwa tulisan ini sangat dipengaruhi oleh sikap dan penilaian penulis terhadap orang yang ditulis biografisnya.
2.      Otobiografi adalah biografi yang ditulis sendiri oleh subjek yang bersangkutan. Kiranya mudah sekali di mengerti, bahwa entah dengan sengaja atau tidak, oaring akan berusaha menyembunyikan kelemahan-kelemahannya dalam tulisan tersebut.
3.      Buku harian, biasanya berisikan ha-hal yang bersifat pribadi dan biasanya yang dianggap rahasia oleh yang bersangkutan.
4.      Kenang-kenangan masa muda, ini kebanyakan dibuat oleh mereka yang telah melewati setengah umur. Orang-orang yang telah merasa tua, yang menyadari bahwa akhir hidupnya pada suatu ketika akan tiba juga, sering kali menoleh ke masa lampau (masa mudanya). Kenang-kanangan yang demikian itu tentu dapat merupakan sumber data penyelidikan psikologis yang sangat berharga.
5.      Case history, merupakan penggunaan berbagai sumber biografis dan masa lampau untuk keperluan analisa sesuatu gejala. Berbagai sumber yang mungkin dapat ikut menerangi sesuatu didalam yang sedang dihadapi (ditackle) itu dipergunakan.

            Bahan-bahan biografis biasanya merupakan pelengkap dan penyempurna. Bagi data yang dipelengkap sampai dengan metode-metode lain. Secara routine, sebenarnya bahan-bahan biografis itu selalu dibuthkan, hanya saja sering kali pencarian data tersebut tidak sejauh yang telah dibicarakan di atas. Malah terkadang bisa hanya terbatas pada : tanggal lahir, tempat asal, pendidikan. Dalam keadaan-keadaan dimana terdapat kelainan hampir selalu diperlukan bahan-bahan biografis itu untuk lebih menerangi persoalannya.


G.    Metode Test

            Tes berasal dari bahasa latin Testum, yaitu alat untuk mengukur tanah. Dalam bahasa perancis kuno kata test berarti ukuran yang dipergunakan untuk membedakan emas dan perak dari logam-logam yang lain. Lama kelamaan arti test menjadi lebih umum. Di dalam lapangan psikologi kata test mula-mula digunakan oleh J.M. CATTEL pada tahun 1890, dan sejak saat itu makin popular sebagai nama metode psikologis yang dipergunakan untuk menentukan (mengukur) aspek-aspek tertentu daripada kepribadian.
            Test adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dan atau perintah-perintah yang harus dijalankan, yang berdasar atas bagaimana testee menjawab pertanyaan-pertanyaan dan atau melakukan perintah-perintah itu penyelidik mengambil kesimpulan dengan cara membandingkannya dengan standart testee yang lain[5]
Test psikologis sebagai alat pembanding atau “pengukur” supaya dapat menjalankan fungsinya secara baik haruslah memenuhi syarat tertentu. Adapun syarat-syarat test yang baik itu adalah sebagai berikut :
1.      Test itu harus valid.
2.      Test itu harus reliable.
3.      Test itu harus di standardisasikan.
4.      Test itu harus obyektif.
5.      Test itu harus diskriminatif.
6.      Test itu harus comprehensive.
7.      Test itu harus mudah digunakan.




DAFTAR PUSTAKA



Anastasi, Anne. 2007. Tes Psikologi. Jakarta : PT. Indeks.


Desmita. 2008. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT. Remaja Karya.


Ki fudyartanta. 2009. Pengantar Psikodiagnostik. Yogyakarta : Pustaka pelajar.


Suryabrata, 1990. Pembimbing Ke Psikodiagnostik. Yogyakarta : Rake Sarasin




[1] Suryabrata, Pembimbing ke Psikodiagnostik (yogyakarta : Rake Sarasin 1990 ) hlm. 7
[2] Ibid,,. hlm. 8
[3]Ki fudyartanta, Pengantar Psikodiagnostik (yogayakarta : pustaka pelajar 2009) hlm. 23
[4] Desmita, Psikologi perkembangan, (Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA 2008) hlm. 61-62
[5] Log cit,.. hlm. 22

Rabu, 01 September 2010

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Anthropology berarti “ilmu tentang manusia” dan adalah suatu istilah yang sangat tua. Dahulu istilah itu dipergunakan dalam arti yang lain, yaitu “ilmu tentang cirri-ciri tubuh manusia” (malahan pernah juga dalam arti “ilmu anatomi”).
Dalam makalah kami ini membahas tentang system religi atau agama. Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mangkin hanya berlangsung beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang. Emosi keagamaan inilah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi. Selebihnya lebih lengkap ada pada makalah kami yang membahas tentang pengertian religi, pengertian system religi, dan unsur-unsur religi.


B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Religi atau Agama?
2. Apa pengertian system Religi atau Agama?
3. Apa unsur-unsur Religi atau Agama? 

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Religi atau Agama
2. Untuk mengetahui pengertian Religi atau Agama
3. Untuk mengetahui unsur-unsur Religi atau Agama




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Agama atau Religi.

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta agama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Dengan kata singkat, definisi agama menurut sosiologi adalah agama yang evaluatif (menilai). Ia “angkat tangan” mengenai hakikat agama, baiknya atau buruknya agama atau agama-agama yang tengah diamatinya. Dari pengamatan ini ia hanya sanggup memberikan definisi yang deskriptif (menggambarkan apa adanya), yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluknya.
Dalam kaitan ini harus ditegaskan lagi bahwa aliran fungsionalisme dengan sengaja dan sebagai prinsip memberikan sorotan tersendiri serta tekanan khusus atas apa yang ia lihat dari agama. Agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi), agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun mondinal. Maka dalam tinjauannya yang dipentingkan ialah daya guna, dan pengaruh agama terhadap masyarakat, sehingga bakat eksistensi dan fungsi agama (agama-agama) cita-cita masyarakat (akan keadilan dan kedamaian, dan akan kesejahteraan jasmani dan rohani) dapat terwujud.
Menurut William James, definisi tentang agama, membuang aspek-aspek agama yang bersifat universal, sosial dan institusional yang justru merupakan perhatian utama sarjana sosiologi.
Agama dipandang dari segi keadaan manusianya adalah gejala yang begitu sering “terdapat di mana-mana” sehingga sedikit membantu usaha kita untuk membuat abstraksi ilmiah. Agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta.


B. Sistem Religi

Perhatian ilmu antropologi terhadap religi sejak lama, ketika ilmu antropologi belum ada. Dan hanya merupakan suatu himpunan tulisan. Mengenai adat-istiadat yang aneh-aneh dari suku-suku bangsa di luar Eropa, religi telah menjadi suatu suku-suku bangsa di luar Eropa, religi telah menjadi suatu pokok penting dalam buku-buku para pengarang tulisan-tulisan etnografi mengenai suku-suku bangsa itu. kemudian, waktu bahan etnografi tersebut digunakan secara luas oleh dunia ilmiah, perhatian terhadap bahan mengenai upacara keagamaan itu sangat besar. Sebenarnya ada 2 hal yang menyebabkan perhatian yang besar itu yaitu:
1. Upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak paling lahir:
2. Bahan etnografo mengenai upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori-teori tentang asal-mulanya teligi.
Para pengarang etnografi yang datang dalam masyarakat. suatu suku bangsa tertentu, akan segera tertarik akan upacara-upacara keagamaan suku bangsa itu, karena upacara-upacara itu pada lahirnya tampak berbeda sekali dengan upacara keagamaan di Eropa itu sendiri, yakni agama Nasrani, hal-hal yang berbeda itu dahulu dianggap aneh, dan justru karena keanehannya itu menarik perhatian. Masalah asal-mula dari suatu unsur universal seperti religi, artinya masalah mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib yang dianggapnya lebih tinggi dari padanya, dan mengapa manusia itu jmelakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna, untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah lama menjadi pusat perhatian banyak orang di Eropa, dan juga dari dunia ilmiah pada umumnya.
Dalam usaha memecahkan masalah asal-mula religi, para ahli biasanya menganggap religi suku-suku bangsa di luar Eropa sebagai sisa-sisa dari bentuk-bentuk religi yang kuno, yang dianut oleh seluruh umat manusia dalam zaman dahulu, juga oleh orang Eropa ketika kebudayaan mereka masih berada pada tingkat yang primitif.


C. Unsur-Unsur Khusus.

Dalam rangka sistem religi 1) sistem religi, 2) sistem ilmu ghaib. Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan, atau religious emotion. Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja. Untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi, suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk memelihara emosi keagamaan itu di antara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu religi. Bersama dengan unsur-unsur lain yaitu:
1. Sistem keyakinan
2. Sistem upacara keagamaan
3. Suatu umat yang menganut religi itu.

Adapun sistem kepercayaan dan gagasan, pelajaran, aturan agama, dongeng suci tentang riwayat dewa-dewa (mitologi). Biasanya tervantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap sebagai kesusastraan suci.
Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung 4 aspek yang menjadi perhatian khusus dari para ahli antropologi :

1. Tempat upacara keagamaan dilakukan
2. Saat-saat upacara keagamaan dijalankan
3. Benda-benda dan alat-alat upacara
4. Orang-orang yang melakukan dan memimpin
Aspek pertama berhubungan dengan tempat-tempat keramat di mana upacara dilakukan, yaitu: makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid dan seterusnya.
Aspek ke dua adalah aspek yang mengenai saat-saat ibadah: hari-hari keramat dan suci dan sebagainya. Aspek ke tiga adalah tentang benda-benda yang dipakai dalam upacara: patung-patung, lonceng suci, genderang suci, dan sebagainya. Aspek ke empat adalah aspek yang mengenai para pelaku upacara keagamaan, yaitu: para pendeta, biksu, syaman, dukun dan lain-lain
Upacara-upacara itu sendiri banyak juga unsurnya, yaitu:

1) Bersaji
2) Berkorban
3) Berdo'a
4) Makan bersama makanan yang telah disajikan dengan do'a ]
5) Menari tarian suci
6) Memainkan seni drama suci
7) Berprosesi atau berpawai
8) Menyanyi-nyayian suci.
9) Berpuasa.
10) Intoksikasi/mengaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk mencapai keadaan trance, mabuk.
11) Bertapa
12) Bersemedi
Diantara unsur-unsur upacara keagamaan tersebut ada yang dianggap penting sekali dalam satu agama, tetapi tidak dikenal dalam agama lain, dan demikian juga sebaliknya. Kecuali itu suatu acara upacara biasanya mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari sejumlah unsur tersebut, misalnya untuk kesuburan tanah, para pelaku upacara dan para pendeta berpawai dahulu menuju ke tempat-tempat bersegi, lalu mengorbankan seekor ayam, setelah itu menyajikan bunga kepada dewa kesuburan, disusul dengan do'a yang diucapkan oleh para pelaku, kemudian menyanyi bersama berbagai nyanyian-nyayian suci, dan akhirnya semuanya bersama kenduri makan hidangan yang telah disilakan dengan do'a.
Sub unsur ketiga dalam rangka religi, adalah sub unsur mengenai umat yang menganut agama/religi yang bersangkutan. secara khusus sub unsur itu meliputi misalnya soal-soal pengikut sesuatu agama, hubungannya satu dengan lain. hubungannya dengan para pemimpin agama, baik dalam saat adanya upacara keagamaan maupun dalam kehidupan sehari-hari dan akhirnya sub-unsur itu juga meliputi soal-soal seperti organisasi dari para umat, kewajiban, serta hak-hak para warganya sistem ilmu ghaib.
Dalam ilmu ghaib sering terdapat konsepsi-konsepsi dan ajaran-ajarannya: ilmu ghaib juga mempunyai sekelompok manusia yang yakin dan yang menjalankan. Ilmu gaib itu untuk mencapai suatu maksud. Upacara ilmu ghaib juga mempunyai aspek-aspek yang sama, ada pemimpin atau pelakunya, dukun, pada saat-saat tertentu yaitu hari-hari keramat, ada peralatan untuk melakukan upacara, ada tempat, tertentu di mana upacara harus dilakukan.
Walaupun pada lahirnya religi dan ilmu ghaib sering kelihatan sama, dan sukar untuk menentukan batas daripada upacara yang bersifat religi dan upacara yang bersifat ilmu ghaib, pada dasarnya ada perbedaan yang besar sekali antara kedua pokok itu. perbedaan dasarnya terletak dalam sikap manusia pada waktu ia sedang menjalankan agama, manusia bersikap menyerah diri kepada Tuhan, kepada dewa-dewa, kepada roh-roh nenek moyang, atau menyerahkan diri kepada kekuatan tinggi yang disembahnya itu.
Dalam hal ini manusia biasanya terhinggap oleh suatu emosi keagamaan. Sebaliknya, pada waktu menjalankan ilmu gaib manusia bersikap lain. ia berusaha memperlakukan kekuatan-kekuatan tinggi dan gaib agar menjalankan kehendaknya dan berbuat apa yang ingin dicapainya.





BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta agama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Perhatian ilmu antropologi terhadap religi sejak lama, ketika ilmu antropologi belum ada. Dan hanya merupakan suatu himpunan tulisan. Mengenai adat-istiadat yang aneh-aneh dari suku-suku bangsa di luar Eropa, religi telah menjadi suatu suku-suku bangsa di luar Eropa, religi telah menjadi suatu pokok penting dalam buku-buku para pengarang tulisan-tulisan etnografi mengenai suku-suku bangsa itu. kemudian, waktu bahan etnografi tersebut digunakan secara luas oleh dunia ilmiah, perhatian terhadap bahan mengenai upacara keagamaan itu sangat besar.
Dalam rangka sistem religi 1) sistem religi, 2) sistem ilmu ghaib. Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan, atau religious emotion. Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja. Untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi, suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk memelihara emosi keagamaan itu di antara pengikut-pengikutnya.





DAFTAR PUSTAKA


James, William. The Variaties of Religious Experience. 1937, New York: Library. Inc

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. 2002, Jakarta: Rineka Cipta

Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat. 1994, Jakarta: Raja Grafindo

O.C., D. Hendropuspito. Sosiologi Agama. 1983, Yogyakarta: Konisius