A.
Kriminologi
Kriminologi
berasal dari kata “crimen”
(kejahatan/penjahat) dan “logos”
(ilmu pengetahuan), apabila dilihat dari istilah tersebut maka kriminologi
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan.[1]
Kriminologi (criminology) atau ilmu kejahatan sebagai disisplin ilmu
social atau non non-normative discipline yang memepelajari kejahatan
dari segi social. Kriminologi disebut juga sebagai ilmu yang mempelajari
manusia dalam pertentangannya dengan norma-norma social tertentu, sehingga
kriminologi juga disebut sebagai sosiologi penjahat.
Teori kriminologi dimana konsep-konsepnya relavan untuk
menganalisis kejahatan, penjahat, reaksi sosial terhadap kejahatan dan penjahat
serta kedudukan korban kejahatan yang sering menjadi masalah sosial di dalam masyarakat. Bahwa kondisi-kondisi
sosial tertentu di dalam masyarakat dihubungkan dengan kemungkinan timbulnya
kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Serta hukuman itu sendiri berfungsi
untuk mencegah orang lain dari melakukan kejahatan dan untuk mencegah kriminal
dari mengulangi kejahatannya.[2]
Kriminologi berusaha untuk memperoleh pengetahuan dan
pengertian mengenai gejala sosial di bidang kejahatan yang terjadi di dalam
masyarakat, atau dengan kata lain, mengapa sampai seseorang melakukan perbuatan
jahatnya itu. Kriminologi lebih mengutamakan tindakan preventif oleh karena itu
selalu mencari sebab-sebab timbulnya suatu kejahatan baik di bidang ekonomi,
sosial, budaya, hukum serta faktor alamiah seseorang, dengan demikian dapat
memberikan solusi yang tepat serta hasil yang memuaskan. Kriminologi lebih
banyak menyangkut masalah teori yang dapat memepengaruhi badanpemebentuk
undang-undang untuk menciptakan suatu undang-undang yang sesuai dengan rasa
keadilan masyarakat serta mempengaruhi pula hakim di dalam menjatuhkan vonis
kepada terdakwa.
Kriminologi dengan cakupan kajiannya, yaitu : orang yang
melakukan kejahatan, penyebab melakukan kejahatan, mencegah tindak kejahatan,
dan cara-cara menyembuhkan orang yang telah melakukan kejahatan. Dari uraian
pertimbangan dan dikarenakan teori-teori serta aliran-aliran yang masuk dalam
kriminologi banyak maka penulis berpendapat bahwa kedudukan calon legislatif
mantan narapidana korupsi dalam perspektif kriminologi yaitu, dalam teori labeling.
Dikarenakan
teoritis labeling berpendapat bahwa sebaiknya tidak dimulai dengan
menganalisi individu dan lingkungannya melainkan menganalisis reaksi masyarakat
, yaitu reaksi orang lain termasuk pejabat negara terhadap pelanggaran. Reaksi
masyarakat atau asumsi masyarakat disini sangat penting dikarenakan reaksi
masyarakat atau asumsi masyarakat yang seperti itu dianggap ada begitu saja dan
dianggap tidak bermasalah. Hal ini bukan hanya mengabaikan bahwa orang yang
tidak bersalah terkadang difitnah, tetapi juga orang yang melakukan tindakan
melanggar hukum itu akan diberi label kriminal atau penjahat.
Ada
beberapa teori dalam kriminologi antara lain:
1.
Teori
Differential Association
Sutherland mengatakan bahwa semua tingkah laku itu dapat
dipelajari dan mengatakan bahwa tidak ada tingkah laku kejahatan yang
diturunkan dari orangtua. Dengan
kata lain, pola perilaku jahat tidak diwariskan akan tetapi dipelajari melalui
suatu pergaulan yang akrab.[3]
Menurut Sutherland teori Differential Assosiation mempunyai kelemahan
dan kekuaatan.[4]
Adapun kekuatan teori Differential Assosiation bertumpu pada
aspek-aspek:
a.
Teori
ini relatif mampu untuk menjelaskan sebab-sebab timbulnya kejahatan akibat
sosial.
b.
Teori
ini mampu menjelaskan proses bagaimana seseorang belajar manjadi jahat.
c.
Teori
ini berlandaskan fakta dan bersifat rasional.
Sedangkan
kelamahan mendasar teori ini terletak pada aspek:
a.
Bahwa
tidak semua orang atau setiap orang yang berhubungan dengan kejahatan akan
meniru/memilih pola-pola kriminal. Aspek ini terbukti untuk beberapa golongan
orang, seperti petugas polisi, petugas pemasyarakatan/penjara atau kriminologi
yang telah berhubungan dengan tingkah laku kriminal secara intensif, nyatanya
tidak menjadi penjahat.
b.
Bahwa
teori ini belum membahas, menjelaskan dan tidak peduli pada karakter
orang-orang yang terlibat dalam proses belajar tesebut.
c.
Bahwa
teori ini tidak mampu menjelaskan
mengapa seseorang suka melanggar daripada mentaati undang-undang dan belum
mampu menjelaskan kausa kejahatan yang lahir karena spontanitas.
2.
Teori
Anomi
Anomi adalah sebuah istilah yang
diperkenalkan oleh Emilie Durkheim untuk menggambarkan keadaan yang kacau,
tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa Yunani “a” berarti “tanpa” sedangkan “nomos” berarti “hukum” atau “peraturan”. Konsep anomi adalah
menjelaskan penyimpangan tingkah laku kejahatan yang disebabkan karena kondisi
ekonomi di masyarakat.
3.
Teori
Kontrol Sosial
Teori ini meletakkan
penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan
masyarakat atau macetnya integrasi sosial. Teori kontrol sosial berusaha
menjelaskan kenakalan dikalangan para remaja kenakalan diantara para remaja
dikatakan sebagai “deviasi primer”,
maksudnya bahwa setiap individu yang melakukan:
a.
Deviasi
secara periodik/jarang-jarang
b.
Dilakukan
tanpa organisir atau tanpa melakukan dengan cara yang lihai.
c.
Si
pelaku tidak memandang dirinya sebagai pelanggar pada dasarnya hal yang
dilakukan itu, wajib dipandang sebagai deviasi oleh yang berwajib.
4.
Teori
Labeling
Teori Labeling timbul pada awal tahun 1960-an dan banyak dipengaruhi aliran
Chicago. Teori
Labeling, merupakan cabang dari teori terdahulu. Namun, teori ini menggunakan
perspektif baru dalam kajian terhadap kejahatan dan penjahat. Teori Labeling,
menggunakan metode baru untuk mengetahui adanya kejahatan, dengan menggunakan
self report study yaitu interview terhadap pelaku kejahatan yang tidak
tertangkap/tidak diketahui polisi.
Pada dasarnya, teori labeling dikorelasikan dengan buku Crime and
the Community dari Frank Tannenbaum (1938). Kemudian
dikembangkan oleh Howard Becker (The Outsider, 1963), Kai T.
Erikson(Notes on the Sociology of Deviance, 1964), Edwin
Lemert (Human Deviance SocialProblem and Social Control, 1967)
dan Edwin Schur (Labeling Deviant Behavioer, 1971). Dari perspektif Howard
S. Becker, kajian terhadap teori label menekankan kepada dua aspek, yaitu :
a.
Menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang
tertentu diberi cap atau label.
b.
Pengaruh/efek dari label sebagai suatu konsekuensi
penyimpangan tingkah laku.
Dengan demikian, reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku dapat
menimbulkan perilaku jahat. Kemudian F.M. Lemer, terkait dengan masalah
kejahatan yang dilakukan, membedakan tiga bentuk penyimpangan, yaitu :
a.
Individual deviation, dimana
timbulnya penyimpangan diakibatkantekanan psikis dari dalam.
b.
Situational deviation, sebagai
hasil stres atau tekanan dari keadaan.
c.
Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir dalam sub-sub kultur atau
sistem tingkah laku.
Lemert juga membedakan antara penyimpangan primer (primary
deviance) dan penyimpangan sekunder (secondary deviance), yaitu :
a.
Penyimpangan primer muncul
dalam konteks sosial, budaya dan yang sangat bervariasi dan hanya mempunyai
efek samping bagi struktur fisik individu. Pada asasnya, penyimpangan primer
tidak mengakibatkan reorganisasi simbolis pada tingkat sikap diri dan peran
sosial.
b.
Penyimpangan sekunder adalah
perilaku menyimpang atau peran sosial yang berdasar pada penyimpangan primer.
Para ahli teori label mengemukakan bahwa penyimpangan sekunder adalah yang
paling penting, karena merupakan proses interaksi antara orang yang dilabel
dengan pelabel dan pendekatan ini sering
disebut teori interaksi.
Menurut Howard S. Becker, harus dibedakan antara pelanggar hukum
dengan pelaku kejahatan. Pelanggaran hukum merupakan perilaku, sedangkan
kejahatan adalah reaksi kepadaorang lain terhadap perilaku itu.
Pelabelan terhadap seseorang terjadi pada
waktu ketika melakukan aksi, siapa yang melakukan dan siapa korbannya
serta persepsi masyarakat terhadap konsekuensi aksinya. Apabila dijabarkan, secara gradual asumsi dasar teori labeling meliputi
aspek-aspek:
a.
Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya
bersifat kriminal.
b.
Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok yang
bersifat dominan atau kelompok berkuasa.
c.
Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk
kepentingan pihak yang berkuasa
d.
Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum,
tapi karena ditetapkan demikian oleh penguasa.
e.
Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan,
sehingga tidak patut jika dibuat dua kategori, yaitu jahat dan orang tidak
jahat.
Menurut aliran ini, kejahatan terbentuk karena aturan-aturan lingkungan,
sifat individualistik, serta reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Karena
adanya reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku, maka dapat menimbulkan suatu
perilaku yang jahat.
Bahwa pemberian sifat label, merupakan penyebab seorang menjadi jahat. Ada
dua hal yang perlu diperhatikan, dalam proses pemberian label:
a.
Adanya label akan menimbulkan perhatian masyarakat
terhaap orang yang diberi label. Hal ini akan menyebabkan masyarakat di
sekitarnya memperhatikan terus menerus orang yang diberi label tersebut, maka
hal ini menurut kami akan terbentuk attachment partial.
b.
Adanya label, mungkin akan diterima oleh individu
tersebut dan berusaha menjelankan sebagaimana label yang diletakkan pada
dirinya.
Teori labeling
dari segi pandangan pemberian nama, yaitu bahwa sebab utama kejahatan dapat
dijumpai dalam pemberian label olehmasyarakat. Pembahasan labeling, terfokuskan pada dua tema, pertama: menjelaskan mengapa
dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, kedua: pengaruh atau efek dari
label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah
dilakukannya. Dengan
demikian, reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku juga dapat menimbulkan
perilaku jahat.[5]