Sabtu, 16 Maret 2013

50 persen dari performa adalah hasil dari faktor mental dan psikologis  (Loehr, dalam Videman, 2007)

Kutipan diatas menunjukkan bahwa selain skill atau kemampuan, faktor mental dan psikologis memiliki peran yang cukup signifikan dalam sebuah pertandingan. Meskipun demikian, seperti artikel sebelumnya, kemampuan mengontrol aspek-aspek psikologis dalam sebuah pertandingan atau kompetisi bukan lah sebuah hal yang mudah.

Salah satu hal yang banyak dirasakan para pelaku olahraga adalah anxiety atau kecemasan. Perasaan yang tidak hanya dirasakan oleh atlit sekolah, atlit kampus, bahkan atlit professional pun tidak lepas dari perasaan cemas. Sebelum membahas lebih dalam, anxiety atau kecemasan adalah emosi negative yang ditandai oleh adanya perasaan khawatir, was-was, dan disertai dengan peningkatan sistem ketubuhan (Weinberg & Gould, dalam Videman, 2007). Walaupun kecemasan lebih banyak dipandang sebagai penghambat, pada kenyataannya kecemasan juga dapat memfasilitasi atau mendukung penampilan, tidak terkecuali dalam berolahraga. Memiliki kecemasan sebelum dan saat pertandingan adalah hal yang wajar, mampu mengontrol dan memaksimalkan kecemasan adalah hal yang lain.

Menurut Morris dan Summers (dalam Videman, 2007), sumber-sumber kecemasan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga, yaitu sumber kecemasan yang muncul dari 
1.) dalam diri individu, contoh: Harapan dan impian tentang performa, ketakutan akan gagal, dsb. 
2.) Situasi dan kondisi lingkungan, contoh: Tekanan dari pelatih, rekan satu tim, orangtua dan pendukung. 
3.) Hal lain diluar diri individu dan lingkungan, contoh: seorang individu merasa ada yang salah dari dalam dirinya, merasa sangat lelah dan kehilangan kemampuan untuk mengendalikan keadaan.

Untuk mengurangi kecemasan dalam pertandingan atau kompetisi yang muncul dari berbagai sumber, Wadey dan Hanton (2008) melalui hasil penelitiannya menemukan empat cara.

Yang pertama, adalah dengan menentukan Target. Sebagai contoh, sebuah individu atau tim memiliki target lolos pool, semifinal, final. Ketika akan bertanding dan rasa cemas itu muncul, partisipan penelitian menjelaskan bahwa target yang mereka miliki membuat mereka lebih fokus pada proses apa saja yang telah mereka lalui untuk mencapai target tersebut. Dengan mengingat beratnya latihan rutin yang telah dilakukan dan segala pengorbanannya, membuat individu atau tim mampu mengontrol dan mengalihkan tingkat kecemasan. Untuk mengantisipasi rasa kegagalan tersebut, individu sadar atau tidak telah mengontrol dan mengalihkan kecemasan tersebut sehingga rasa percaya diri dapat meningkat sehingga performa yang ditampilkan juga dapat meningkat.

Cara yang kedua, adalah dengan membayangkan hal yang akan dilakukan pada saat bertanding. Partisipan penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai performa yang maksimal, membayangkan hal apa saja yang akan dilakukan dilapangan mampu mengurangi rasa kecemasan yang muncul. Seperti pada individu yang pada saat berlatih memiliki persentase 90 % dalam mencetak gol dari titik penalti, maka dengan membayangkan akan mencetak gol dari posisi yang sama rasa kecemasan tersebut akan berkurang. Tidak jauh berbeda dengan cara tersebut, hasil penelitian menunjukkan bahwa kecemasan akan jauh lebih berkurang saat individu mengingat situasi yang kurang lebih sama pada pertandingan sebelumnya. Sebagai contoh, pada pertandingan pertama tim A yang anggota nya mengalami kecemasan sebelum bertanding sempat tertinggal pada babak pertama, namun pada babak kedua berhasil membalikkan keadaan dan menang. Saat kecemasan muncul pada pertandingan kedua, maka individu dapat mengingat situasi kecemasan seperti pertandingan pertama tersebut serta hasil akhir yang diperoleh, rasa percaya diri akan meningkat yang lagi-lagi juga akan meningkatkan performa saat bertanding. 

Cara yang ketiga adalah dengan berbicara dengan diri sendiri. Meskipun terdengar aneh dan sombong, berbicara positif dengan diri sendiri baik secara lantang maupun hanya dalam hati terbukti mampu meningkatkan kepercayaan diri. Perkataan seperti “Saya yang paling hebat”, “Saya akan menjadi pemain terbaik”, “Saya akan membawa tim ini mencapai tangga juara” mampu meningkatkan dan menjaga konsentrasi pada pertandingan yang akan atau sedang berjalan. Hasil penelitian juga menjelaskan bahwa meningkatkan kepercayaan diri mampu menjaga level optimisme akan hasil akhir yang positif dari sebuah kompetisi. Level optimisme tersebut akan berguna dalam menghadapi situasi pertandingan yang tidak menguntungkan, seperti saat tertinggal dan waktu hampir habis, rasa optimisme tersebut lah yang akan mampu menjaga kepercayaan diri serta performa.

Cara yang keempat adalah relaksasi. Saat indvidu tidak mampu sama sekali mengontrol kecemasan yang dirasakan (biasanya muncul pada saat pertandingan pertama awal kompetisi) maka cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kecemasan adalah dengan mendengarkan music, menarik nafas panjang, atau melakukan pemanasan secara maksimal. Namun demikian, hal yang sering terjadi adalah individu merasa terlalu rileks sehingga tingkat kecemasan yang ada sangat kecil. Hal tersebut ternyata tidak selalu baik, ditambahkan menurut Wadey dan Hanton (2008) serta Taylor (2009) performa terbaik muncul saat individu berada diantara kondisi yang sangat rileks dan kondisi yang sangat tegang.

Penemuan Wadey dan Hanton (2008) diatas semakin mendukung penelitian-penelitian sebelumnya tentang pentingnya faktor psikologi dalam sebuah pertandingan atau kompetisi. Satu hal penting yang banyak dilupakan adalah bahwa kecemasan tidak selamanya negatif, bahkan Hanton dkk (2004) menjelaskan bahwa dalam beberapa olahraga, seperti Rugby, kecemasan merupakan hal yang sangat dibutuhkan untuk mencapai hasil maksimal. Oleh karena itu, dengan kemampuan mengontrol rasa cemas sebelum dan saat bertanding, maka hasil yang maksimal diharapkan bisa tercapai.

Sumber:
  • Videman, H. (2007). Kecemasan Atlet Sepakbola Tim Persija Junior. Depok: F Psi UI.
  • Wadey, R., & Hanton S. (2008). Basic Psychological Skills Usage and Competitive Anxiety Responses: Perceived Underlying Mechanism. Research Quarterly for Exercise and Sport; Sep 2008; 79, 3; Academic Research Library pg 363.

GENERAL DIFFERENCES  BETWEEN COGNITIVE AND BEHAVIORISTIC THEORIES

What  Is Learned ?
In describing what is learned , behaviorists use term like S-R associations, habits, and contigences . cognitive theoristics describe what is learned in terms of information, expectancies,schemata, principles,and insights

What is the function of reinforcement?
For most behaviorists, reinforcement is a necessary condition for learning . for them. It is reinforcement that causes S-R associations to form, contingencies to be learned, or the rate or probability of responding to change. In contrast, most cognitive theorists believe that learning occurs independently of reinforcement. For them, what reinforcement does is provide the organism with information that can act as an incentive to translate what has already been learned into behavior.

How Are Problems Solved?
Most behaviorists claim a problem is a approached in accordance with its similiarity to other problems individuals have experienced in the past. If the attempted solutions fail or if learners have never confronted such a problem , they resort  to trial and – error behavior until they hit on a solution. The cognitive theorist maintains that learners “think” about the problem until they gain in insight into its solution. The behaviorist would emphasize behavioral trial and error; the cognivist would emphasize cognitive, or vicarious, trial and error that is thinking.

What Assumptions are made about the Learner?
Certainly what teachers believe to be the nature of the human mind will influence what they believe would be effective teaching practices. We have already seen two examples of this. The behaviorists, who tend to accept aristottle’s and locke’s position that the mind begin as a tabula rasa (blank slate), emphasize the importance of sensory experience in formulating the content of the mind . teachers accepting this position would specify that would bring about the desires behavior. Behavioristically oriented teachers would be more educational arrangers than anything ellse . their most important task would be to arrange an environment that is responsive to the behaviors deemed important by the school; that is, they must create an invorenment that allows the student tobe rein forced for be having in accordance with various course objectives.

The cognitive theorists believe that the mind is not a blank slate at birth and that the mind is active , not passive. The mind is capable of weighing alternatives )thinking). And has the built in need to reduce ambiguity  and to make everythink as simple as possible . teachers accepting this gestalt  point of view are-not mere arrangers  of the learning environment; rather, they are active participants in the learner teacher relationship. Teacher must help the students are able to recite numerous facts and ideas are part of  a larger concept. That the are able to recite numerous facts without seeing their interrelationship is meaningless to such teachers . if one took an auto mobile completely apart and threw all the parts are. Would be there. How the parts are arranged is at least as important as what tehe parts are. As we have seen the gestals point of view always emphasiaes that the whole is different from the sum of its parts.

The cognitively oriented teacher ‘s job consists of two duties: (1) to induce ambiguity and (2) to help the student clarify the ambiguity. The teacher induces ambiguity by introducing problems and then helps clarify the ambiguity by suggesting strategies for solving the problems . as started earlier, classroom practice based on gestalt principles would involve give and take between the theacher wouldnot strongly emphasize working with small groups. Self pacing and small steplearning procedures may or may not be important to the gestalt – oriented teacher: their suitability must be determined for each student. These teachers attempt to determine for each student the best strategy for learning :that is, they must know to conceptual basis from which each student is starting before the can help the student continiu toward under standing the concept being taught, this, of course, is another is another reason why there must be close contact between the student and the teacher.

How Is The Transfer Of Training Explained ?
The behaviorist tends to accept thorndike’s identical elements theory of transfer as the number of common elements in two situations goes up, the tendency to make similar responses in both situation goes up . according to the behaviorist, if you want to enhace transfer of training from classroom education to experiences outside the classroom, , you are obliged to increase the similiarity between the twoo situations. For example , if one purpose in teaching mathematics in to provide students with the information necessary for filling out tax forms.

The cognitive theorists would tend to emphasize the transfer of principles . using the tax for example, the cognitively oriented teacher might claim  that the learning of mathematical  skill will transfer readily to filling out tax form and  grocery shoping , even if tax form and shopping had not been experienced in the classroom because the principles involved in both situations are believed to be the same.

The issue of transfer of training, clearly one of the most important problems in educations, is still highly controversial . in ffact , it appears that the notion of formal system . for example , the prominence given to the teaching of mathematics creates a stronger “reasoning faculty”. Especially since most Americans require less than a fifth  grade level of proficiency in mathematics for the neds of their daily lives. For a discussion of the  reappearance of formal disclipline in American schools see kolesnik (1958) or Symonds (1960).

Bandura

Bandura’s theory has many implications for education. You may recall that Bandura believes that anything that can be learned by direct experience can also be learned from observation. Bandura also believes that models are most effective if they are seen as having respect, competence, high status, or power. Thus, in most cases, teacher can be highly influential model. Through careful planning of what is presented, teacher can be teach not only routine information and skills but also problem-solving strategies, moral code, performance standards, general rules and principles, and creativity. Teacher can model conduction, witch is then internalizes by student and thus becomes the standarts for self-evaluations. For example, internalize standard become the basis for self-criticism or self-praise. When students act accordance with their own standards, the experience is reinforcing. When the actions of students fall short of their standarts, the experience is punishing. Thus, for bandura, as for the gestalt theorists and Tolman, intrinsic reinforcement is far more important than extrinsic reinforcement. In fact, says Bandura, extrinsic reinforcement can actually, reduce a student’s motivation to learn. Reaching a personal goal is also reinforcing, and thus teachers should help students formulate goals that are neither to easy nor too difficult to achieve. This formulation, of course, need to be done individually for each student.

To say that student students learn what they observe is an oversimplication since observational learning governed by four variables that must be taken into consideration by teacher. Attentional processes will determine what is observed by the students, and the such processes will vary as a function on both maturation and the student’s previous learning experience. Even if something is attended to and learned, it must be retained if it is be of any value; thus retention processes are important, According to Bandura, retention is largely determined by one’s verbal ability. A teacher must, therefore, take the verbal ability of the students into consideration when planning a modeling experience. Even if something is attended to and retained, the student may not have the motor skills necessary to reproduce  a skill after it has been learned. Thus, a teacher must be aware of a student’s behavioral production processes. Lastly, even if students attend to and retain what has been observed and are capable of behaviorally producing their observations, they must have an incentive for doing so. Thus the teacher must be aware of motivation processes. At this point extrinsic reinforcement may be useful. For example, student maybe willing to demonstrate what they have learned if they are offered points, stars, grades, or the admiration of the teacher. Note, however, that extrinsic, reinforcement is being used to influence performance rather than learning.
            
We see that observational learning has many educational implications, but to use it effectively in the classroom the teacher must take into consideration the attentional, retentional, motor and motivational processes of each student. With this things in mind, film, television, lectures, slides, tapes, demonstrations, and displays, can all be used to model effectively a wide variety of educational experiences.

Peranan Motorik bagi Perkembangan Kepribadian

Ketika anak itu masih bayi, ia belajar mengenal benda-benda yang dapat dijangkaunya degan melalui mulutnya. Setelah ia pandai berjalan, makin luas ruang yang dapat dikuasainya, semakin banyak hal yang harus dikenalnya.
Anak yang berusia satu tahun secara fisik dan motorik kasar mampu berjalan dititah pada satu tangan, berjalan beberapa langkah. Secara fisik dan motorik halus anak mampu menggenggam dengan lebih baik, dapat melepaskan genggaman bila diminta. Secara kognitif dan bahasa, mempunyai kosakata lebih, selain nama Mama dan Papa. Secara sosial dan emosional, dapat menyesuaikan diri saat mengenakan pakaian.
Anak berusia dua tahun, secara fisik dan motorik kasar, mampu berlari dengan jarak dekat dengan baik, berjalan mundur tanpa kehilangan keseimbangan, mampu menendang bola tanpa jatuh, mampu berdiri dan menangkap bola, mampu meloncat-loncat di tempat, naik turun tangga selangkah demi selangkah, dan berdiri dengan satu kaki tanpa kehilangan keseimbangan. Secara fisik dan motorik halus, mampu menumpuk 7 kubus, meniru garis horizontal dan melipat kertas. Secara kognitif dan bahasa, mampu membuat kalimat dengan subjek, predikat dan objek. Secara sosial dan emosional, mampu memegang sendok dengan baik, bercerita pengalaman baru, membantu melepaskan pakaian dan mendengarkan cerita dengan gambar.
Anak berusia tiga tahun, secara fisik dan motorik kasar, mampu mengendarai sepeda roda tiga, mampu melompat, dan berlari maju mundur. Secara fisiuk dan motorik halus, mampu menumpuk 10 kardus, meniru konstuksi kubus, membuat lingkaran, dan bisa memainkan puzzle. Secara kognitif dan bahasa, mengetahiu usia dan jenis kelamin, mampu menghitung objek dengan benar, dan mengulang sebuah kalimat yang terdiri dari 6 suku kata. Secara sosial dan emosional, mampu bermain-main sederhana, dan mampu mengenakan pakaian sendiri, memakai sepatu, dan mencuci tangan.
Anak di usia empat tahun, secara fisik dan motorik kasar, mampu melompat dengan satu kaki, melempar bola dari atas kepala, memanjat, mampu naik turun meja dengan satu kaki di meja dan satu kaki di lantai. Secara fisik dan motorik halus, mampu menggunakan gunting untuk memotong gambar, menggambar orang 2-4 bagian tubuh selain kepala, serta mampu memilih garis yang lebih panjang diantara 2 garis. Secara kognitif dan bahasa, mampu menghitung 4 koin dengan benar dan mampu bercerita. Secara sosial dan emosional, dapat bermain dengan beberapa anak dan mulai interaksi sosial, bermain peran, dan ke toilet sendiri.
Anak usia lima tahun, secara fisik dan motorik kasar, mampu melakukan lompat talui dan berlomba lari. Secara fisik dan motori halus, mampu menggambar segitiga, mengetahui perbedaan berat benda, mampu membuat dari balok. Secara kognitif dan bahasa, mampu berinteraksi secara langsung dan bicara apa saja. Secara sosial dan emosional, sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dan gampang meniru apa yang dilihat.
Dalam hal;hal di atas motorik memagang peran yang sangat penting; dengan bntuan motorik yang makin lama makin sempurna, anak itu lebih dapat menyempurnakan kesanggupannya mengenal.
Ada anak yang terganggu perkembangan motoriknya. Motorik yang kurang baik dapat menimbulkan persaan kurang harga diri. Misalnya, tangan yang selalu gemetar, kondisi seperti itu membuat ia tidak pandai menulis bagus. Agar perkembangan motorik itu dapat terlaksana  dengan baik, ada beberapa anjuran yang bersifat praktis, misalnya memberi kessempatan untuk bermain, bergerak, dan membuat sesuatu dengan alat-alat permainannya.

Membuat Tahu

Tahu mengandung zat protein yang cukup tinggi.Protein dibutuhkan untuk pertumbuhan badan, terutama pada anak-anak. Tahu dibuat dari kedele kuning, caranya :
  1. Kedele mula-mula dibersihkan dari kedele yang berlubang dan kotoran lainnya.
  2. Kedele yang bersih dan baik, kemudian direndam dalam air yang cukup. Kedele Lokal kira-kira 10 jam, kedele import 4-6 jam
  3. Setelah cukup lama direndam, kedele dicuci dengan air bersih 2-3 kali
  4. Lalu ditiriskan
  5. Kedele selanjutnya siap digiling menjadi bubur
  6. Agar penggilingan berjalan lancar dan memberi hasil yang baik, ditambahkan sejumlah air pada penggiling
  7. Bubur kedele selanjutnya digodok diatas tungku
  8. Busa yang timbul diatas bubur kedele mendidih. Sebaiknya setiap kali dibuang. Dan bubur dibiarkan mendidih selama 5 menit
  9. Bubur kedele yang mendidih lalu disaring diatas kain kasa dan ampasnya dibilas dengan air bersih
  10. Ampas dalam saringan diperas, sampai sebanyak mungkin sari kedele terambil
  11. Sari kedele digumpalkan dengan cuka encer (1:5), batu tahu, atau sisa air tahu yang telah didiamkan semalam, sambil terus diaduk secara perlahan
  12. Dengan pendiaman, akan terbentuk gumpalan-gumpalan yang agak besar, yang akan turun ke bawah
  13. Air diatas endapan tahu, dibuang sebanyak mungkin
  14. Endapan tahu lalu dicetak, dengan memberi beban diatasnya
  15. Setelah 10-15 menit, maka jadilah tahu yang kita inginkansumber : Buku Pedoman ” Membuat Tahu” Lembaga Kimia Nasional – LIPI


  • Apa saja isi struktur kepribadian menurut Miller dan Dollard?
Kebiasaan (habit) adalah satu-satunya elemen dalam teori Dollard dan Miller yang memiliki sifat struktural. Habit adalah ikatan atau asosiasi antara stimulus dengan respon, yang relative stabil dan bertahan lama dalam kepribadian. Karena itu gambaran kebiasaan seseorang tergantung pada event khas yang menjadi pengalamannya. Namun susunan kebiasaan itu bersifat sementara. Maksudnya, kebiasaan hari ini mungkin berubah berkat pengalaman baru keesokanharinya.
Dollard dan Miller juga mempertimbangkan dorongan sekunder (secondary drives), seperti rasa takut sebagai bagian kepribadian yang relative stabil. Dorongan primer (primary drives) dan hubungan stimulus-respon yang bersifat bawaan (innate) juga menyumbang struktur kepribadian, walaupun kurang penting dibanding habit dan dorongan sekunder, karena dorongan primer dan hubungan stimulus-respon bawaan ini menentukan taraf umum seseorang, bukan membuat seseorang menjadi unik.

  • Habit apa yang paling penting pada manusia menurut Miller?
Dollard dan miller menganggap penting kelompok habit dalam bentuk stimulus verbal atau kata-kata dari orang itu sendiri atau dari orang lain, dan responnya yang umumnya juga berbentuk verbal.

  • Kemukakan empat fungsi reasoning?
Reasoning memungkinkan orang menguji alternatif respon tanpa nyata-nyata mencobanya, sehingga menyingkat proses memilih tindakan, memberi kemudahan untuk merencanakan, menekankan tindakan pada masa yang akan datang, mengantisipasi respon agar menjadi lebih efektif.

Drive adalah stimulus (dari dalam diri organisme) yang mendorong terjadinya kegiatan tetapi tidak menentukan bentuk kegiatannya. Kekuatan drives tergantung kekuatan stimulus yang memunculkannya. Semakin kuat drivenya, semakin kuat tingkah laku yang dihasilkannya. Secondary drives atau drives yang dipelajari/diperoleh berdasarkan primary drives. Sesudah secondary drives dimiliki, itu akan memotivasi untuk mempelajari respon baru seperti fungsi dari primary drives.

Cue adalah stimulus yang member petunjuk perlunya dilakuakn respon yang sesungguhnya. Pengertian cuemirip dengan pengertian realitas subjektif dari Rogers, yakni cue adalah petunjuk yang ada pada stimulus sepanjang pemahaman subjektif individu.

Response adalah aktivitas yang dilakukan seseorang. Sebelum suatu respon dikaitkan dengan suatu stimulus, respon itu harus terjadi terlebih dahulu. Dalam situasi tertentu, suatu stimulus menimbulkan respon-respon yang berurutan, disebut initial hierarchy of response. Belajar akan menghilangkan beberapa respon yang tidak perlu, menjadi resultant hierarchy yang lebih efektif mencapai tujuan yang diharapkan.

Reinforcement maksudnya agar belajar terjadi, harus ada reinforcement atau hadiah. Dollard dan Miller mendefinisikan reinforcement sebagai drive pereda dorongan (drive reduction). Event yang hanya meredakan sebentar stimuli pendorongnya akan memperkuat respon apapun yang terlibat. Bisa dikatakan, reduksi drivemenjadi syarat mutlak dari reinforcement. Hipotesis mengenai reduksi drive ini menimbulkan kontroversi, dan Miller sendiri terus berusaha mencari pembenarannya.

  • Jelaskan proses cue producing response dalam belajar?
Cue Producing Response itu umumnya terjadi melalui sejumlah event internal yang disebut alur berpikir (train of thought). Reasoning pada dasarnya merupakan pengganti perbuatan nyata menjadi Cue Producing Response internal yang lebih efisien untuk memecahkan masalah daripada mencoba-coba. Reasoning memungkinkan orang menguji alternatif respon tanpa benar-benar mencobanya, sehingga menyingkat proses memilih tindakan pada masa yang akan datang, mengantisipasi respon agar menjadi lebih efektif. Lebih lanjut, urutan berpikir itu dapat dipandang sebagai hubungan stimulus-respon dalam kondisioning klasik.

 Penanganan psikologis penderita gangguan Skizofrenia

  • Terapi psikodinamika
Teori psikoanalisis freud tidak banyak memberikan kontribusi untuk penanganan para pasien skizofrenia. Freud yakin bahwa penderita skizofrenia tidak mampu mengembangkan hubungan interpersonal terbuka yang pentinga bagi analisis. Harry stack Sullivan melopori penggunaan psioterapi bagi para pasien skizofrenia yang di rawat di rumah sakit, dengan membuat bangsal dan mengembangkan penanganan psikoanalitis. Sullivan berpendapat bahwa skizofrenia mencerminkan suatu kondisi dimana seseorang kembali ke bentuk komunikasi pada awal masa kanak-kanak. Dalam penangannannya pada penderita skizofrenia, Sullivan menyarankan pembentukan hubungan kepercayaan yang sangat bertahap dan tidak mengancam.

  • Pelatihan ketrampilan social
Pelatihan ketrampilan social ini di rancang untuk mengajari para penderita skizofrenia bagaimana dapat berhasil dalam berbagai situasi interpersonal yang sangat beragam antara lain, membahas pengobatan para skizofrenia dengan psikiatater, memesan makanan direstoran, mengisi formulir lamaran kerja, dan belajar melakukan wawancara kerja, belajar tentang seks yang aman, dan membaca jadwal perjalanan bus. Bagi para penderita skizofrenia keterampilan kehidupan tersebut bukan hal yang dapat dilakukan begitu saja, para skizofrenia harus berusaha keras untuk menguasainya. Dengan melakukan hal-hal tersebut, para penderita skizofrenia bisa mengambil hal-hal atau kegiatan positif di luar institusi, supaya dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.

  •          Terapi keluarga dan mengurangi ekspresi emosi
  1. keluarga dari penderita skizofrenia hendaknya di berikan beberapa pengetahuan dasar untuk membantu mengurangi kecenderungan untuk terlalu mengkritik penderita skizofrenia.
  2. Keluarga membantu penderita skizofrenia untuk mengingatkan dalam peminuman obat anti psikotik yang di resepkan oleh psikiater, keluarga juga harus memahami efek samping dari penggunaan obat-obat tersebut, dan rutin untuk mengkonsultasikan secara medis kondisi penderita skizofrenia.
  3. Menghindari saling menyalahkan, mendorong keluarga untuk tidak menyalahkan diri sendiri maupun penderita skizofrenia atas penyakit tersebut.
  4. Memperbaiki komunikasi dan keterampilan penyelesaian masalah dalam keluarga.
  5. Mendorong pasien dan keluarganya untuk memperluas kontak social.
  6. Menanamkan sebuah harapan bahwa sesuatu akan menjadi lebih baik, termasuk harapan bahwa pasien akan bisa sembuh.

  • Terapi kognitif behavioral
Sebelumnya diasumsikan bahwa tidak ada gunanya mencoba mengubah berbagai distorsi kognitif, termasuk delusi, pada para pasien skzofrenik. Meskipun demikan, suatu literatur klinis dan eksprimental yang sedang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa berbagai keyakinan maladaptif pada beberapa pasien kenyataannya dapat diubah dengan berbagai intervensi kognitif-behavioral.

  • Terapi personal
Terapi personal adalah pendekatan kognitif behavioral bersepektrum luas terhadap multisiplas masalah yang di alami para skizofrenia yang telah keluar dari rumah sakit jiwa. Terapi personal ini mengajari pasien bagaimana mengenali afek yang tidak sesuai, dan pasien di ajari untuk memperhatikan tanda-tanda kekambuhan meskipun kecil. Terapi tersebut juga mencakup terapi perilaku rasional emotif untuk membatu pasien mencegah berbagai frustasi dan tantangan yang tidak terhindarkan dalam kehidupan, dengan demikian membantu para penderita skizofrenia menurunkan kadar stress. Dan para penderita skizofrenia ini di ajari teknik-teknik relaksasi otot guna belajar untuk mengetahui atau kemarahan.

  • Terapi Reatribusi
Terapi reatrinusi ini untuk membantu para penderita skizofrenia agar tidak terlalu menganggap segala sesuatu yang tidak berjalan sebagai semestinya sebagai suatu masalah. Beberapa pasien didorong  untuk menguji berbagai keyakinan dlusinal mereka dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh orang normal. Melalui diskusi kolaboratif, beberapa pasien dibantu untuk memberikan suatu makna nonpsikotik terhadap berbagai simtom paranoid sehingga mengurangi intensitas dan karateristiknya yang berbahaya, sama dengan yang dilakukan dalam terapi kognitif Beck untuk depresi dan pendekatan Barlow terhadap gangguan panik.