a)
Pengertian
Regulasi Emosi
Menurut Gross, regulasi emosi adalah salah satu
cara yang dilakukan dalam mengelolah emosi yang rasakan oleh individu, tentang
kapan individu tersebut merasakannya, bagaimana mereka mengalami dan bagaimana
individu mengekspresikan emosi tersebut. Regulasi emosi yang tepat meliputi
kemampuan individu untuk dapat mengatur perasaan, reaksi fisiologis, kognisi
yang berhubungan dengan emosi sebagai sebuah manipulasi yang dilakukan pada
diri sendiri atau terhadap situasi yang dapat memicu respon yang terdiri atas
aspek fisiologis, pengalaman subjektif, atau perilaku. Artinya regulasi emosi
bisa dilakukan dengan memengaruhi situasi
pada saat respon emosi belum muncul atau ketika respon emosi telah
muncul. Regulasi emosi yang efektif meliputi kemampuan fleksibel seorang
individu dalam mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan. [1]
Regulasi emosi juga dapat di artikan sebagai suatu
keterampilan yang dapat dilakukan oleh individu untuk menyeimbangkan emosi yang
sedang dirasakan, dan bagaimana emosi yang dirasakannya tersebut di ekspresikan
dengan baik . Upaya di perlukan untuk mengelolah emosi dapat bersifat otomatis,
ataupun terkontrol, sadar dan tidak sadar.[2]
Dari sudut perkembangan Thompson menyatakan
bahwa regulasi emosi terdiri atas proses ekstrinsik dan instrinsik yang
menentukan pengawasan, evaluasi dan modifikasi reaksi emosi untuk mencapai
tujuan seseorang. Proses intrinsik adalah cara seseorang mengelolah emosi yang
muncul dari dalam dirinya sendiri. Proses ekstrinsik adalah cara seseorang
dalam memengaruhi emosi yang datang dari luar. Perbedaan individu dalam
kemampuan mengontrol emosi yang dimulai dari tahap infancy dan early childhood sangat
memengang peran penting dalam penyesuaian.
Menurut Martin, ciri-ciri individu yang
mempunyai pengelolahan emosi antara lain sebagai berikut:
1)
Bertanggung
jawab secara pribadi terhadap perasaan dan kebahagiaannya.
2)
Mampu
mengalihkan emosi negatif menjadi proses belajar dan kesempatan untuk
berkembang.
3)
Lebih
peka kepada perasaan orang lain.
4)
Melakukan
intropeksi dan relaksasi.
5)
Selalu merasakan
emosi positif dari pada emosi negatif.
6)
Tidak
mudah putus asa ketika menghadapi masalah.[3]
b)
Fase
Perkembangan Pengelolahan Emosi
Holodynski
menyatakan bahwa pengelolahan emosi dilandasi dengan berbagai macam aspek
tentang bagaimana individu melakukan keterampilan dalam mengelolah emosi yang
bersifat negatif. Mengelolahnya atau mengantisipasi motivasi dan harapan dimasa
mendatang. Berdasarkan model internalisasi dari Holodynski ini perkembangan emosi
dan pengelolaannya dibagi menjadi lima fase.[4]
1) Fase Pertama Usia 0-2 Tahun
Dalam
fase ini individu menghadapi tugas yang mana untuk membentuk kemampuan dalam
membedakan berbagai macam emosi yang dimediasi oleh tanda-tanda ekspresi dalam
hubungannya dengan pengasuh. Oleh karena itu, pada fase ini individu masih
sangat tergantung pada pengelolahan interpersonal melalui pengasuh. Individu
masih belum dapat mengontrol emosi mereka. Oleh karena itu pada fase ini
kepekaan pengasuh terkait ekspresi emosi individu sangat penting dalam proses
perkembangan emosi individu. Regulasi emosi individu pada fase ini masih sangat
bergantung pada regulasi interpersonal dengan pengasuh karena individu masih
belum bisa mengontrol emosinya berdasarkan keinginannya.
Secara
spesifik menurut Calkins dalam Gross menyatakan bahwa usaha dalam pengelolaan emosi
dimulai saat individu memasuki usia 3 bulan. Salah satu contohnya bayi akan
memalingkan muka atau menengok ketika bereaksi terhadap stimulus yang tidak
menyenangkan atau menyenangkan.[5]
Kemudian
usia 3-6 bulan bayi mampu mengenal stimulus yang tidak menyenangkan dengan
distraksi sederahan, contohnya mengalihkan perhatian pada mainan ketika menghindari
hal-hal yang menakutkan. Pada akhir tahun pertama, bayi mulai aktif mengontrol
munculnya perasaan (affective arousal).
Pada akhir tahun kedua, bayi mampu melakukan strategi pengelolaan emosi, diantara
berupa calming (physical self soothing,
misalnya menghisap jari atau dot menggunkan selimut yang lembut), distraction (umumnya berupa
memalingkan pandangan dan manipulasi objek dengan mainan), dan first symbolic strategies/ cognitive
reinterpretation (awal dari fungsi simbolik, tetapi masih jarang pada usia
ini).[6]
2) Fase Kedua Usia 3-6 Tahun
Dalam
fase ini anak dihadapkan pada tugas untuk mengurangi dukungan dari pengasuh
mereka dan menjadi mampu melakukan pengelolaan intrapersonal maupun
interpersonal. Dukungan pengasuh yang baik dalam fase perkembangan emosi
sebelumnya memungkinkan anak untuk mampu mengatur tindakannya secara mandiri
melalui emosi bangga (pride), malu (shame), perasaan bersalah (guilt), dan emosi yang berkaitan dengan
meningkatnya self-aware (kesadaran
diri) anak terhadap norma dan aturan budaya. Anak mulai belajar untuk
berkompromi dan memiliki toleransi atas keinginannya dipuaskan oleh orang lain,
namun juga mulai belajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Mereka mulai belajar untuk mematuhi norma budaya dan aturan interaksi sosial
saat melakukan suatu hal.[7]
Pada
usia 3-6 tahun anak dapat bermain sendiri dan sudah bisa di tinggalkan dalam
waktu yang sebentar. Meningkatnya kemampuan bicara pada anak juga dapat
meningkatkan kemampuannya dalam mengelolah emosi yang sedang dirasakan. Dalam masa
ini anak dapat mengekspresikan emosi secara verbal ketika menghindari atau
menghadapi suatu hal yang dapat menyebkan timbulnya emosi. Karena itu pengasuh
bisa meningkatkan strategi simbolik dalam melakukan pengelolaan emosi
interpersonal. Dalam hal ini komunikasi verbal menjadi penting dalam
pengelolaan emosi.[8]
Pada
akhir usia 6 tahun anak bisa melakukan pengalihan dengan mandiri contohnya
bermain sendiri ketika pengasuh tidak ada. Begitu juga saat pengasuhnya ada mengajaknya
bermain dengan memperlihatkan mainannya. Pada usia strategi calming menjadi menurun. Secara umum, pada fase ini peran
eksternal atau interpersonal regulation
mengalami sedikit penurunan. Pada usia ini belajar spesifik dari orang tua. [9]
Menurut Thompson anak mempelajari pengelolaan emosi dari orang tua melalui empat cara, yaitu intruksi langsung (distect intruction), mengajukan reinterprestasi penyebab (proposals for reinterpreting the cause), mencontoh model (model learning), berdiskusi seputar masalah emosi (discourse over emotion).[10]
3) Fase Ketiga di Atas 6 Tahun
Dalam
pada fase ini kemandirian anak mulai meningkat komunikasi verbal dan ekspresi anak
mulai disesuaikan dengan lingkungannya. Ekspresinya juga telah dapat dipahami
oleh orang disekitarnya. Anak mulai mengembangkan perasaan yang menggambarkan
ekspresi somatosensory. Bukan hanya
ekspresi fisik Santrock menyatakan bahwa
pada masa ini anak semakin bisa mengembangkan pemahaman emosi dan pengelolaan emosi.
Selain itu ia menyatakan terhadap perubahan emosi pada masa ini seperti: [11]
(a)
Meningkatnya
pemahaman tentang emosi, misalnya anak-anak usia sekolah dasar mengembangkan
suatu kemampuan untuk memahami emosi
kompleks tertentu seperti bangga dan malu. Emosi dan pengelolaan emosi menjadi
lebih mandiri serta terintegrasi dengan tanggung jawab personal.
(b)
Meningktanya pemahaman tentang emosi kompleks
dari pada emosi dasar yang dapat dialami atau diterapkan dalam situasi tertentu
(c)
Meningkatnya
kecendrungan untuk mengingat peristiwa yang menimbulkan reaksi emosi.
(d)
Meningktanya
kemampuan menekan atau menyembunyikan rekasi emosi negatif. Anak-anak sekolah
dasar sering dengan sengaja menyembunyikan emosi mereka.
(e)
Menggunakan strategi untuk mengalihkan
perasaanya. Dalam usia sekolah dasar, anak menjadi lebih relektif dan
mengembangkan strategi yang lebih baik untuk menanggulangi masalah dengan pola emosi.
Mereka dapat lebih efektif mengatur emosinya dengan strategi kognitf, misalnya
dengan mengalihkan pikiran atau perhatian (cognitive
change),
(f)
Terdapat
suatu kapasitas empati yang tulus.[12]
4) Fase Keempat Usia Remaja (Adolescence)
Dalam tugas
pada fase ini remaja bukan hanya
mengatur aksi dan emosi, tetapi mengembangkan kemampuan kontrol diri. Menurut
Santrock kemampuan mengontrol emosi merupakan aspek yang penting dalam
perkembangan aspek emosi masa remaja. Kemampuan pengelolaan emosi berkaitan
dengan berbagai keberhasilan atau kegagalan banyak aspek, misalnya akademik.
Reaksi
remaja dalam menghadapi situasi yang stressfull
dapat memengaruhi tinggi rendahnya pengelolaan emosinya yang dapat membedakan
kerentanan remaja dalam mengahadapi stres. Saat situasi stress menimbulkan
amarah pada remaja, adalah suatu pilihan yang dapat dipilih remaja untuk
menanggulanginya yaitu:[13]
(a)
Supepression, dipilih karena rasa takut diasosiasikan pada
figur yang mempunyai otoritas untuk menahan emosi yang dirasakan.
(b)
Open aggression, bentuknya adalah pengeskpresian dari eosi,
sperti kritik, sarkasme, bertengkar, berdebat, agresif, sampai berbuat
criminal. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kepuasan diri tanpa memikirkan orang
lain.
(c)
Passive
aggression, dimana individu melakukan sabotase karena individu merasa marah
tetapi terlalu berbahaya jika diketahui oleh orang lain. Hal ini terjadi karena
individu tersebut memiliki kontrol.
(d)
Assertiveness, dengan
cara ini dapat membantu mengembangkan hubungan antar individu mengenai hal yang
tidak menyenangkan dan diselesaikan bersama. Hal ini merupakan tanda dari
kedewasaan dan stabilitas.[14]
(e)
Dropping anger, remaja menyadari batasan diri dan menerima
kekurangan sehingga dapat mengontrol situasi.[15]
5)
Fase
Kelima Usia Dewasa (Adulthood)
Menurut Charles dan Chartensen bahwasanya
regulasi emosi tidak menurun dengan seiring meningkatnya usia individu. Pada
fase ini individu lebih mampu menunjukkan kemampuan dalam meregulasi emosi
negatif dari pada yang sebelumnya.
Didalam fase ini individu akan ditunjukkan atau
dihadapkan pada permasalahan yang baru dihidupnya yang mana sebagai individu
yang sudah tergolong individu yang dewasa. Tanggung jawab dan peran individu
ini tentunya akan semakin besar dengan bertambahnya usia. Individu sudah tidak
lagi bergantung kepada orang lain dalam hal apapun. Semua urusan dan masalah
yang dihadapi didalam kehidupannya sebisa mungkin akan diselsaikan sendiri
tanpa orang lain termasuk saudara dan
orang tuanya sendiri. Kehidupan psikososial individu dalam fase ini sangat
kompleks. Individu akan memasuki kehidupan yang baru misalnya kehidupan
pernikahan yang akan membentu keluarga baru, merawat anak-anaknya dan tetap
harus perhatian kepada orang tuanya yang usianya tidak lagi muda.
Suatu permasalahan yang terjadi di hidupnya
pada hakikatnya merupakan suatu batu loncatan agar individu bisa menjadi lebih
dewasa dari sebelumnya. Wajar jika melakukan suatu usaha untuk mengungkapkan
berbagai macam emosi yang individu itu rasakan di dalam dirinya. Namun lebih
baik jika individu merespon emosi yang ada pada dirinya dengan perilaku yang
adaptif agar tidak merugikan diri individu itu sendiri dan orang-orang
disekitarnya.[16]
c)
Faktor-Faktor
Yang Dapat Mempengaruhi Regulasi Emosi
Terdapat berbagai macam faktor yang dapat
mempengaruhi regulasi individu antara lain:
1)
Usia
Individu
Kematangan emosi individu dipengaruhi oleh
kemtangan fisiologis, faktor bertambahnya usia pada individu yang mempengaruhi
kematangan organ dan tingkat pertumbuhan individu. Beer dan Lombardo mengatakan
bahwa pengelolaan emosi pada individu berkaitan dengan proses kerja organ otak
yaitu lobus frontal, cingulate anterior,
lobus temporal, dan kemungkinan amygdala.
Calkins mengatakan bahwa organ otak lobus
frontal dalam membentuk perilaku mendekat dan menghindar terhadap stimulus
yang dapat menyebabkan timbunya emosi. Semakin bertambahnya usia individu
menyebabkan ekspresi emosi, pengelolahan emosi yang awalnya bersifat
interpersonal (yang lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal) menjadi bersifat
intrapersonal (bersifat internal, instrumental maupun kognitif) individu
tersebut semakin terkontrol.[17]
2)
Gender
Kondisi
fisiologis dan hormonal yang berbeda pada laki-laki dan perempuan
menyebabkan berbedanya karakteristik emosi antara laki-laki dan perempuan.
Perempuan harus mengontrol perilaku asertif dan agresifnya. Hal ini menyebabkan
adanya kecemasan-kecemasan yang ada pada dirinya. Karena itu secara tidak
langsung adanya perbedaan emosi antara laki-laki dan perempuan. Middendrop
mengatakan bahwa pengelolaan emosi seorang perempuan lebih kuat pengaruhnya
atas perasaanya sendiri baik tentang kesehatan dirinya ataupun dalam
pengelolahan emosi yang dilakukan atas dasar kondisi kesahatannya yang mungkin
bisa di anggap dapat mengancamnya. Laki-laki dan perempuan mempunyai
pengelolahan emosi yang berbeda. Middendrop menyatakan bahwa perempuan lebih
sering melakukan rumination (membuat
seorang wanita akan terus-menerus memikirkan hal-hal yang negatif), positive refocusing (memikirkan hal-hal
yang menyenangkan daripada memikirkan hal yang sebenarnya) dan catastrophizing (merasa bahwa apa yang
dialami adalah suatu pengalaman yang
buruk baginya).[18]
Perbedaan jenis kelamin ketikan mengekspresikan
emosi dikaitkan dengan perbedaan tujuan perempuan dan laki-laki ketika
mengontrol emosi yang dirasakannya. Laki-laki mengekspresikan rasa bangga dan
marah untuk menjaga hubungan interpersonal serta membuat mereka tampak lemah
dan tidak berdaya, sedangkan laki-laki mengeskpresikan rasa marah dan bangga
untuk mempertahankan dan menunjukkan dominasi, karena itu perempuan lebih dapat
melakukan pengelolahan terhadap emosi marah dan bangga, sedangkan laki-laki
pada emosi takut, sedih dan cemas. Sedangkan perempuan akan mengekspresikan emosinya
untuk membuat mereka tampak tidak berdaya, lemah dan untuk menjaga hubungan
interpersonalnya.[19]
3) Motivasi
Motivasi
berperan dalam terbentuknya pengelolahan emosi, menurut Fischer individu akan
cenderung menginginkan situasi nyaman dan menghindari situasi yang negatif.
Fischer membagi tiga perbadaan motivasi pada interpersonal yaitu:
(a)
Prosocial motive: dalam hal ini individu menunjukkan
motivasinya agar tidak melukai orang lain dan melindunginya.
(b)
Impression management: dalam hal ini individu melakukan pengelolahan
emosi dengan cara menghindari hal yang membuat penilaian yang tidak
menyenangkan atau tidak menguntungkan dikarenakan adanya potensi terjadinya
ketidak tepatan emosi mereka.
(c)
Influence: dalam hal ini dimana individu ingin
mempengaruhi orang lain dengan menujuukan ekspresikan emosinya. Misalnya ingin
membuat orang lain nyaman, ingin melakukan sesuatu kepada dirinya, tidak ingin
melukai orang lain dan sebagainya. [20]
4)
Aspek
Sosial
Thompson dan Mayer mengatakan bahwa
pengelolahan emosi individu dapat dipengaruhi oleh teman sebaya dan
keluarganya. Hal penting dalam perkembangan individu dalam melakukan pengelolahan
emosi pada kondisi ketika berada di luar rumah dan keluarga dalam kondisi
ketika individu berada didalam rumah. Dalam faktor keluarga kualitas anak dan
keluarga menjadi dasar utama yang dapat mempengaruhi individu dalam mengelolah emosi.[21]
Anak
yang memiliki hubungan baik dengan orang tuanya cenderung lebih sadar diri
secara emosional. Anak akan dapat mengembangkan dirinya untuk mengelolah emosi
yang tepat dalam lingkungannya.
sebaliknya anak yang mempunyai ibu kurang
sensitif, tidak konsisten dalam merespon perasaan anaknya dan kurang membuat
nyaman saat berbicara tentang kesulitan emosi yang dipahami sang anak. Hal ini akan
membuat anak cenderung terbatas dalam
memahami emosi dan sulit dalam melakukan pengelolahan emositerutama dalam
keadaan penuh stres. Hal ini terjadi karena kurangnya dukungan dalam hubungan
orang tua dan anak. Anak ini dapat memperlihatkan disregulasi emosi dengan memperlihatkan
peningkatan emosi negatif yang tidak teratur.
5)
Norma
dan Budaya
Pengelolahan emosi bukan hanya berkaitan dengan
intrapersonal tetapi pengelolahan emosi sesuai dengan tempat dan cara individu
tersebut menjalani kehidupan. Pengelolahan emosi terjadi melalui situasi sosial
yang terstrukur, dinamika interaksi sosial dan usaha orang terdekat untuk
memodifikasi situasi individu yang bersangkutan. Makna yang diambil dalam
berbagai situasi, dan kesempatan yang tersedia dalam mengelola emosi.[22]
Aspek
budaya berhubungan dengan pengelolahan emosi serta motivasi untuk menjaga
hubungan baik dengan orang lain, contoh praktis individu tidak mau terlihat
sebagai abnormal, individu tertawa di suatu tempat yang tidak tepat, stereotip
gender yang menyebutkan bahwa laki-laki lebi rasional dan perempuan lebih emosional.
Kondisi tersebut menuntut individu untuk memelihara harmoni sosial dengan
menekan emosi negatif di depan orang lain. Fischer juga menyimpulkan bahwa yang
membentuk dasar motivasi adalah norma.[23]
d)
Strategi
Regulasi Emosi
1)
Pemilihan
Situasi
Salah satu cara dimana individu
menghindari/mendekati situasi atau orang yang bisa menimbulkan emosi yang
berlebihan. Misalnya ketika individu memilih untuk menghindari teman atau rekan
kerjanya yang menurutnya menyebalkan. Dalam menjalankan strategi pemilihan
situasi (Situation Selection)
individu perlu memahami situasi yang akan dihadapinya beserta konsekuesni emosi
yang mungkin menyertainya.
2)
Modifikasi
Situasi
Salah satu cara dimana individu mengubah
lingkungan sehingga dapat mengurangi hal yang menimbulkan emosi, contohnya
ketika orang tua yang langsung memberikan bantuan pada anaknya yang kesulitan
agar sang anak tidak marah atau frustasi.
Sehingga dalam hal ini modifikasi situasi merupakan usaha yang langsung dilakukan agar
memodifikasi situasi agar efek emosi yang dirasakan anak dapat teralihkan.[24]
3)
Mengalihkan
Perhatian
Salah satu cara dimana individu mengalihkan
perhatian dari situasi yang membuat tidak menyenangkan untuk menghindari hal
yang menimbulkan emosi yang berlebihan. Starttegi regulasi emosi ini dapat
dilakukan dalam berbagai bentuk misalnya dengan menunjukkan pengalihan fisik
(dengan menutup mata dan telinga) maupun internal (membatasi konsentrasi dan
mengatur fokus). Terdapat dua strategi dalam pengalihan fisik ini yaitu:
(a)
Distraction, memfokuskan perhatian pada aspek lain dari
situasi yang dihadapi atau mengalihkan perhatiannya dari situasi yang sedang di
hadapi. Salah satu contohnya ketika seorang
bayi memalingkan pandangannya dari stimulus yang dapat memicu timbulnya emosi.
(b)
Concentration, memfokuskan perhatian pada aspek emosi dari
situasi yang dihadapi.
4)
Mengubah
Cara Berpikir
Salah satu cara strategi dimana individu
mengevaluasi kembali keadaan dengan mengubah cara berfikir yang negatif menjadi
positif sehingga dapat mengurangi pengaruh dari emosi yang dirasakan. Strategi
ini dapat dilakukan dengan mengubah cara berfikir terhadap situasi yang
dihadapi atau dengan mengubah persepsi kita terhadap “tuntutan” dari situasi
yang sedang dihadapi, contohnya individu
yang mempunyai pikiran bahwa kegagalan yang dihadapi merupakan suatu
tantangan bukan suatu ancaman.
5) Membuat Perubahan Dalam Merespon Emosi
Suatu
usaha yang dilakukan oleh individu dalam membuat perubahan terhadap respon emosi
yang berfokus untuk mengatur pengalaman emosi yang dimiliki. Di tahap ini
individu akan menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya kepada orang lain.[25]
[1] Amitya Kumara
dan Ayu Sulistyaningsari, dkk, Mengenali dan Menangani Emosi Pada Siswa
(Yoyakarta: PT Kanisius, 2018), hal. 15
[2] Ibid.
[3] Ibid., 16
[4] Ibid., 16
[5] Ibid., 17
[6] Ibid., 17
[7] Ibid., 17
[8] Ibid., 18
[9] Ibid., 18
[10] Ibid., 19
[11] Ibid., 19
[12] Ibid., 20
[13] Ibid., 20
[14] Ibid., 20
[15] Ibid., 21
[16] Ibid., 21
[17] Ibid., 22
[18] Ibid., 22
[19] Ibid., 23
[20] Ibid., 24
[21] Ibid., 24
[22] Ibid., 24
[23] Ibid., 24-25
[24] Ibid., 25
[25] Ibid., 26
0 komentar:
Posting Komentar