KECEMASAN BERTANDING
Perlu dikemukakan bahwa kecemasan dapat
diinterpretasikan dalam dua cara, yaitu kecemasan yang dirasakan oleh atlet
dalam waktu tertentu, misalnya menjelang pertandingan (State Anxiety), atau
kecemasan yang dirasakan karena atlet tergolong pencemas (Trait Anxiety).
(Husdarta, 2010 : 80)
Terkait dengan olahraga, kecemasan
seringkali dialami oleh atlet ketika atlet akan menghadapi suatu pertandingan.
Pertandingan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perlombaan
dalam olahraga yang menghadapkan dua pemain untuk bertanding, sedangkan
bertanding adalah seorang lawan seorang. Pertandingan dalam istilah Inggrisnya,
disebut dengan competition yang kemudian diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia
menjadi kompetisi. Chaplin (2006) mendefinisikan competition adalah saling
mengatasi dan berjuang antara dua individu atau antara beberapa kelompok untuk
memperebutkan objek yang sama.
Stress dan kecemasan dapat timbul kapan
saja. Hampir setiap orang mengalami kecemasan. Begitu pula seorang atlet. Hanya
kadar kecemasan yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan
kepekaan dan daya toleransi seseorang terhadap sesuatu yang mungkin timbul atau
menyebabkan cemas/tegang. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang mempunyai
ambang keterangan (stress) tersendiri yang berbeda pula pada situasi lain.
Situasi tegang/cemas yang melewati ambang
stress akan menyebabkan hal-hal yang tidak atau kurang menguntungkan bagi atlet
yang bersangkutan. Dalam kegiatan olahraga terutama olahraga kompetitif
ketegangan akan muncul dan selalu menghantui baik para atlet maupun official,
ketegangan ini bisa muncul sebelum pertandingan atau selama pertandingan, pada
gilirannya ketegangan itu akan mengganggu penampilan mereka.
Dalam menghadapi pertandingan, wajar
saja kalau atlet menjadi tegang, bimbang, takut, cemas, terutama kalau
menghadapi lawan yang lebih kuat atau seimbang, dan kalau situasinya mencekam.
Ketakutan pada atlet umumnya dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori
(Singgih, 1996 : 62):
a. Takut
gagal dalam pertandingan.
b. Takut
akan akibat sosial atas mutu prestasi mereka
c. Takut
kalau cedera atau mencederai lawan.
d. Takut
fisiknya tidak mampu menyelesaikan tugasnya/pertandingan dengan baik.
e. Ada
pula atlet yang takut menang.
Hasil-hasil penelitian cenderung
menunjukkan bahwa atlet paling takut pada akibat sosial yang akan mereka
peroleh atas mutu prestasi mereka. Misalnya takut gagal memenuhi harapan
pelatih, KONI, pemerintah, takut dicemoh, dikritik, dikecam masyarakat.
Sampi batas tertentu, seorang atlet
wajar memiliki rasa khawatir akan kalah dan menghadapi lawannya. Karena
kekhwatiran ini justru dapat meningkatkan kewaspadaan atlet dalam menghadapi
lawan. Atlet akan bertindak lebih berhati-hati, tidak terburu-buru dan bersikap
waspada untuk mengantisipasi serangan lawan. Tetapi apabila atlet mengalami
kekhwatiran secara berlebihan, ia dapat menjadi ekstra berhati-hati, takut
berbuat salah, tidak berani membuat keputusan dan terlalu bersikap menunggu.
Kecemasan yang berlebihan pada atlet
dapat menimbulkan gangguan dalam perasaan yang kurang menyenangkan, sehingga
kondisi psikofisik atlet berada di dalam keadaan yang kurang seimbang.
Akibatnya, atlet terpaksa memfokuskan energi psikofisiknya untuk mengembalikan
kondisinya ke keadaan seimbang. Sehingga konsentrasi atlet untuk menghadapi
lawan menjadi kurang (Martens, 1987) (Singgih D. G, 1996 : 40).
Kecemasan memperingatkan ancaman cidera
pada tubuh, rasa takut keputusasaan, kemungkinan hukuman, atau frustasi dari
kebutuhan sosial atau tubuh, perpisahan dari orang yang dicintai, gangguan pada
keberhasilan atau status seseorang.
Bagi seorang atlet perorangan,
pertandingan atau kompetisi olahraga merupakan situasi yang membangkitkan
kecenderungan kompetitif, yaitu motif keberhasilan olahraga. Di lain pihak,
juga dibangkitkan motifnya untuk menghindari kegagalan yang dicerminkan melalui
rasa cemasnya menghadapi pertandingan atau kecemasan bertanding. Dua motif ini
dimiliki setiap orang dengan kekuatan berbeda, masing-masig berdiri sendiri dan
intensitasnya tidak saling bergantung.
Oleh karena itu, olahraga prestasi tidak terlepas dari kegiatan
kompetitif, persepsi atlet terhadap suatu pertandingan dan kecemasan bertanding
atlet yang diduga ikut berperan mengarahkan penampilannya dalam pertandingan,
persepsi atlet dalam suatu pertandingan diperkirakan menunjang performance
atlet saat bertanding, sedangkan kecemasan bertanding dalam intensitasnya
tertentu diduga dapat menghambat prestasinya.
Cox (2002) mengungkapkan bahwa kecemasan
menghadapi pertandingan merupakan keadaan distress yang dialami oleh seorang
atlet, yaitu sebagai suatu kondisi emosi negatif yang meningkat sejalan dengan
bagaimana seseorang atlet menginterpretasi dan menilai situasi pertandingan.
Gunarsa (1996) menjelaskan bahwa persepsi atau tanggapan atlet dalam menilai
situasi dan kondisi pada waktu menghadapi pertandingan, baik jauh sebelum pertandingan
atau mendekati pertandingan akan menimbulkan reaksi yang berbeda. Apabila atlet
menganggap situasi dan kondisi pertandingan tersebut sebagai suatu yang
mengancam, maka atlet tersebut akan merasa tegang (stress) dan mengalami
kecemasan.
Amir (2004) menjelaskan bahwa kecemasan
yang timbul saat akan menghadapi pertandingan disebabkan karena atlet banyak
memikirkan akibat-akibat yang akan diterimanya apabila mengalami kegagalan atau
kalah dalam pertandingan. Kecemasan juga muncul akibat memikirkan hal-hal yang
tidak dikehendaki akan terjadi, meliputi atlet tampil buruk, lawannya dipandang
demikian superior dan atlet mengalami kekalahan (Satiadarma, 2000). Rasa cemas
yang muncul dalam menghadapi pertandingan ini dikenal dengan kecemasan
bertanding (Sudradjat, 1995).
Sementara itu, Gunarsa (1996 : 63)
menyimpulkan hubungan kecemasan bertanding dalam hubungannya dengan
pertandingan sebagai berikut:
a. Sebelum
pertandingan dimulai, kecemasan akan naik yang disebabkan oleh bayangan berat
tugas atau pertandingan yang akan dihadapi.
b. Selama
pertandingan berlangsung, tingkat kecemasan biasanya mulai menurun.
c. Mendekati
akhir pertandingan, tingkat kecemasan biasanya akan naik lagi terutama bila
skor pertandingan berimbang.
Berdasarkan uaraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa kecemasan bertanding merupakan reaksi emosi negatif atlet
terhadap keadaan tegang dalam menilai situasi pertandingan, yang ditandai
dengan perasaan khawatir, was-was, dan disertai peningkatan gugahan sistem faal
tubuh, sehingga menyebabkan atlet merasa tidak berdaya dan mengalami kelelahan
karena senantiasa berada dalam keadaan yang dipersepsi mengancam.
A.
Faktor
yang Mempengaruhi Kecemasan Bertanding
Sumber anxiety bermacam-macam seperti:
tuntunan sosial yang berlebihan dan tidak atau belum dapat dipenuhi oleh
individu yang bersangkutan, standar prestasi individu yang terlalu tinggi
dengan kemampuan yang dimiliknya seperti misalnya kecenderungan perfeksionis,
perasaan rendah diri pada individu yang bersangkutan, kurang-siapan individu
sendiri untuk menghadapi situasi yang ada, pola perpikir dan persepsi yang
negatif terhadap situasi yang ada ataupun terhadap diri sendiri. (Singgih D. G,
1996 : 41)
Perasaan cemas disebabkan karena adanya
ketegangan pribadi yang terus menerus, akibat konflik dalam diri orang tersebut
yang juga terus menerus. Orang cemas tidak dapat mengatasi konfliknya, sehingga
ketegangan tidak kunjung reda.
Menurut sarwono, kecemasan dapat
disebabkan oleh dua faktor yaitu : a) faktor dari luar, yaitu ancaman bahaya
yang terus menerus dialami seseorang, tanpa orang tersebut dapat berbuat
apa-apa, b) faktor dari dalam diri individu, yaitu kecemasan yang disebabkan
dari dalam diri individu sendiri, misalnya perbedaan yang terlalu jauh antara
cita-cita atau keinginan dengan kemampuan yang dimiliki.
Perlu ditelaah terlebih dahulu, apakah
pelatih atau pembina sendiri tidak menuntut secara brlebihan terhadap atlet
tanpa memberikan dukungan kondisi dan pra-kondisi yang memadai. Karena tuntutan
yang terlalu tinggi tanpa diimbangi oleh dukungan kondisi yang memadai akan
mudah menimbulkan anxity pada atlet (Singgih D. G, 1996 : 42)
Di samping itu, apakah pelatih tidak
bersikap terlalu khawatir akan atletnya. Misalnya saja dalam cabang olahraga
Taekwondo, sering terjadi pelatih merasa khawatir secara berlebihan akan
kemungkinan cedera yang dapat menimpa atletnya. Padahal di dalam olahraga
kontak fisik seperti Taekwondo resiko cedera merupakan sesuatu yang memang
sudah diperhitungkan.
Sikap pelatih yang khawatir secara
berlebihan akan atletnya dapat mempengaruhi skap atlet. Akibatnya atlet menjadi
takut cedera secara berlebihan, ia menjadi gentar untuk menyerang lawan karena
takut lawan menendang balik (counter attack), dan lebih cenderung bertahan
daripada berusaha untuk menyerang dan merebut angka.
Menurut Dadang Hawari (1997 : 62),
gejala kecemasan baik yang sifatnya akut maupun kronik merupakan komponen utama
bagi hampir semua gangguan psikiatrik.
Sebagian dari komponen kecemasan itu menjelma dalam bentuk gangguan panik.
Menurut Maramis (1980 : 258-277),
kecemasan tidak terikat pada suatu benda atau keadaan akan tetapi mengambang
bebas. Bila kecemasan hebat sekali munkin terjadi panik. Maramis membagai dua
komponen kecemasan antara lain : 1) komponen somatik berupa nafas sesak, dada
tertekan, kepala enteng seperti mengambang, linu-linu, keringat dingin. Semacam
gejala lain mungkin mengenai motorik, pencernaan, pernafasan, atau susunan
syaraf pusat. 2) komponen psikologis mungkin timbul sebagai was-was, khawatir
akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, prihatin dengan pikiran orang
mengenai dirinya. Penderita tegang terus menerus dan tidak bisa berperilaku
santai, pemikirannya penuh tentang kehwatiran kadang-kadang bicarnya cepat,
tetapi terputus-putus. Mengenai ancaman internal dan eksternal dengan represi
sederhana kecemasan belum terikat atau terawasi oleh pembelaan ego.
B.
Ciri-ciri
Kecemasan Bertanding
Gejala anxiety bermacam-macam bentuk dan
kompleksitasnya, namun biasanya cukup mudah dikenali. Seseorang yang mengalami
anxiety cenderung terus menerus merasa khawatir akan keadaan yang buruk yang
akan menimpa dirinya atau diri orang lain yang dikenalnya dengan baik.
Biasanya, seseorang yang mengalami
anxiety cenderung tidak sabar, mudah tersinggung, sering mengeluh, sulit
berkonsentrasi, dan mudah terganggu tidurnya atau mengalami kesulitan untuk
tidur.
Penderita anxiety sering mengalami
gejala-gejala seperti : berkerngat berlebihan (walaupun udara tidak panas dan
bukan setelah olahraga), jantung berdegup ekstra cepat atau terlalu keras,
dingin pada tangan atau kaki, mengalami gangguan pencernaan, merasa mulut
kering, merasa tenggorokan kering, tampak pucat, sering buang air kecil
melebihi batas kewajaran, dan lain-lain. (Singgih, D. G, 1996 : 40).
Mereka juga sering mengeluh sakit pada
persendian, kaku otot, cepat merasa lelah, tidak mampu relaks, sering terkejut,
dan adakalanya disertai gerakan-gerakan wajah atau anggota tubuh dengan
intensitas dan frekuensi berlebihan, misalnya : pada saat duduk terus-menerus
menggoyangkan kaki, meregang-regangkan leher, mengernyitkan dahi, dan
lain-lain.
Menurut Krol (1978), ada lima faktor
dasar respon kecemasan prekompetitif yaitu a) Keluhan somatic, yaitu
meningkatnya aktifitas fisiologis berhubngan dengan situasi yang mengundang
stress, seperti kompetisi pertandingan, keluhan somatic : perut mulas, gemetar,
b) Ketakutan bila gagal, cemas muncul bila penilaian subjektif atlet berakhir
dengan persepsi adanya kemungkinan terjadi kegagalan, c) Perasaan tidak mampu,
ciri perasaan tidak mampu adalah perasaan atlet bahwa ada yang salah dari
dirinya, d) Kehilangan kontrol, cirinya adalah tidak sedang mengontrol apa yang
sedang terjadi (seolah dikontrol oleh faktor eksternal seperti keberuntungan),
e) Perasaan bersalah, pikiran bersalah berhubungan dengan moralitas dan
agresifitas, reaksi dan pikiran bersalah adalah bermain kotor, melukai lawan
dan mengumpat.
DAFTAR PUSTAKA
Cox,
R.H. 2002. Sport Psychology: Concepts and
Applications. New York: Mc Graw-Hill Companies,
Inc
Davies, D. 1989. Psychological Factor in Competitive Sport. Philadelphia: Falmer
Press.
Gunarsa,
S.D. 1986. Psikologi Olah Raga.
Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
................1996.
Psikologi Olah Raga:Teori dan Praktek.
Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
...............2000.
Psikologi Olahraga Dan Penerapannya Untuk
Bulutangkis. Jakarta: UPT Penerbitan
Universitas Tarumanagara,
Hardy,
L, Jones, G, Gould, D. 1999. Understanding Psychological Preparation for Sport :Ttheory and Practice of Elite Performers. New
York: John Wiley & Sons, Inc
Husdarta.
_____. Psikologi Olahraga. Bandung :
Alfabeta.
Maksum, A. 2007. Psikologi Olahraga, Teori dan Aplikasi. FIK Unesa
Satiadarma,
M.P. 2000. Dasar-dasar Psikologi
Olahraga. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Singgih
D. Gunarsa dkk. 1996. Psikologi Olahraga
Teori dan Praktek. Jakarta : PT. BPK. Gunung
Mulia.
Singgih Gunarsa dkk.
1989. Psikologi Olahraga. Jakarta :
Gunung Mulia.
Singer,
R.N., Hausenblas, H.A., Janelle, C.M. 2001. Handbook
of Sport Psychology. New York
: John Wiley & Sons, Inc.
Wann, L.D. 1997. Sport Psychology. New Jersey:
Murray State University.
Williams,
J.M. 1994. Applied Sport Psychology:
Personal Growth to Peak Performance. California:
Mayfield Publishing Company.
According to Stanford Medical, It's really the ONLY reason this country's women live 10 years more and weigh 42 lbs less than we do.
BalasHapus(And realistically, it is not related to genetics or some secret exercise and really, EVERYTHING about "HOW" they eat.)
P.S, What I said is "HOW", and not "what"...
TAP on this link to uncover if this short test can help you unlock your real weight loss possibility