Senin, 25 Oktober 2010

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara, diantaranya dengan memperhatikan, menghayati, menerangkan apa yang terjadi dalam proses kejiwaan. Akan tetapi tidak ada cara tertentu untuk digunakan dalam semua keadaan karena psoses kejiwaan itu sendiri tidak pernah sama.sewaktu-waktu ia dapat berubah sehingga tidak mungkin membagi-baginy, apalagi hendak memasukkan kejiwaan itu ke dalam golongan-golonngan tertentu.
Pembahasan mengenai metode penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan pengertian tentang bagaimana para psikolog perkembangan melakukan tugas mereka dalam mendapatkan lebih banyak pengertian akan gejala perkembangan serta bagaiman cara mengatasi hambatan dalam proses perkembangan. Menurut Monks, pembahasan tentang metode penelitian ini dapat dibedakan antara pendekatan yang lebih umum dan metode yang lebih spesifik..
Cara yang dipergunakan untuk anak-anak pada dasarnya ada persamaannya dengan cara yang dipergunakan untuk orang dewasa. Penyelidikan anak-anak harus lebih hati-hati dilakukan karena ada perbedaan antara kejiwaan anak-anak dengan kejiwaan orang dewasa.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja metode penlitian yang digunakan dalam psikologi perkembangan?
2. Bagaimana pengertian dari masing-masing metode-metode psikologi permbangan tersebut?

C. Tujuan Penulisan Makalah

1. Untuk dapat mengetahui apa saja metode penelitian yang digunakan dalam psikologi perkembangan.
2. Agar dapat/bisa menerapakan metode-tersebut untuk kedepannya dalam tugas penelitian tentang psikologi perkembangan.
3. Untuk dapat mengetahui berbagai macam metode-metode yang digunakan dalam psikologi perkembangan serta kelebihan dan kekurang dari tiap-tiap metode.




BAB II
PEMBAHASAN

Dalam tulisan ini mengenai metode hanya dimaksudkan untuk memberikan sekedar pengertian bagaimana para psikolog perkembangan melakukan tugas mereka. Beberapa metode dimaksudkan untuk memberikan lebih banyak pengertian akan gejala perkembangan, beberapa metode lain lagi memberikan pengertian bagaimana cara mengatasi hambtan dalam proses perkembangan. Dapat pula dibedakan antara pendekatan yang lebih umum dan metode yang lebih spesifik. Pendekatan yang lebih umum memberikan pengertian akan keseluruhan proses perkembangan atau beberapa aspeknya, misalnya perkembangan intelektual, atau pengertian akan factor endogen dan eksogen bagi perkembangan seseorang.
Termasuk metode yang lebih spesifik adalah cara-cara khusus yang dipakai untuk mengetahui gejala perkembangan yang sedang timbul.
Beikut penjelasannnya ;

A. Metode yang umum :
Metode yang lebih umum mengandung dua pengertian, yaitu :memberikan lebih banyak data mengenai keseluruhan perkembangan atau beberapa aspeknya, dan meninjau pengaruh factor endogen (bawaan) atau eksogen (lingkungan, khususnya kebdayaan) bagi perkembangan seseorang. Yang dimana metode umum ini terdapat 4 metode, yaitu :
a. Metode Kros-seksional
b. Metode Longitudinal
c. Metode Sekuensial
d. Metode Kros-budaya

a. Metode Kros-seksional/Metode Transversal
Metode kros seksional adalah suatu pendekatan yang dipergunakan untuk melakukan penelitian beberapa kelompok anak dalam jangka waktu yang relative singkat.
Atau metode kros-seksional diselidiki orang-orang atau kelompok orang dan tingkatan usia yang berbeda-beda. Dengan mengambil kelompok orang dari tingkatan umur yang berurutanakhirnya dapat diketemukan gambaran mengenai proses perkembangan satu atau beberapa aspek kepribadian seseotang.

b. Metode Longitudinal
Metode Longitudinal adalah pendekatan dalam penelitian yang dilakukan dengan cara menyelidiki anak dalam jangka waktu yang lama.
Dengan pendekatan ini biasanya diteliti beberapa aspek tingkah laku pada satu atau dua orang yang sama dalam waktu beberapa tahun. Dengan begitu akan memperoleh gambaran aspek perkembangan secara menyeluruh.

c. Metode Sekuensial
Mertode sekuensial ini merupakan kombinasi dari metode kros-seksional/tranversal dan metode longitudinal.
Dalam banyak hal, pendekatan ini mulai dengan studi kros-seksional yang mencakup individu dari usia yang berbeda. Berbulan-bulan atau betahun-tahun setelah pengukuran awal, individu yang sama diuji lagi (ini merupakan aspek longitudinal dari rancangan). Pada waktu selanjutnya, sekelompok subjek baru diukur pada masing-masing tingkat usia. Kelompok baru pada masing-masing tingkat ditambahkan pada waktu berikutnya 7untuk mengontrol perubahan yang (gugur) dari studi, pengujian ulang mungkin telah meningkat kinerja mereka.

d. Metode Cross-Cultural/Pendekatan Lintas Budaya
Metode Cross-Cultural adalah suatu pendekatan dalam penelitian yang mempertimbangkan factor-faktor lingkungan atau kebudayaan yang berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Pendekatan ini banyak digunakan uttuk mengetahui perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan perkembangan anak pada beberapa laatar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini adalah karena dengan pendekatan ini dapat diperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang proses perkembangan sesorang.
Melalui pendekatan ini bisa dijelaskan hipotesa-hipotesa yang ada melalui factor-faktor yang diperoleh.


B. Metode yang spesifik :
Metode yang spesifik adalah cara-cara khusus yang digunakan untuk mengetahui gejala perkembangan yang sedang timbul. Di antara metode yang spesifik yang digunakan dalam psikologi perkembangan adalah :
a. Metode Observasi
b. Metode Eksperimen
c. Metode Klinis
d. Metode Test
e. Metode Pengumpulan Data

a. Metode Observasi
Metode obsservasi adalah sutau cara yang digunakan untuk mengamati semua tingkah laku yang terlihat pada suatu jangka waktu tertentu ataubpada suatu tahapan perkembangan tertentu. Atau bisa dikatakan juga bahwa metode observasi adalah kegiatan mengenali tingkah laku individu yang biasanya akan diakhiri dengan mencatat hal-hal yang dipandang penting sebagai penunjang informasi mengenai klien.
Atau, metode observasi adalah metode serba sengaja dan sistematis mengamati aktivitas individu lain. Metode observasi ini dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu :

1. Observasi Alami (Natural Observation)
Observasi alami adalah pencatatan data mengenai tingkah laku yang terjadi sehari-hari secara alamiah/wajar. Jadi dalam observasi alami peneliti melakukan semua pencatatan terhadap kehidupan anak tanpa mengubah suasana atau mengontrol dalam situasi-situasi yang direncanakan. Atau bisa dikatakan sebagai metode observasi non partsipan yang dimana peneliti tidak ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan oleh yang diobservasi. Jadi peneliti hanya sebagai penonton saja.
Kalau dalam psikodiagnostik terkenal dengan istilah observasi medan atau alamiah (field setting), yaitu observasi di lapangan atau kancah atau di tempat yang sesugguhnya.

2. Observasi Terkontrol (Controlled Observation)
Observasi terkontrol dilakukan bilamana lingkungan tempat anak berada diubah sedemikian rupa sesuai dengan tujuan peneliti, sehingga bermacam-macam reaksi atau tingkah laku anak diharapkan akan timbul. Atau bisa disebut sebagai observasi laboratories (laboratory setting), yakni observasi dengan situasi laboratorium, sehingga situasinya dapat dikendalikan sepenuhnya oleh observer.
Metode ini dianggap lebih objektif dan hasilnya lebih akurat, karena itu observasi terkontrol dapat dilakukan dengan tujuan eksperimental dengan pendekatan dan metode yang sesuai dengan lapangan psikologi eksperimental.

b. Metode Eksperimen
Penelitian terhadap anak tidak mudah dilakukan. Alasan pertama karena anak-anak sangat sugestibel dan selalu berusaha menyenangkan hati sipenanya. Alasan kedua karena sukar untuk mengetahui dengan jelas apa yang dimaksud oleh anak itu.
Metode eksperimen adalah metode penelitian dalam psikologi perkembangan dengan melakukan kegiatan-kegiatan percobaan pada anak.
Pengunaan eksperimen terhdap anak-anak hanya terbatas pada penyelidikan yang dapat diamati dengan alat indera karena gejala-gejala jiwa yang bersifat ruhaniah masih sangat samar-samar.

c. Metode Klinis
Metode klinis adalah suatu metode penelitian yang khusus ditujukan untuk anak-anak, dengan cara mengamati, mengajak bercakap-cakap dan tanya jawab. Penggunaan metode klini merupakan pengganbungan eksperimen dan observasi. Pelaksanaannya dilakukan dengan cara mengamati atas pertimbangan bahwa anak itu belum mampu memngungkapkan isi pikiran dan perasaan dengan bahasa yang lancer.
Prof. Jean Piaget, seorang ilmuwan berasal dari perancis, menggunakan metode klinis untuk meneliti cara berpikir dan perkembangan bahasa anak-anak. Metode observasi, eksperimen, klinis termasuk metode langsung karena metode itu dapat lansung memperoleh inromasi dan data-data dari sumbernya.

d. Metode Test
Metode Test adalah metode yang digunakan untuk mengadakan pengukuran tertentu tertentu terhadap objeknya. Test merupakan instrument penting dalam psikologi kontenpore, yang digunakan untuk mengukur segala jenis kemampuan, minat, sikap, dan hasil kerja. Dalam hal ini, para peneliti biasanya menggunakan tes-tes psikolkogi yang sudah distandardisasi.
Atau bisa dikatakan bahwa test adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab atau perintah-perintah yang harus dijalankan, yang berdasarkan atas bagaimana testee menjawab pertanyaan-pertanyaan atau melakukan perintah-perintah itu penyelidik mengambil kesimpulan dengan cara membandingkannya dengan standart atau testee yang lainnya.

e. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan angket ini kami bagi dalam tiga bagian, diantaranya yaitu :
1. Metode Angket
2. Metode Biografis
3. Metode Buku Harian

1. Metode Angket
Angket adalah daftar pertanyaan yang harus dijawab atau daftar isian yang harus diisi berdasarkan kepada sejumlah subjek. dan berdasar atas jawaban dan atau isian penyelidik mengambil kesimpulan mengenai subjek yang diselidiki.
Bentuk angket dapat pula dipakai untuk menguji suaqtu hipotesis. Bentuk angket berupa daftar pertanyaan yang disusun secara sistematis untuk mendapatkan data-data dan informasi dari objek yang dipelajari.

2. Metode Bigrafi
Secara etimologis metode biografis adalah metode yang menggunakan bahan-bahan yang berwujud tulisan mengenai kehidupan subjek yang diselidiki baik tulisan itu dibuat oleh subjek sendiri mupun oleh orang lain.
Biografi, yakni tulisan mengenai peri kehidupan yang dibuat oleh orang lain sering sangat bermanfaat dalam pengungkapan kepribadian sesorang hanya saja kiranya mudah dimengerti nahwa tulisan ini sanggat dipengaruhi oleh sikap dan penilaian penulis terhadap orang yang ditulis biografinya.
Jika menganalisis biografi/otobiografi perlu memperhatikan bahwa tidak semua subjek bertindak dan menulis secara jujur mengenai dirinya. Ada subjek dengan sengaja menutupi kelemahan dirinya. Untuk hal ini diperlukan penelusuran yang sangat hati-hati agar diperoleh data yang akurat dan jujur.

3. Buku Harian (diary).
Buku harian ditulis oleh seseorang, biasanya berisikan hal-hal yang bersifat pribadi dan biasanya yang dianggap rahasia oleh yang bersangkutanBiasanya, diary dipakai sebagai tempat pencurahan hal-hal yang positif dan negative serta tempat untuk mengemukakan pandangan-pandangan.
Biasanya anak pubertas suka menulis buku harian. Buku itu sangat bermanfaat untuk mengungkapkan kejiwaan. Buku harian yang dibuat anak di masa pubertasnya harus hati-hati mempelajarinya. Alasan pertama karena tidak memberikan kesan-kesan yang umum. Kedua, karena hanya sedikit anak-anak yang suka membuat buku harian dalam jangka waktu yang lama. Alasan lainnya, kalangan tertentu tidak menulis buku hariannya dengan teratur dan sistematis sehingga tidak mungkin menjadikan buku harian itu sebagai pedoman untuk memahami keadaan remaja.
Justru karena isinya yang demikian itulah maka buku harian dapat merupakan sumber data yang sangat berharga untuk keperluan penyelidikan psikologis. Hanya saja harus pula diingat bahwa buku harian itu belum tentu memberi gambaran yang jujur mengenai penulisnya.




BAB III
PENUTUP

A. Ksimpulan
Metode penelitian dalam psokologi perkembangan dibedakan antara pendekatan yang lebih umum dan metode yang lebih spesifik. Pendekatan yang lebih umum memberikan pengertian akan keseluruhan proses perkembangan atau beberapa aspeknya, misalnya perkembangan intelektual, atau pengertian akan factor endogen dan eksogen bagi perkembangan seseorang. Termasuk metode yang lebih spesifik adalah cara-cara khusus yang dipakai untuk mengetahui gejala perkembangan yang sedang timbul.
Metode yang lebih umum mengandung dua pengertian, yaitu :memberikan lebih banyak data mengenai keseluruhan perkembangan atau beberapa aspeknya, dan meninjau pengaruh factor endogen (bawaan) atau eksogen (lingkungan, khususnya kebdayaan) bagi perkembangan seseorang. Yang dimana metode umum ini terdapat 4 metode, yaitu :
a. Metode Kros-seksional
b. Metode Longitudinal
c. Metode Sekuensial
d. Metode Kros-budaya
Metode yang spesifik adalah cara-cara khusus yang digunakan untuk mengetahui gejala perkembangan yang sedang timbul. Di antara metode yang spesifik yang digunakan dalam psikologi perkembangan adalah :
a. Metode Observasi
b. Metode Eksperimen
c. Metode Klinis
d. Metode Test
e. Metode Pengumpulan Data

DAFTAR PUSTAKA

Anastasi, Anne. 2007. Tes Psikologi. Jakarta : PT. Indeks.

Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan.Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Gunarsa, Singgih D. 1997. Dasar dan Teori Perkembangan. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia.

Irwanto. 2002. Psikologi Umum. Jakarta : PT Prehallindo.

Ki Yudyartanta. 2009. Pengantar Psikodiagnostik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Monks, F.J. 2006. Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Suryabrata, Sumardi. 1990. Pembimbing Ke Psikodiagnostik. Yogyakarta : Rake Sarasin

Walgito. Bimo. 2003. Psikologi Sosial : Suatu Pengantar. Yogyakarta : Andi Yogyakarta.

Zulkifli. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Senin, 18 Oktober 2010


SEJARAH PENDIDIKAN PESANTREN


Pendahuluan

Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini.
 Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena “modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini pun peran itu masih tetap dirasakan.
 Di tengah gagalnya sebagian sistem pendidikan dewasa ini, ada baiknya kita menyimak kembali sistem pendidikan pesantren. Keintegrasian antara ilmu etika dan pengetahuan yang pernah dicanangkan pesantren perlu mendapat perhatian, sehingga  -paling tidak-  mengurangi apa yang menjadi trendi di tengah-tengah pelajar dan pemuda kita: TAWURAN.


Pondok pesantren Dahulu

Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.
 Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel.
Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran tertentu dari para santri, mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.
 Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Ha litu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi  fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar meneybut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”.
Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan sang Kyai bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya sang Kyai menganjurkan santri tersebut untuk nyantri di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang Kyai.
Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian Jawa Tengah dan Timur.
Pesantren dengan metode dan keadaan di atas kini telah mengalami reformasi, meski beberapa materi, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun keadaan fisik bangunan dan masa studi telah terjadi pembenahan. Contoh bentuk terakhir ini terdapat pada Pondok Pesantren Tebu Ireng dan Tegalrejo.[1]



Memahami Watak Tradisionalisme Pesantren

Persoalan ini tentunya harus dikembalikan pada proporsinya yang pas. Sebab, watak tradisional yang inherent di tubuh pesantren seringkali masih disalahpahami, dan ditempatkan bukan pada proporsinya yang tepat. Tradisionalisme yang melekat dan terbangun lama di kalangan pesantren, sejak awal minimal ditampilkan oleh dua wajah yang berbeda. Oleh karena itu, penyebutan tradisional tentu harus ditujukan pada aspek yang spesifik, tidak asal gebuk rata. Tradisionalisme pesantren di satu sisi melekat pada aras keagamaan (baca: Islam). Bentuk tradisionalisme ini merupakan satu sistem ajaran yang berakar dari perkawinan konspiratif antara teologi skolastisisme As'ariyah dan Maturidiyah dengan ajaran-ajaran tasawuf (mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai corak ke-Islam-an di Indonesia (Abdurrahman Wahid, 1997). Selaras dengan pemahaman ini, terminologi yang akarnya ditemukan dari kata 'adat (bahasa Arab) ini, merupakan praktek keagamaan lokal yang diwariskan umat Islam Indonesia generasi pertama. Di sini Islam berbaur dengan sistem adat dan kebiasaan lokal, sehingga melahirkan watak ke-Islaman yang khas Indonesia (Martin van Bruinessen, 1997, 140).
Sementara tradisional dalam pengertian lainnya, bisa dilihat dari sisi metodologi pengajaran (pendidikan) yang diterapkan dunia pesantren (baca: salafiyah). Penyebutan tradisional dalam konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang monologis, bukannya dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang Kiyai kepada santrinya dan metodologi pengajarannya masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan dan sejenisnya. Lepas dari persoalan itu, karakter tradisional yang melekat dalam dunia pesantren (sesungguhnya) tidak selamanya buruk. Asumsi ini sebetulnya relevan dengan prinsip ushul fiqh, "al-Muhafadhah 'ala al- Qodimi as-Shalih wa al-Akhdu bi al-Jadid al-Ashlah" (memelihara [mempertahankan] tradisi yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru (modernitas) yang lebih baik). Artinya, tradisionalisme dalam konteks didaktik-metodik yang telah lama diterapkan di pesantren, tidak perlu ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu disinergikan dengan modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat secara praktis-pragmatis semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan tekhnologi. Oleh Karena itu, mensinergikan tradisionalisme pesantren dengan modernitas dalam konteks praktek pengajaran, merupakan pilihan sejarah (historical choice) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan semakin sulit bertahan di tengah era informasi dan pentas globalisasi yang kian kompetitif.
Di antara problem yang sering dijumpai dalam praktek pendidikan di pesantren, terutama yang masih bercorak salaf, adalah persoalan efektivitas metodologi pengajaran. Di sinilah perlunya dilakukan penyelarasan tradisi dan modernitas di tengah dunia pesantren. Dalam hal ini, memang diperlukan adanya pembaharuan di pesantren, terutama mengenai metodologi pengajarannya, namun pembaharuan ini tidak harus meninggalkan praktek pengajaran lama (tradisional), karena memang di sinilah karakter khas dan indegenousitas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Justru yang perlu dilakukan adalah, adanya konvigurasi sistemik dan kultural antara metodologi tradisional dengan metodologi konvensional-modern. Dengan demikian, penerapan metodologi pengajaran modern dan pembangunan kultur belajar yang dialogis-emansipatoris, bisa seirama dengan watak asli dari kultur pesantren.[2]


Keunggulan Pendidikan Pesantren Masa Kini

Siapa tak yang pernah dengar dan tak kenal nama lembaga Pendidikan Pondok Pesantren, dibelantara tanah air lembaga ini muncul sejak awal Islam masuk, dan telah mengadopsi sistem pendidikan keagamaan secara integral berurat akar, mendarah daging, plus perannya tidak bisa diabaikan begitu saja dalam perjalanan sejarah bangsa, pesantren tidak hanya telah mampu melahirkan sosok tokoh-tokoh nasronal yang berpengaruh namun juga sistem pendidikannya juga lelah mampu membentuk watak tersendiri sebagai bangsa yang mayoritas beragama Islam dan bangsa yang akomodattf serta penuh tenggang rasa.
Semua itu terbentuk dari lahirnya pendidikan di pesantren, tak heran dalam kiprah pendidikan, kontribusi pesantren dalam menoreh sejarah pendidikan di Indonesia terus tumbuh, mencuat dan bertembang mengikuti tuntutan dan kebutuhan zaman.
            Sehingga pada perkembangan selanjutnya pondok pesantren mengalami dinamika pendidikan yang luar biasa, yakni mengacu kepada paradigma baru yang bertumpu pada 3 tungku:
            1. Kemandirian (autonomy)
            2. Akuntabilitas (accountability)
            3. Jaminan Kualitas (quality assurance)
             Pemahaman akan ‘Kemandirian’ pesantren diarahkan pada pemberian otonomi yang lebih besar tidak hanya pada sisi pengelolaan (manajemen} tetapi juga dalam perancangan kurikulum, pengembangan program, kebebasan akademik serta pembinaan semua sumber daya yang ada.
            Pengembangan akuntabilitas diarahkan pada peningkatan kemampuan lembaga pendidikan dalam mencapai tujuan yang direncanakan sorta memberikan hasil yang maksimal bagi masyarakat dan bangsa.
            Dan pada akhirnya jaminan kualitas diarahkan pada peningkatan relevant yang lebih tegas antara ‘out put’ yang dihasilkan lembaga pendidikan dengan kebutuhan masyarakat baik dalam dunia kerja maupun pengembangan dan pemberdayaan anggota masyarakat.
            Perubahan kurikulum pendidikan pesantren dalam konteks ini terpilah antara sisi kontsitusi yang sudah menjadi bagian dari Sisdiknas dan sisi kurikulum struktur mata pelajaran di pesantren yang sudah bercampuar baur dengan kurikulum standar nasional, maka visi yang harus dikembangkan adalah menjadikan pesantren sebagai sebuah si sitem pendidikan yang telah mampu melahirkan lulusan yang menguasai ilmu-ilmu ke-Islaman secara mendalam sekaligus siap pakai dalam dunia kerja, sehingga penataan struktur kurikulum pesantren yang representatif dengan kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi.
Pondok pesantren dalam melakukan penataan struktur kurikulum biasanya berkaitan erat dengan ciri khas keilmuan pesantrennya, di samping kondisi lingkungan masyarakatnya seperti letak geogrofis, sosio koltur, sumber-sumber perekonomian dan unsur-unsur lainnya. Secara umum struktur kurikulum di pesantren dipilah ke dalam dua bidang kompetensi yaitu;
Penguasaan bidang keilmuan keislaman tertentu secara mendalam
Pengusaaan ketrampilan hidup (life skull) aplikasinya ke dunia kerja
          Tak heran jika pondok pesantren menampilkan dan menawarkan gaya baru dengan program-program keunggulan bidang kejuruan keterampilan antara lain mendidik santri yang ahli ibadah, berilmu, berakhlakul karimah, menguasai keterampilan hidup (life skill) misalnya dibidang agribisnis, perbengkelan dan kewirausaan yang lain.
Pengelolaan pendidikan agribisnis di pondok pesantren sesungguhnya memiliki tujuan dan maksud:
1.    Agar setiap pondok pesantren memiliki dan meningkatkan usaha ekonomi produktif sesuai dengan pontensi yang ada di samping sebagai sarana pembelajaran pendidikan keterampilan kecakapan bidup bagi santri.
2.    Agar setiap pondok pesantren benar-benar menjadi lembaga yang berbasis masyarakat (society based education).
3.    Mencetak santri untuk menguasai berbagai disiplin ilim sebagai bekal mengatur dan memenej kehidupan manusia.
Konsep ini sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 1991 melalui koordinasi yang melibatkan instansi terkait diantaranya Departemen Pertanian, Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Usaha-usaha untuk menumbuh kembangkan kegiatan agribisnis di pondok pesantren telah ditempuh melalui dasar hukum sebagai berikut:  
A. Keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Agama No.346/91 dan No 94/1991 tentang pengembangan Agribisnis di pondok pesantren.
B Kepulusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Agama, sebagai contoh pendidikan pondok pesantren agribisnis yang sengaja di programkan dengan sistem kemandirian adalah Pondok Pesantren Darul Aufa yang terletak di Jalan Nes II Sungai Buluh Muara Bulian Kabupaten Batanghari, telah melakukan terobosan baru dimana para santri tidak hanya dididik dengan keilmuan Keislaman secara mendalam melalui sumber aslinya, yakni kitab kuning (tafaqquh fi din) namun juga pesantren ini telah pula menggunakan istilah yang di pakai oleh Nurcholis Madjid yaitu sebagai ‘Bengkel Life Skill’ yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Antara lain yang telah diprogramkan untuk santri adalah penguasaan teknologi agribisnis yang meliputi pertanian, hortikullura, palawija, perkebunan kelapa sawit, karet, tanaman buah buahan seperti jeruk dan durian, dan lain lain.
Perikanan air tawar, nila dan paten serta peternakan sapi (penggemukan dan repruduksi) dan bidang non agribsnis tersedia pembinaan keahlian bengkel motor dan las teralis, (dikhususkan bagi santriwan) sementara untuk santriwati di siapkan kegiatan pelatihan jahid dan bordir.
Dan lebih jauh pesantren ini telah pula menanamkan dan menumbuhkan semangat wirausaha di kalangan santri, antara lain santri menanam kedelai sendiri, kemudian mengolah bahan kedele tersebut menjadi tempe dan susu kedelei, hingga akhirnya di pasarkan.
Ada beberapa factor yang mendukung terlaksananya pendidikan agribisnis di Pondok Pesantren Darul Aufa tersebut berdasarkan pengamalan penulis yakni: 


A. Factor internal. 

Factor internal adalah hal-hal yang berada di lingkungan Pondok Pesantren Darul aufa yang dapat mempengaruhi kelangsungan agribisnis yang merupakan penentu dan penunjang keberhasilan antara lain:
l. Sumberdaya Alam (SDA), misalnya kondisi pesantren memiliki lahan luas, yang dapat dikembangkan sebagai usaha pelaksanaan pendidikan agribisnis sebagai labor praktek usaha santri disamping memiliki asset/ modal biaya operasional
2. Sumbeidaya manusia (SDM). SDM di pondok pesantren menggambarkan integritas dan keseluruhan nilai yang harus dimiliki porsenil artara lain keterampilan, pengetahuan, kemampuan untuk bekerja serta keseharan yang baik untuk bersama sama membuatnya mampu melakukan strategi penghidupan sebagai pilar penting mencapai kesuksssan. Kurangnya nilai SDM berimbas pada dimensi inti dan kehidupan miskin hidup. Para Ustaz yang notabene adalah para guru agama berpendidikan sarjana agama, sudah merupakan keuntungan spritual tersendiri, dimana memiliki akhlak terpuji, antara lain sikap qonaah, kemauan bekerja, kemauan untuk mengikuti perintah kyai, keiklasan bekerja, keinginan bekerjasama sikap toleransi dan lain-lain. Kondisi para santri pun sesungguhnya sebuah asset yang tak ternilai mulai dari segi jumlahnya, mengikat kuat dalam pola hidup kebersamaan di pesantren di bawah bimbingan kyia yang kharismatik.



B. Faktor eksternal

      1. Kemitraan dengan pihak Dinas terkait
      Sebuah kemitraan terbentuk manakala muncul rasa keingman yang kuat ketika membutuhkan pihak laia yang lebih berkompeten dan konsepnya ditemukan dalam bekerjasama, pendidikan di pesantren untuk biding agribisnis dan bengkel motor dan las teralis melakukan mitra dan kerjasama, dengan terutama dinas terkait antara lain: Dinas Perindakop yang selain mengucurkan dana bantuan modal juga melakukan pembinaan dan diklat bagi santri termasuk Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Perkebunan, Dinas Perikanan, Balai Pelalihan Pertanian Departemen Pertanian, juga Departemen Agama.
Dengan demikian keyakinan untuk sukses dalam melaksanakan pendidikan agribisnis di pondok pesantren tidaklah diragukan dikarenakan ditangani oleh orang orang yang memang ahli di bidang pertanian, di mana pondok pesantren memiliki petugas teknis lapangan yang memang handal di bidangnya.
Wajarlah sebagai conloh Pondok Pesantren Darul Aufa berdasarkan surat Gubernur Jambi nomor 521/283/iEkbang/tanggal 14 Juli tahun 2008 perihal penghargaan pengembangan ketahanan pangan dalam rangka HKP {Hari Krida Pertanian) ke 36 tahun 2008 terpilih dan mendapat Juara 1 (satu) Pemenang Lomba Pengembangan Kelahanan Pangan Tingkat Provinsi Jambi. Disamping itu telah diterima pula oleh Pondok Pesantren Darul Aufa predikat manajemen Orsos (Organisasi Sosial) yang badan Orsosnya adalah Yayasan Pendidkan Zulyaden terbaik dalam Provinsi Jambi Tahun 2007.
Ada kebanggaan dan perasaaan keagamaan yang menyentuh nurani tersendiri manakala kita memilki putra-putri kita untuk mengikuti pendidikan dari pesantren, seperti adanya manisfestasi pola ibadah yang tertib dengan keutamaan sholat jamaah, amalan wirid, puasa sunnah, sholat tahajjut, kebiasaan pengamalan sholat sholat sunnah seperti dhuha, hajat, witir, rawatif dan lain lain. Belum lagi sistem penerapan disiplin yang nyaris tak teraisa sedikitpun waktu santri untuk berhura hura karena gemblengan pesantren 24 jam dengan sederetan aturan yang harus dipatuhi santri, pelanggaraan berarti adalah sanksi.
Nah ketika kita mendapatkan banyak hal dan pendidikandi pondok pesantren mengapa pula kita justru meragukan potensi dan keberadaan lembaga pendidikan pondok pesantren ini? Dengan pendidikan di pondok pesantren, berarti dua dimensi kita dapatkan manfaat keilmuan, yakni dunia dan akherat.[3]







DAFTAR PUSTAKA





[1] http://www.ikdar.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=53
[2] http://re-searchengines.com/achumaedy.html
[3] http://jambiekspres.co.id/index.php/guruku/3030-keunggulan-pendidikan-pesantren-masa-kini.html

Minggu, 17 Oktober 2010

PENDIDIKAN INKLUSI



A. Latar Belakang Pendidikan Inklusi

Ada perkembangan menarik dalam perkembangan Islam Indonesia kontemporer, setidak-tidaknya pada dasawarsa terakhir, sebagai perwujudan dari upaya menanamkan nilai-nilai Islam, baik dalam pengembangan kepribadian manusia maupun dalam pengembangan kebudayaan. Perkembangan yang dimaksud adalah penggunaan kata ‘syariah’ sebagai label bagi institusi-insitusi yang dikembangkan umat yang mendasarkan segenap kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam. Ketika operasi bank yang didasarkan pada prinsip bagi hasil diijinkan pemerintah, misalnya, walau pada awalnya (paroh pertama dasawarsa 1990-an) label yang dipakai adalah ‘muamalat’ (seperti pada Bank Muamalat Indonesia), namun pada perkembangan terakhir label yang banyak digunakan adalah ‘syariah’ (seperti pada Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah). Asuransi Takaful Keluarga yang didirikan pada pertengahan dasawarsa 1990-an bermetamorfosis juga namanya menjadi Takaful Indonesia Asuransi Syariah. 

Pelabelan kata ‘syariah’ nampaknya mulai merambah institusi pendidikan. Ketika pada dasawarsa 1990-an didirikan sekolah-sekolah Islam dengan sistem pembelajaran sepanjang hari (Islamic full-day school)—dikenal dengan nama SDIT, SMPIT atau SMAIT—dan kemudian diperkenalkan sekolah-sekolah Islam internasional, maka dalam perkembangan terakhir kata ‘syariah’ diperkenalkan sebagai label baru, sebagaimana sedang dirintis oleh SD Muhammadiyah Program Khusus Kotta Barat, Surakarta. Label baru tersebut menambah label-label yang telah ada: ‘Islam’, ‘terpadu’ (full-day) dan ‘internasional’.

Munculnya label-label tersebut, menurut hemat penulis, tidak terlepas dari arus besar gerakan global ‘kebangkitan Islam’ yang momentumnya dimulai seperempat abad yang lalu ketika terjadi peralihan dari abad ke-14 ke abad ke-15 Hijriyah. Di peralihan abad ini telah terjadi perumusan ulang konsep pendidikan Islam yang dilakukan para pakar pendidikan Islam dunia (Al-Attas, 1979; Ashraf, 1985; Sahadat, 1997), disusul kemudian dengan eksperimentasi dan praksisnya, di samping wacana yang terus berkembang (Sarwar, 1996; Ould Bah, 1998).
Seiring dengan gema kebangkitan pendidikan Islam, pada tataran global berkembang tuntutan perlunya kesempatan pendidikan yang merata kepada semua manusia, tanpa membedakan kemampuan fisik (normal atau tuna), strata sosial, jender, dan latar belakang etnis, budaya dan agamanya. Tuntutan global ini telah melahirkan sebuah deklarasi dunia yang dikenal dengan Education for All (1990) (UNESCO, 1990). Aplikasi dari deklarasi tersebut telah melahirkan kesadaran akan ‘Pendidikan Inklusi’ yang dinyatakan secara eksplisit dalam Salamanca Statement and Framework for Action, produk World Conference on Special Needs Education (Salamanca, Spanyol, 1994) (UNESCO, 1994), dan kemudian diperteguh dalam Dakar Framework for Action, produk World Education Forum (Dakar, Senegal, 2000) (UNESCO, 2003).
 
Atas dasar asumsi bahwa pelabelan ‘syariah’ pada kata sekolah tidaklah dimaksudkan untuk menjelaskan lembaga pendidikan yang memproduk lulusan yang memiliki kompetensi di bidang ilmu fikih dan/atau kemampuan menjalankan tugas dalam profesi-profesi yang terkait dengan bidang muamalat (perbankan, asuransi, peradilan), sebagaimana tujuan pelabelan ‘syariah’ pada kata fakultas di IAIN/UIN, namun dimaksudkan untuk menjelaskan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam dan sekaligus mensosialisasikannya, tulisan ini mencoba mengelaborasi konseptualisasi pendidikan Islam untuk dijadikan basis sekolah syariah, dan kemudian dikaitkan dengan isu global pendidikan inklusi.

B. Pengertian Pendidikan Inklusi

Sebagaimana telah dijelaskan di muka, pendidikan inklusi merupakan konsekuensi lanjut dari kebijakan global Education for All (Pendidikan untuk Semua) yang dicanangkan oleh UNESCO 1990. Kebijakan Education for All itu sendiri merupakan upaya untuk mewujudkan hak asasi manusia dalam pendidikan yang dicanangkan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 1949. Konsekuensi logis dari hak ini adalah bahwa semua anak memiliki hak untuk menerima pendidikan yang tidak diskriminatif atas dasar hambatan fisik, etnisitas, agama, bahasa, jender dan kecakapan. Pendidikan inklusi yang dideklarasikan dalam Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk (Mereka Yang Membutuhkan) Kebutuhan Khusus di Salamanca, Spanyol, 1994, dan diperteguh dalam Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal, 2000, merupakan suatu pendekatan yang berusaha memenuhi kebutuhan belajar semua anak, pemuda dan orang dewasa dengan fokus khusus pada mereka yang termarjinalisasikan dan tersisihkan. Dari tahun ke tahun, jumlah yang termarjinalisasikan dan tersisihkan ternyata tidak berkurang, bahkan terus bertambah. Pada tahun 2000 diperkirakan ada sekitar 113 juta anak usia sekolah dasar yang tidak masuk sekolah, 90 % dari mereka hidup di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah rendah dan lebih dari 80 juta anak tinggal di Afrika (UNESCO, 2003).

Defenisi Pendidikan Inklusi. Pendidikan inklusi adalah sebuah proses yang memusatkan perhatian pada dan merespon keanekaragaman kebutuhan semua peserta didik melalui partisipasi dalam belajar, budaya dan komunitas, dan mengurangi ekslusi dalam dan dari pendidikan (UNESCO, 2003). Pendidikan inklusi mengakomodasi semua peserta didik tanpa mempertimbangkan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik mereka dan kondisi lainnya. Ini berarti mencakup anak yang cacat dan berbakat, anak jalanan dan yang bekerja, anak dari penduduk terpencil dan nomadik (berpindah-pindah), anak dari kelompok minoritas bahasa, etnis atau budaya, dan anak dari kelompok atau wilayah yang termarjinalisasikan lainnya. Sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan sarana yang sangat efektif untuk memberantas diskriminasi, menciptakan masyarakat yang hangat relasinya, membangun masyarakat inklusif, dan mensukseskan pendidikan untuk semua (UNESCO, 1994; UNESCO, 2003). Pendidikan inklusi bertujuan memungkinkan guru dan peserta didik merasa nyaman dalam keragaman, dan memandang keragaman bukan sebagai masalah, namun sebagai tantangan dan pengayaan bagi lingkungan belajar (UNESCO, 2003).

Semua karakteristik pendidikan inklusi di atas berimplikasi pada perubahan dan modifikasi pada materi, pendekatan, struktur dan strategi, dengan suatu visi umum yang mengkover semua peserta didik dan suatu pengakuan atau kesadaran bahwa menjadi tanggung jawab sistem reguler untuk mendidik semua peserta didik (UNESCO, 2003).

Pentingnya Pendidikan Inklusi. Pendidikan inklusi adalah hak asasi manusia, di samping merupakan pendidikan yang baik dan dapat menumbuhkan rasa sosial. Itulah ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan pentingnya pendidikan inklusi. Ada beberapa argumen di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi merupakan hak asasi manusia: (1) semua anak memiliki hak untuk belajar bersama; (2) anak-anak seharusnya tidak dihargai dan didiskriminasikan dengan cara dikeluarkan atau disisihkan hanya karena kesulitan belajar dan ketidakmampuan mereka; (3) orang dewasa yang cacat, yang menggambarkan diri mereka sendiri sebagai pengawas sekolah khusus, menghendaki akhir dari segregrasi (pemisahan sosial) yang terjadi selama ini; (4) tidak ada alasan yang sah untuk memisahkan anak dari pendidikan mereka, anak-anak milik bersama dengan kelebihan dan kemanfaat untuk setiap orang, dan mereka tidak butuh dilindungi satu sama lain (CSIE, 2005). 

Adapun alasan-alasan di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang baik: (1) penelitian menunjukkan bahwa anak-anak akan bekerja lebih baik, baik secara akademik maupun sosial, dalam setting yang inklusif; (2) tidak ada pengajaran atau pengasuhan dalam sekolah yang terpisah/khusus yang tidak dapat terjadi dalam sekolah biasa; (3) dengan diberi komitmen dan dukungan, pendidikan inklusif merupakan suatu penggunaan sumber-sumber pendidikan yang lebih efektif. Dan argumen-argumen dibalik pernyataan bahwa pendidikan inklusi dapat membangun rasa sosial: (1) segregasi (pemisahan sosial) mendidik anak menjadi takut, bodoh, dan menumbuhkan prasangka; (2) semua anak membutuhkan suatu pendidikan yang akan membantu mereka mengembangkan relasi-relasi dan menyiapkan mereka untuk hidup dalam arus utama; dan (3) hanya inklusi yang berpotensi untuk mengurangi ketakutan dan membangun persahabatan, penghargaan dan pengertian (CSIE, 2005).

Pertimbangan Filosofis. Pertimbangan filosofis yang menjadi basis pendidikan inklusi paling tidak ada tiga. Pertama, cara memandang hambatan tidak lagi dari perspektif peserta didik, namun dari perspektif lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah harus memainkan peran sentral dalam transformasi hambatan-hambatan peserta didik. Kedua, perspektif holistik dalam memandang peserta didik. Dengan perspektif tersebut, peserta didik dipandang mampu dan kreatif secara potensial. Sekolah bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan di mana potensi-potensi tersebut berkembang. Ketiga, prinsip non-segregasi. Dengan prinsip ini, sekolah memberikan pemenuhan kebutuhan kepada semua peserta didik. Organisasi dan alokasi sumber harus cukup fleksibel dalam memberikan dukungan yang dibutuhkan kelas. Masalah yang dihadapi peserta didik harus didiskusikan terus menerus di antara staf sekolah, agar dipecahkan sedini mungkin untuk mencegah munculnya masalah-masalah lain (UNESCO, 2003).

Langkah-langkah menuju Inklusi Yang Nyata. Ada tiga langkah penting menuju inklusi yang nyata: komunitas, persamaan dan partisipasi. Semua staf yang terlibat dalam pendidikan merupakan suatu komunitas yang memiliki visi dan pemahaman yang sama tentang pendidikan inklusi, baik konsep dan pentingnya maupun dasar-dasar filosofis. Setiap anggota komunitas memiliki persamaan (hak yang sama), dan—karena itu—sama-sama berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan inklusi, sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasinya. Dalam pendidikan inklusi, sistem sekolah tidak berhak menentukan tipe peserta didik, namun sebaliknya sistem sekolah yang harus menyesuaikan untuk memenuhi kebutuhan semua peserta didik. Terkait dengan ini, ada ungkapan bahwa komunitas (semua staf yang terlibat dalam pendidikan inklusi) ‘melampaui dan di atas’ (over and above) kurikulum (UNESCO, 2003).


Data Makalah
siteresources.worldbank.org/.../EFAIncludingIndonesian.doc
www.findtoyou.com/document/bimbingan+bagi+anak+berkelainan.html
www.ditpertais.net/.../ancon06/.../Makalah%20Syamsul%20Ma'arif.doc