Indonesia merupakan negara
multikultural dengan penduduk yang berasal dari berbagai latar belakang etnis,
suku, agama, ras dan budaya. Salah satu etnis yang ada di Indonesia adalah
Etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa pertama kali datang ke tanah Nusantara pada awal
abad ke-5 Masehi. Pada tahun 414,
para Tionghoa yang melakukan perjalanan ke India terdampar di Jawa. Mereka
terdampar seiring dengan hubungan perdagangan Nusantara. Perkembangannya
pun terus meningkat, semakin banyak
orang Tionghoa seperti berasal dari Mongol memilih tidak pulang dan menetap di
Indonesia[1].
Orang-orang Etnis Tionghoa pun sangat
beragam, bukan hanya dari golongan pedagang kelas menengah dan saudagar.
Beberapa dari mereka juga datang dari golongan tukang, pedagang kecil, buruh
dan kuli kasar. Selanjutnya, orang
Tionghoa ini pun membaur dengan bahasa, makanan, pakaian, dan agama di
Indonesia. Mereka pun menikahi sejumlah perempuan Indonesia dan menghasilkan
keturunan[2].
Masuknya Etnis Tionghoa ke Nusantara
pada saat itu, memberikan dinamika tersendiri dalam perkembangan Islam. Seiring
berjalannya waktu, banyak Etnis Tionghoa yang memeluk agama Islam dan melakukan
penyebaran. Dinamika sejarah Islam Tionghoa di Negara Indonesia dapat dilihat
mulai berbagai fase, mulai fase pertumbuhan, fase perkembangan, fase kemunduran
dan fase kebangkitan lagi di era sekarang[3].
Fase pertumbuhan dimulai dari rekam jejak sejarah ekspedisi laksamana Cheng Hoo
ke Nusantara. Fase perkembangan ditandai dengan tersebarnya berbagai ajaran
Islam dengan budaya Tionghoa melalui berbagai jalur, seperti perdagangan,
pernikahan, dan kekeluargaan. Fase kemunduran adalah Era Orde Baru yang
ditandai dengan berbagai problem politik adu domba antara rezim kolonial
belanda dan orde baru terkait dengan Etnis Tionghoa.
Penyebaran ajaran Islam awal yang
dilakukan oleh Tionghoa Muslim tidak dapat ditentukan secara pasti. Secara
umum, dapat dikatakan bahwa proses tersebut telah berlangsung sejak pertama
kali mereka datang ke Indonesia. Selain itu masyarakat Tionghoa sangat mengenal
siapa Laksamana Muhammad Cheng Hoo, yang telah menjadi ikon bagi mereka.
Laksamana Cheng Hoo (Zheng He), tercatat dalam sejarah sebagai salah seorang
admiral muslim yang telah berhasil menjadi duta Islam kala itu. Ia memulai
pelayaran pada tahun 1405, berlayar selama 29 tahun dan berhasil melalui
wilayah Asia hingga Afrika[4].
Pelayarannya bukan hanya untuk membangun jaringan perdagangan, tetapi juga
menyebarkan agama Islam secara luas.
Warisan Cheng Hoo (Zheng He) yang
termasyur hingga kini adalah jalur perdagangan yang ditempuhnya dikenal sebagai
Jalur Sutra. Kennedy, dalam bukunya The Great Arab Conquest (Kennedy : 2007)
menyebutkan bahwa jalur sutra yang dilewati oleh Cheng Hoo (Zheng He) membawa
spirit Islam yang kental. Hingga ke wilayah semenanjung Malaka dan Asia
Tenggara kemudian jalur tersebut dikenal sebagai Jalur Santri. Diketahui kapal
ekspedisi Cheng Hoo (Zheng He) tidak hanya memuat beragam barang perdagangan,
di dalamnya juga mengangkut beberapa pemeluk dan pemuka agama. Hubungan
tersebut kemudian mempengaruhi bagaimana Cheng Hoo (Zheng He) mengembangkan
hubungan yang lebih dalam dengan penguasa di wilayah semenanjung Malaka,
khususnya di wilayah Jawa. Tercatat keberadaan Cheng Hoo (Zheng He) di Jawa
bahkan membuahkan sebuah kerjasama lebih erat melalui perkawinan antara Putri
Campa dengan Raja Majapahit kala itu. Dari perkawinan tersebut lahirlah
keturunan yakni Raden Patah (Sunan Kalijaga), Raden Rahmat (Sunan Ampel), dan
Raden Muhammad Ainul Yakin (Sunan Giri). Ketiganya menjadi cikal bakal
penyebaran agama Islam dan menjadi bagian dari Wali Songo.
Kehidupan beragama Muslim Tionghoa
terus berlanjut hingga sekarang. Pada mulanya, kehidupan keagamaan mereka
bersifat perorangan. Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya, kehidupan
keagamaan yang semula bersifat personal menjadi sosial. Hal ini terlihat dengan
pembentukan organisasi yang salah satu fungsinya adalah dakwah Islamiyah,
seperti Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)[5].
PITI merupakan salah satu organisasi dakwah Islamiyah Muslim Tionghoa pertama
yang dibentuk. Selanjutnya organisasi tersebut dibentuk di masing-masing daerah
seperti Serdang, Yogyakarta, Surabaya, dan lain sebagainya.
Pada masa Orde Baru, Muslim Tionghoa
mengalami tekanan yang cukup keras dari pemerintah. Organisasi PITI harus
dibubarkan karena menurut Jaksa Agung, penggunaan kata ‘Tionghoa’ berbau
eksklusif. Tak lama setelah itu, pada tanggal 15 Desember 1972 Muslim Tionghoa
mendirikan organisasi baru bernama Pembina Iman Tauhid Islam yang masih
berakronim PITI[6].
Seiring dengan kebebasan pers pasca
Orde Baru, ditambah dengan pencabutan terhadap pelarangan praktik adat dan
tradisi Tionghoa di ruang publik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Keppres No. 6
Tahun 2000), warga Tionghoa semakin mendapatkan ruang untuk berekspresi dalam
beragam cara, termasuk di antaranya warga Muslim Tionghoa. Momentum kebebasan
tersebut dimanfaatkan untuk merevitalisasi organisasi PITI (Pembina Iman Tauhid
Islam). Dalam Muktamar Nasional PITI ke-2 yang berlangsung di Jakarta tahun
2000, akronim lama digunakan lagi bersamaan dengan yang sekarang yaitu Persatuan
Islam Tionghoa Indonesia. Selain itu, di Surabaya dibangun masjid pertama yang
bergaya arsitek China dan diberi nama Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia.
[1] Muchlisa Choiriah,
“Sejarah Kedatangan Etnis Tionghoa di Indonesia”, (https://www.merdeka.com/peristiwa/sejarah-kedatangan-etnis-tionghoa-di-indonesia.html
diakses pada 27 Januari 2020)
[2] Keturunan yang lahir
dari perkawinan silang ini disebut peranakan Tionghoa-Indonesia
[3] Muhibbin, “KEBERAGAMAAN
ETNIS MUSLIM TIONGHOA DI JAWA
TIMUR; Studi Terhadap Jamaah Masjid
Cheng Hod di Jember dan Surabaya”. FENOMENA. Vol. 18 No. 1, April 2019, 2
[4] Ahmad Ma’ruf,
“NILAI-NILAI AL-QUR’AN DALAM PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF ETNIS TIONGHOA DI
PERSATUAN ISLAM TIONGHOA INDONESIA (PITI JATIM)”. MAFHUM : Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir. Vol. 2 No. 2, November 2017, 180
[5] Yusuf Zainal Abidin,
“Keberagamaan dan Dakwah Tionghoa Muslim”. Ilmu Dakwah: Academic Journal for
Homiletic Studies. Vol. 11 No. 2, 2017, 358
[6] Rezza Maulana, “DAKWAH
DAN ETNISITAS: Negosiasi Identitas pada Majalah Cheng Hoo”. Mukaddimah, Vol.
19, No. 1, 2013, 28-29
0 komentar:
Posting Komentar