Minggu, 17 Oktober 2010

PENDIDIKAN INKLUSI



A. Latar Belakang Pendidikan Inklusi

Ada perkembangan menarik dalam perkembangan Islam Indonesia kontemporer, setidak-tidaknya pada dasawarsa terakhir, sebagai perwujudan dari upaya menanamkan nilai-nilai Islam, baik dalam pengembangan kepribadian manusia maupun dalam pengembangan kebudayaan. Perkembangan yang dimaksud adalah penggunaan kata ‘syariah’ sebagai label bagi institusi-insitusi yang dikembangkan umat yang mendasarkan segenap kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam. Ketika operasi bank yang didasarkan pada prinsip bagi hasil diijinkan pemerintah, misalnya, walau pada awalnya (paroh pertama dasawarsa 1990-an) label yang dipakai adalah ‘muamalat’ (seperti pada Bank Muamalat Indonesia), namun pada perkembangan terakhir label yang banyak digunakan adalah ‘syariah’ (seperti pada Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah). Asuransi Takaful Keluarga yang didirikan pada pertengahan dasawarsa 1990-an bermetamorfosis juga namanya menjadi Takaful Indonesia Asuransi Syariah. 

Pelabelan kata ‘syariah’ nampaknya mulai merambah institusi pendidikan. Ketika pada dasawarsa 1990-an didirikan sekolah-sekolah Islam dengan sistem pembelajaran sepanjang hari (Islamic full-day school)—dikenal dengan nama SDIT, SMPIT atau SMAIT—dan kemudian diperkenalkan sekolah-sekolah Islam internasional, maka dalam perkembangan terakhir kata ‘syariah’ diperkenalkan sebagai label baru, sebagaimana sedang dirintis oleh SD Muhammadiyah Program Khusus Kotta Barat, Surakarta. Label baru tersebut menambah label-label yang telah ada: ‘Islam’, ‘terpadu’ (full-day) dan ‘internasional’.

Munculnya label-label tersebut, menurut hemat penulis, tidak terlepas dari arus besar gerakan global ‘kebangkitan Islam’ yang momentumnya dimulai seperempat abad yang lalu ketika terjadi peralihan dari abad ke-14 ke abad ke-15 Hijriyah. Di peralihan abad ini telah terjadi perumusan ulang konsep pendidikan Islam yang dilakukan para pakar pendidikan Islam dunia (Al-Attas, 1979; Ashraf, 1985; Sahadat, 1997), disusul kemudian dengan eksperimentasi dan praksisnya, di samping wacana yang terus berkembang (Sarwar, 1996; Ould Bah, 1998).
Seiring dengan gema kebangkitan pendidikan Islam, pada tataran global berkembang tuntutan perlunya kesempatan pendidikan yang merata kepada semua manusia, tanpa membedakan kemampuan fisik (normal atau tuna), strata sosial, jender, dan latar belakang etnis, budaya dan agamanya. Tuntutan global ini telah melahirkan sebuah deklarasi dunia yang dikenal dengan Education for All (1990) (UNESCO, 1990). Aplikasi dari deklarasi tersebut telah melahirkan kesadaran akan ‘Pendidikan Inklusi’ yang dinyatakan secara eksplisit dalam Salamanca Statement and Framework for Action, produk World Conference on Special Needs Education (Salamanca, Spanyol, 1994) (UNESCO, 1994), dan kemudian diperteguh dalam Dakar Framework for Action, produk World Education Forum (Dakar, Senegal, 2000) (UNESCO, 2003).
 
Atas dasar asumsi bahwa pelabelan ‘syariah’ pada kata sekolah tidaklah dimaksudkan untuk menjelaskan lembaga pendidikan yang memproduk lulusan yang memiliki kompetensi di bidang ilmu fikih dan/atau kemampuan menjalankan tugas dalam profesi-profesi yang terkait dengan bidang muamalat (perbankan, asuransi, peradilan), sebagaimana tujuan pelabelan ‘syariah’ pada kata fakultas di IAIN/UIN, namun dimaksudkan untuk menjelaskan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam dan sekaligus mensosialisasikannya, tulisan ini mencoba mengelaborasi konseptualisasi pendidikan Islam untuk dijadikan basis sekolah syariah, dan kemudian dikaitkan dengan isu global pendidikan inklusi.

B. Pengertian Pendidikan Inklusi

Sebagaimana telah dijelaskan di muka, pendidikan inklusi merupakan konsekuensi lanjut dari kebijakan global Education for All (Pendidikan untuk Semua) yang dicanangkan oleh UNESCO 1990. Kebijakan Education for All itu sendiri merupakan upaya untuk mewujudkan hak asasi manusia dalam pendidikan yang dicanangkan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 1949. Konsekuensi logis dari hak ini adalah bahwa semua anak memiliki hak untuk menerima pendidikan yang tidak diskriminatif atas dasar hambatan fisik, etnisitas, agama, bahasa, jender dan kecakapan. Pendidikan inklusi yang dideklarasikan dalam Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk (Mereka Yang Membutuhkan) Kebutuhan Khusus di Salamanca, Spanyol, 1994, dan diperteguh dalam Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal, 2000, merupakan suatu pendekatan yang berusaha memenuhi kebutuhan belajar semua anak, pemuda dan orang dewasa dengan fokus khusus pada mereka yang termarjinalisasikan dan tersisihkan. Dari tahun ke tahun, jumlah yang termarjinalisasikan dan tersisihkan ternyata tidak berkurang, bahkan terus bertambah. Pada tahun 2000 diperkirakan ada sekitar 113 juta anak usia sekolah dasar yang tidak masuk sekolah, 90 % dari mereka hidup di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah rendah dan lebih dari 80 juta anak tinggal di Afrika (UNESCO, 2003).

Defenisi Pendidikan Inklusi. Pendidikan inklusi adalah sebuah proses yang memusatkan perhatian pada dan merespon keanekaragaman kebutuhan semua peserta didik melalui partisipasi dalam belajar, budaya dan komunitas, dan mengurangi ekslusi dalam dan dari pendidikan (UNESCO, 2003). Pendidikan inklusi mengakomodasi semua peserta didik tanpa mempertimbangkan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik mereka dan kondisi lainnya. Ini berarti mencakup anak yang cacat dan berbakat, anak jalanan dan yang bekerja, anak dari penduduk terpencil dan nomadik (berpindah-pindah), anak dari kelompok minoritas bahasa, etnis atau budaya, dan anak dari kelompok atau wilayah yang termarjinalisasikan lainnya. Sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan sarana yang sangat efektif untuk memberantas diskriminasi, menciptakan masyarakat yang hangat relasinya, membangun masyarakat inklusif, dan mensukseskan pendidikan untuk semua (UNESCO, 1994; UNESCO, 2003). Pendidikan inklusi bertujuan memungkinkan guru dan peserta didik merasa nyaman dalam keragaman, dan memandang keragaman bukan sebagai masalah, namun sebagai tantangan dan pengayaan bagi lingkungan belajar (UNESCO, 2003).

Semua karakteristik pendidikan inklusi di atas berimplikasi pada perubahan dan modifikasi pada materi, pendekatan, struktur dan strategi, dengan suatu visi umum yang mengkover semua peserta didik dan suatu pengakuan atau kesadaran bahwa menjadi tanggung jawab sistem reguler untuk mendidik semua peserta didik (UNESCO, 2003).

Pentingnya Pendidikan Inklusi. Pendidikan inklusi adalah hak asasi manusia, di samping merupakan pendidikan yang baik dan dapat menumbuhkan rasa sosial. Itulah ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan pentingnya pendidikan inklusi. Ada beberapa argumen di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi merupakan hak asasi manusia: (1) semua anak memiliki hak untuk belajar bersama; (2) anak-anak seharusnya tidak dihargai dan didiskriminasikan dengan cara dikeluarkan atau disisihkan hanya karena kesulitan belajar dan ketidakmampuan mereka; (3) orang dewasa yang cacat, yang menggambarkan diri mereka sendiri sebagai pengawas sekolah khusus, menghendaki akhir dari segregrasi (pemisahan sosial) yang terjadi selama ini; (4) tidak ada alasan yang sah untuk memisahkan anak dari pendidikan mereka, anak-anak milik bersama dengan kelebihan dan kemanfaat untuk setiap orang, dan mereka tidak butuh dilindungi satu sama lain (CSIE, 2005). 

Adapun alasan-alasan di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang baik: (1) penelitian menunjukkan bahwa anak-anak akan bekerja lebih baik, baik secara akademik maupun sosial, dalam setting yang inklusif; (2) tidak ada pengajaran atau pengasuhan dalam sekolah yang terpisah/khusus yang tidak dapat terjadi dalam sekolah biasa; (3) dengan diberi komitmen dan dukungan, pendidikan inklusif merupakan suatu penggunaan sumber-sumber pendidikan yang lebih efektif. Dan argumen-argumen dibalik pernyataan bahwa pendidikan inklusi dapat membangun rasa sosial: (1) segregasi (pemisahan sosial) mendidik anak menjadi takut, bodoh, dan menumbuhkan prasangka; (2) semua anak membutuhkan suatu pendidikan yang akan membantu mereka mengembangkan relasi-relasi dan menyiapkan mereka untuk hidup dalam arus utama; dan (3) hanya inklusi yang berpotensi untuk mengurangi ketakutan dan membangun persahabatan, penghargaan dan pengertian (CSIE, 2005).

Pertimbangan Filosofis. Pertimbangan filosofis yang menjadi basis pendidikan inklusi paling tidak ada tiga. Pertama, cara memandang hambatan tidak lagi dari perspektif peserta didik, namun dari perspektif lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah harus memainkan peran sentral dalam transformasi hambatan-hambatan peserta didik. Kedua, perspektif holistik dalam memandang peserta didik. Dengan perspektif tersebut, peserta didik dipandang mampu dan kreatif secara potensial. Sekolah bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan di mana potensi-potensi tersebut berkembang. Ketiga, prinsip non-segregasi. Dengan prinsip ini, sekolah memberikan pemenuhan kebutuhan kepada semua peserta didik. Organisasi dan alokasi sumber harus cukup fleksibel dalam memberikan dukungan yang dibutuhkan kelas. Masalah yang dihadapi peserta didik harus didiskusikan terus menerus di antara staf sekolah, agar dipecahkan sedini mungkin untuk mencegah munculnya masalah-masalah lain (UNESCO, 2003).

Langkah-langkah menuju Inklusi Yang Nyata. Ada tiga langkah penting menuju inklusi yang nyata: komunitas, persamaan dan partisipasi. Semua staf yang terlibat dalam pendidikan merupakan suatu komunitas yang memiliki visi dan pemahaman yang sama tentang pendidikan inklusi, baik konsep dan pentingnya maupun dasar-dasar filosofis. Setiap anggota komunitas memiliki persamaan (hak yang sama), dan—karena itu—sama-sama berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan inklusi, sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasinya. Dalam pendidikan inklusi, sistem sekolah tidak berhak menentukan tipe peserta didik, namun sebaliknya sistem sekolah yang harus menyesuaikan untuk memenuhi kebutuhan semua peserta didik. Terkait dengan ini, ada ungkapan bahwa komunitas (semua staf yang terlibat dalam pendidikan inklusi) ‘melampaui dan di atas’ (over and above) kurikulum (UNESCO, 2003).


Data Makalah
siteresources.worldbank.org/.../EFAIncludingIndonesian.doc
www.findtoyou.com/document/bimbingan+bagi+anak+berkelainan.html
www.ditpertais.net/.../ancon06/.../Makalah%20Syamsul%20Ma'arif.doc

0 komentar:

Posting Komentar