Kamis, 28 Mei 2020

Self Control

 

1.      Definisi Terapi Self Control

Konsep diri merupakan gambaran seseorang mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan antara keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional aspiratif, dan prestasi yang telah mereka capai. Sedangkan menurut Calhoun dan acocella yang dikutib oleh M. Nur Ghufron & Rini Risnawita, bahwa self control itu berarti kontrol diri sebagai pengaturan proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang, dengan kata lain proses yang membentuk kepribadian dirinya. Suatu kemampuan untuk menyusun, mengatur dan membimbing serta mengarahkan bentuk perilaku yang membawa individu kearah konsekuensi positif. Synder dan Gangestad (1986) juga berpendapat sebagaimana yang dikutib oleh M. Nur Ghufron & Rini Risnawita bahwa konsep mengenai kontrol diri secara langsung sangat relevan untuk melihat hubungan antara pribadi dengan masyarakat sekitar dalam hal mengatur kesan masyarakat yang sesuai dengan isyarat situasional dalam hal bersikap.[1]

Self control adalah kemampuan individu untuk menahan keinginan yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Pengendalian diri merupakan seperangkat tingkah laku yang memfokuskan pada keberhasilan mengubah diri pribadi, perasaan yang mampu pada diri sendiri, atau bebas dari pengaruh orang lain.[2]

Seseorang dengan kontrol diri tinggi akan sangat memperhatikan cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang berfariasi. Ketika berinterasi dengan orang lain seseorang akan berusaha menampilkan perilakunya yang dianggap paling tepat untuk dirinya, kontrol diri diperlukan untuk membantu individu dalam mengatasi kemampuannya yang terbatas dan mengatasi berbagai hal merugikan yang bisa saja terjadi berasal dari luar. Kontrol diri sendiri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi, pengendalian emosi sendiri mengarahkan energi emosi ke saluran ekspresi yang dapat diterima secara sosial dan bermanfaat.[3]

 

2.      Faktor yang Mempengaruhi Self Control

Kontrol diri sendiri diakibatkan oleh beberapa faktor, secara garis besar faktor yang mempengaruhi kontrol diri karena faktor internal (dari diri individu) dan faktor eksternal (lingkungan individu).

a.       Faktor internal

Faktor internal yang ikut andil pada self control yaitu usia, dimana seseorang apabila semakin bertambah usianya, maka semakin baik kemampuan mengontrol dirinya.

b.      Faktor eksternal

Faktor eksternal ini diperoleh dari berbagai lingkungan keluarga. Lingkungan dari orang tua juga dapat menentuakan bagaimana kemampuan self control diri seseorang. Pelajaran disiplin yang diberikan orang tua sejak kecil cenderung diikuti oleh tingginya kemampuan mengontrol dirinya. Orang tua menerapkan sikap disipplin kepada anaknya secara intens sejak masih kecil, dan orang tua tetap konsisten terhadap konsekuensi yang dilakukan anaknya apabila melakukan perilaku menyimpang dari yang sudah ditetapkan. Maka sikap konsisten ini akan tertanam pada diri seorang anak. Dikemudian menjadi self control baginya.[4]

 

3.      Jenis dan Aspek Self Control

Self control sendiri mempunyai beberapa jenis diantaranya kontrol perilaku, kontrol kognitf dan kontrol keputusan

a.       Kontrol perilaku (Behavior control) Kontrol perilaku ini merupakan tersedianya kesiapan respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kontrol perilaku ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: mengatur pelaksanaan dan mengatur kemampuan memodifikasi stimulus, kemampuan yang mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan diri individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan.

b.      Kontrol kognitif (congtif control) Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam hal mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi mengurangi tekanan.

c.       Mengontrol keputusan (Decesional control) Mengontrol keputusan merupakan sebagian kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujui, kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi dengan adanya suatu kesempatan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.

 

Dari uraian dan penjelasan diatas, maka untuk mengukur kontrol diri seorang individu biasanya digunakan aspek-aspek seperti berikut:

a.       Kemempuan mengontrol stimulus

b.      Kemampuan mengontrol prilaku

c.       Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian

d.      Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian

e.       Kemampuan mengambil keputusan.[5]

 

4.      Fungsi Pembentukan Self Control

Pembentukan self control dapat dipengaruhi oleh faktor genetic dan miliu. Anak yang dari keturunan impulsif akan mempunyai kecenderungan berperilaku impulsif. Perkembangan self control antara lain perilaku orang tua yang diamati oleh anak. Gaya mengasuh termasuk aspek bu daya. Usia juga termasuk bisa mempengaruhi kondisi kontrol diri pada anak. Anak-anak sendiri cenderung lebih impulsif dibandingkan dengan anak yang lebih dewasa, artinya dengan bertambahnya usia anak maka bertambah pula kemampuan mengendalikan diri semakin baik. pembentukan self control sendiri sudah dimulai sejak usia anak-anak, ketika anak masih dalam buaian orang tua. Dalam hal ini orang tua menjadi pembentuk pertama self control pada anak. Cara orang tua mendisiplin, cara orang tua merespon kegagalan anak, cara berkomunikasi, cara orang tua mengekspresikan kemarahannya (penuh tekanan emosi atau mampu menahan amarahnya) merupakan awal anak belajar tentang kontrol diri.

Messina dan Messin mengemukakan fungsi dari self control sebagai berikut:

a.       Membatasi untuk bertingkah laku negatif

b.      Membatasi perhatian individu pada orang lain

c.       Membatasi keinginan untuk mengendalikan orang lain dilingkungannya

d.      Membantu memenuhi kebutuhan hidup secara seimbang

Sedangkan surya (2009) yang mengutip dari buku Lilik Sriyanti, bahwa memberi pendapat fungsi self control adalah mengatur kekuatan dorongan yang menjadikan tingkat kesanggupan, keyakinan, keinginan, keberanian dan juga emosi yang ada dalam diri sorang individu. Self control sangat diperlukan agar seseorang tidak terlibat dalam pelanggaran norma keluarga, sewkolah dan masyarakat.[6]



[1] M. Nur Ghufron & Rini Risnawita S, Teori-Teori Psikologi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm 22

[2] Lilik Sriyanti, “Pembentukan Self Control dalam Perspektif Nilai Multikultural”, Vol. 4, No. 1, (Juni 2012), hal 69

[3] M. Nur Ghufron & Rini Risnawita S, Teori-Teori Psikologi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm 23

[4] Ibid., hlm. 32

[5] Ibid., hlm 29

[6] Lilik Sriyanti, “Pembentukan Self Control dalam Perspektif Nilai Multikultural”, Vol. 4, No. 1, (Juni 2012), hal 69


Senin, 18 Mei 2020

A.    PENGERTIAN RELIGIUSITAS

Ada beberapa istilah dari kata agama, diantaranya religi, religion (Inggris), religie (Belanda), religio/relegare (Latin) dan dien (Arab). Dua kata agama, dalam bahasa religion (Inggris) dan religie (Belanda) merupakan bahasa induk dari kedua asal bahasa tersebut, yaitu Latin “religio” dari akar kata “relegare” yang memilikiarti mengikat. Dalam Faisal Ismail, menurut Cicero, relegare berarti melakukan suatu perbuatan yang penuh dengan penderitaan, yaitu jenis perilaku peribadatan yang dikerjakan secara beruang-ulang dan tetap. Lalu Lactancius mengartikannya sesuatu yang mengikat menjadi satu dalam pertemuan bersama.[1]

Dalam bahasa Arab agama terkenal dengan kata al-din dan al-milah. Kata al-din sendiri memiliki banyak arti. Al-din disini bisa berarti al-mulk (kerajaan), al-khidmat (pelayanan), al-izz (kejayaan), al-dzull (kehinaan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al-adat (kebiasaan), al-ibadat (pengabdian), al-qahr wa al-sulthan (kekuasaan dan pemerintahan), al-tadzallulwa al-khudu (tunduk dan patuh), altha’at (taat), al-islam al-tauhid (penyerahan dan mengesakan Tuhan).[2]

Sedangkan menurut Hadikusuma dalam Bustanuddin Agus, agama merupakan sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan sebagai petunjuk umat (hamba Tuhan) ketika menjalani kehidupan di bumi.[3] Dari istilah agama, munculah apa yang dinamakan religiusitas. Religiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah serta seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianut.[4]

Religiusitas adalah perilaku yang merupakan perwujudan berdasarkan pada keyakinan hati dan keterikatan kepada Tuhan berupa peribadatan, serta segala norma yang mengatur keterikatan kepada Tuhan, hubungan antar manusia, dan hubungan dengan lingkungan yang terinternalisasi dengan manusia.[5]

Glock & Stark merumuskan bahwa religiusitas merupakan bentuk dari komitmen agama yang dapat dilihat melalui perilaku seseorang yang bersangkutan dengan keagamaan atau keimanan yang diyakininya. Religiusitas bisa di artikan dari seberapa tingkat pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa rajinnya pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam penghayatan agama yang dianut individu. Khususnya bagi orang muslim, religiusitas dapat dilihat dari seberapa jauhnya pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatannya terhadap agama Islam.[6]

Religiusitas merupakan suatu kesatuan unsur yang komperhensif, lalu menjadikan seseorang yang beragama bukan hanya sekedar mengaku memiliki agama saja. Religiusitas meliputi beberapa unsur yaitu meliputi pengetahuan agama, pengalaman agama, perilaku agama, dan sikap sosial keagamaan. Dalam agama Islam, religiusitas pada garis besarnya yang dinampakkan adalah pengalaman akidah, syari‟ah dan akhlak. Atau dengan kata lain seperti iman, islam dan ihsan. Apabila semua unsur tersebut dimiliki oleh orang tersebut, maka bisa dikatakan bahwa orang itu merupakan insan yang beragama sesungguhnya.

 

B.     DIMENSI RELIGIUSITAS

Disebutkan dalam Q.S Al-Baqarah ayat 208, Allah SWT berfirman yang artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkahan setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”[7]

Allah SWT memerintahkan orang beragama secara menyeluruh, dan tidak setengah-setengah. Arti menyeluruh dalam ayat tersebut adalah ketika dalam beraktifitas dalam sehari-hari kita harus islam segala aspeknya seperti ketika sedang berfikir tentang sesuatu, berperilaku kapanpun dimanapun dan bekerja entah apapun pekerjaan itu. Hal tersebut dilakukan sebagai wujud beribadah dari pelaksanaan keimanan kita kepada Allah SWT.

Menurut R. Stark dan C.Y. Glock[8] yang telah dikutip oleh Fuad Nashori, mereka menyebutkan ada lima dimensi yang dapat dibedakan, dan di dalam setiap dimensi terdapat beraneka ragam kaidah dan unsur-unsur lainnya, diantaranya ialah sebagai berikut :[9] :


a.       Dimensi Akidah (Ideologi)


Dimensi akidah berisi tentang beberapa pengharapan orang religius yang berpegang teguh pada pandangan ajaran dan mengakui kebenaran-kebenaran ajaran tersebut. Inti dari dimensi akidah dalam ajaran Islam adalah tauhid. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dan para penganut diharapkan untuk taat. Misalnya memercayai tentang adanya Tuhan, Malaikat, kitab-kitab, Nabi dan Rasul serta hari akhir, surga neraka dan yang lain sebagainya seperti hal yang bersifat gaib seperti yang telah diajarkan oleh agama.


b.      Dimensi Ibadah (Ritual)

Ciri yang nampak dari religiusitas seorang muslim ialah perilaku ibadahnya terhadap Allah SWT. Dimensi ibadah ini dapat diketahui dari sejauh mana tingkat kepatuhan seseorang ketika mengerjakan kegiatan-kegiatan ibadah yang diperintahkan oleh agamanya. Dimensi ibadah berkaitan dengan frekuensi, intensitas, dan elaksanaan ibadah seseorang. Dimensi praktek dalam agama Islam berupa menjalankan ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain sebagainya.[10]


c.       Dimensi Akhlak (Amal


Dimensi ini berkaitan dengan kegiatan pemeluk agama untuk merealisasikan ajaran-ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari yang berlandaskan pada etika dan agama. Dimensi ini menyangkut hubungan manusia dengan manusia yang lain serta manusia dengan lingkukan sekitarnya, seperti bersifat ramah dan baik terhadap orang lain, memperjuangkan kebenaran dan keadilan, saling menolong, disiplin menghargai waktudan lain sebagainya.[11]


d.      Dimensi Ihsan (Penghayatan)


Ketika manusia sudah memiliki keyakinan yang tinggi serta melaksanakan ajaran agamanya secara optimal, maka dicapailah situasi ihsan. Dimensi ini berkaitan dengan seberapa jauh seseorang merasa dekat dan dilihat oleh Allah SWT dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi ini mencakup pengalaman dan perasaan dekat dengan Allah SWT, perasaan nikmat dalam melaksanakan ibadah, merasakan pernah diselamatkan oleh Allah, perasaan do‟a yang didengar oleh Allah, tersentuh atau tergentar ketika mendengar asma-asma Allah SWT dan bersyukur akan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.[12]

 

e.       Dimensi Ilmu (Pengetahuan)

Dimensi pengetahuan merupakan dimensi pengetahuan dalam agama, yang menerangkan seberapa jauh tingkat pemahaman dan pengetahuan agama seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab suci atau yang lainnya. Paling tidak orang yang beragama harus mengetahui hal-hal pokok tentang dasar keyakinan dari agamanya.

Dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki jumlah minimal pengetahuan mengenai dasar keyakinan. Dimensi keyakinan dan pengetahuan berkaitan satu sama lain karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimanya. Dimensi tersebut menunjukkan dalam agama Islam menunjuk seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran agama Islam terutama mengenai ajaran pokok agamanya, sebagaimana yang termuat dalam kitab suci.[13]

 

C.    FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ELIGIUSITAS

Robert H. Thoules mengemukakan ada empat faktor religiusitas yang dikategorikan dalam kelompok utama, yang dimasukkan kedalam kelompok utama yaitu diantaranya :

a.     Faktor sosial yang meliputi perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orangtua, tradisi-tradisi sosial dan tekanan yang ada di lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat yang ada serta sikap dan norma yang disepakati oleh lingkungan sekitar.

b.    Faktor lain yaitu pengalaman pribadi atau suatu kelompok pemeluk agama. Dan pengalaman konflik moral serta pengalaman batin emosional yang terikat secara langsung dengan Tuhan atau dengan sejumlah wujud lain pada sikap keberagamaan juga dapat membantu dalam memperkembangan keberagamaan manusia.

c.    Faktor kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dengan sempurna, sehingga terjadi adanya kebutuhan akan kepuasan agama. Segala kebutuhan tersebut dikelompokkan dalam empat bagian diantaranya seperti kebutuhan akan selamat, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk memperoleh harga diri dan kebutuhan yang muncul karena adanya kematian.[14] Menurut Zakiah Darajat yang dikutip oleh Jalaluddin juga menengahkan bahwa ada enam kebutuhan yang bisa menjadi sebab orang membutuhkan agama. Jadi melalui agama, segala kebutuhan tersebut dapat disalurkan. Kebutuhan itu merupakan kebutuhan akan rasa kasih sayang, akan rasa aman, akan rassa harga diri, akan rasa bebas, rasa sukses dan ingin tahu terhadap sesuatu.[15]

d.  Faktor terakhir yaitu ketika mengembangkan sikap keberagamaan. Manusia merupakan makhluk berfikir dan berakal. Salah satu akibat dari pemikirannya adalah bahwa manusia dapat membantu dirinya menentukan keyakinan iman yang harus ia terima dan mana keyakinan iman yang seharusnya di tolak.


Terdapat macam-macam faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi keberlangsungan religiusitas manusia, dan itu semua memang haruslah diatur dengan sedemikian rupa agar keberlangsungan beragama manusia berjalanan dengan baik sesuai dengan apa yang telah ada dalam ajaran agama.

 



[1] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 13. 

[2] Ibid., 13

[3] Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia : Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hlm 29. 

[4] Iredho Fani Reza, ReligiusitasHubungan Antara Religiusitas dengan Moralitas pada Remaja di Madrasah Aliyah, Jurnal Humanitas, Vol. X, No. 2, Agustus 2013, hlm. 49 

[5] Rahman, Perilaku Religiusitas dalam Kaitannya Dengan Kecerdasan Emosi Remaja, Jurnal Al-Qalam, vol. 15, Tahun 2009, hlm. 23. 

[6] Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi islam, (Yogyakarta : Menara Kudus, 2002), hlm. 71. 

[7] Departmen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : CV Darus Sunnah, 2007), hlm. 33. 

[8] Roland Robertson, ed., Agama : dalam analisa dan interpretasi sosiologis, (Jakarta : CV Rajawali, 1988), hlm. 295 – 297. 

[9] Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi islam, (Yogyakarta : Menara Kudus, 2002), hlm. 78 – 82. 

[10] Ibid., hal 79

[11] Ibid., hal 80

[12] Ibid, hal 81

[13] Ibid., hal 82

[14] Sururin, Ilmu Jiwa Agama,... hlm. 79.  

[15] Jalaluddin, Psikologi Agama..., hlm. 60 – 61.  


Kamis, 14 Mei 2020

a)      Pengertian Regulasi Emosi

Menurut Gross, regulasi emosi adalah salah satu cara yang dilakukan dalam mengelolah emosi yang rasakan oleh individu, tentang kapan individu tersebut merasakannya, bagaimana mereka mengalami dan bagaimana individu mengekspresikan emosi tersebut. Regulasi emosi yang tepat meliputi kemampuan individu untuk dapat mengatur perasaan, reaksi fisiologis, kognisi yang berhubungan dengan emosi sebagai sebuah manipulasi yang dilakukan pada diri sendiri atau terhadap situasi yang dapat memicu respon yang terdiri atas aspek fisiologis, pengalaman subjektif, atau perilaku. Artinya regulasi emosi bisa dilakukan dengan memengaruhi situasi  pada saat respon emosi belum muncul atau ketika respon emosi telah muncul. Regulasi emosi yang efektif meliputi kemampuan fleksibel seorang individu dalam mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan.  [1]

Regulasi emosi juga dapat di artikan sebagai suatu keterampilan yang dapat dilakukan oleh individu untuk menyeimbangkan emosi yang sedang dirasakan, dan bagaimana emosi yang dirasakannya tersebut di ekspresikan dengan baik . Upaya di perlukan untuk mengelolah emosi dapat bersifat otomatis, ataupun terkontrol, sadar dan tidak sadar.[2]

Dari sudut perkembangan Thompson menyatakan bahwa regulasi emosi terdiri atas proses ekstrinsik dan instrinsik yang menentukan pengawasan, evaluasi dan modifikasi reaksi emosi untuk mencapai tujuan seseorang. Proses intrinsik adalah cara seseorang mengelolah emosi yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Proses ekstrinsik adalah cara seseorang dalam memengaruhi emosi yang datang dari luar. Perbedaan individu dalam kemampuan mengontrol emosi yang dimulai dari tahap infancy dan early childhood sangat memengang peran penting dalam penyesuaian.

Menurut Martin, ciri-ciri individu yang mempunyai pengelolahan emosi antara lain sebagai berikut:

1)   Bertanggung jawab secara pribadi terhadap perasaan dan kebahagiaannya.

2)   Mampu mengalihkan emosi negatif menjadi proses belajar dan kesempatan untuk berkembang.

3)   Lebih peka kepada perasaan orang lain.

4)   Melakukan intropeksi dan relaksasi.

5)   Selalu merasakan emosi positif dari pada emosi negatif.

6)   Tidak mudah putus asa ketika menghadapi masalah.[3]

b)      Fase Perkembangan Pengelolahan Emosi

Holodynski menyatakan bahwa pengelolahan emosi dilandasi dengan berbagai macam aspek tentang bagaimana individu melakukan keterampilan dalam mengelolah emosi yang bersifat negatif. Mengelolahnya atau mengantisipasi motivasi dan harapan dimasa mendatang. Berdasarkan model internalisasi dari Holodynski ini perkembangan emosi dan pengelolaannya dibagi menjadi lima fase.[4]

1)      Fase Pertama Usia 0-2 Tahun

Dalam fase ini individu menghadapi tugas yang mana untuk membentuk kemampuan dalam membedakan berbagai macam emosi yang dimediasi oleh tanda-tanda ekspresi dalam hubungannya dengan pengasuh. Oleh karena itu, pada fase ini individu masih sangat tergantung pada pengelolahan interpersonal melalui pengasuh. Individu masih belum dapat mengontrol emosi mereka. Oleh karena itu pada fase ini kepekaan pengasuh terkait ekspresi emosi individu sangat penting dalam proses perkembangan emosi individu. Regulasi emosi individu pada fase ini masih sangat bergantung pada regulasi interpersonal dengan pengasuh karena individu masih belum bisa mengontrol emosinya berdasarkan keinginannya.

Secara spesifik menurut Calkins dalam Gross menyatakan bahwa usaha dalam pengelolaan emosi dimulai saat individu memasuki usia 3 bulan. Salah satu contohnya bayi akan memalingkan muka atau menengok ketika bereaksi terhadap stimulus yang tidak menyenangkan atau menyenangkan.[5]

Kemudian usia 3-6 bulan bayi mampu mengenal stimulus yang tidak menyenangkan dengan distraksi sederahan, contohnya mengalihkan perhatian pada mainan ketika menghindari hal-hal yang menakutkan. Pada akhir tahun pertama, bayi mulai aktif mengontrol munculnya perasaan (affective arousal). Pada akhir tahun kedua, bayi mampu melakukan strategi pengelolaan emosi, diantara berupa calming (physical self soothing, misalnya menghisap jari atau dot menggunkan selimut yang lembut), distraction (umumnya berupa memalingkan pandangan dan manipulasi objek dengan mainan), dan first symbolic strategies/ cognitive reinterpretation (awal dari fungsi simbolik, tetapi masih jarang pada usia ini).[6]

2)      Fase Kedua Usia 3-6 Tahun

Dalam fase ini anak dihadapkan pada tugas untuk mengurangi dukungan dari pengasuh mereka dan menjadi mampu melakukan pengelolaan intrapersonal maupun interpersonal. Dukungan pengasuh yang baik dalam fase perkembangan emosi sebelumnya memungkinkan anak untuk mampu mengatur tindakannya secara mandiri melalui emosi bangga (pride), malu (shame), perasaan bersalah (guilt), dan emosi yang berkaitan dengan meningkatnya self-aware (kesadaran diri) anak terhadap norma dan aturan budaya. Anak mulai belajar untuk berkompromi dan memiliki toleransi atas keinginannya dipuaskan oleh orang lain, namun juga mulai belajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Mereka mulai belajar untuk mematuhi norma budaya dan aturan interaksi sosial saat melakukan suatu hal.[7]

Pada usia 3-6 tahun anak dapat bermain sendiri dan sudah bisa di tinggalkan dalam waktu yang sebentar. Meningkatnya kemampuan bicara pada anak juga dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengelolah emosi yang sedang dirasakan. Dalam masa ini anak dapat mengekspresikan emosi secara verbal ketika menghindari atau menghadapi suatu hal yang dapat menyebkan timbulnya emosi. Karena itu pengasuh bisa meningkatkan strategi simbolik dalam melakukan pengelolaan emosi interpersonal. Dalam hal ini komunikasi verbal menjadi penting dalam pengelolaan emosi.[8]

Pada akhir usia 6 tahun anak bisa melakukan pengalihan dengan mandiri contohnya bermain sendiri ketika pengasuh tidak ada. Begitu juga saat pengasuhnya ada mengajaknya bermain dengan memperlihatkan mainannya. Pada usia strategi calming  menjadi menurun. Secara umum, pada fase ini peran eksternal atau interpersonal regulation mengalami sedikit penurunan. Pada usia ini belajar spesifik dari orang tua. [9]

Menurut Thompson anak mempelajari pengelolaan emosi dari orang tua melalui empat cara, yaitu intruksi langsung (distect intruction), mengajukan reinterprestasi penyebab (proposals for reinterpreting the cause), mencontoh model (model learning), berdiskusi seputar masalah emosi (discourse over emotion).[10]

3)      Fase Ketiga di Atas 6 Tahun

Dalam pada fase ini kemandirian anak mulai meningkat komunikasi verbal dan ekspresi anak mulai disesuaikan dengan lingkungannya. Ekspresinya juga telah dapat dipahami oleh orang disekitarnya. Anak mulai mengembangkan perasaan yang menggambarkan ekspresi somatosensory. Bukan hanya ekspresi fisik  Santrock menyatakan bahwa pada masa ini anak semakin bisa mengembangkan pemahaman emosi dan pengelolaan emosi. Selain itu ia menyatakan terhadap perubahan emosi pada masa ini seperti: [11]

(a)     Meningkatnya pemahaman tentang emosi, misalnya anak-anak usia sekolah dasar mengembangkan suatu kemampuan  untuk memahami emosi kompleks tertentu seperti bangga dan malu. Emosi dan pengelolaan emosi menjadi lebih mandiri serta terintegrasi dengan tanggung jawab personal.

(b)      Meningktanya pemahaman tentang emosi kompleks dari pada emosi dasar yang dapat dialami atau diterapkan dalam situasi tertentu

(c)     Meningkatnya kecendrungan untuk mengingat peristiwa yang menimbulkan reaksi emosi.

(d)     Meningktanya kemampuan menekan atau menyembunyikan rekasi emosi negatif. Anak-anak sekolah dasar sering dengan sengaja menyembunyikan emosi mereka.

(e)      Menggunakan strategi untuk mengalihkan perasaanya. Dalam usia sekolah dasar, anak menjadi lebih relektif dan mengembangkan strategi yang lebih baik untuk menanggulangi masalah dengan pola emosi. Mereka dapat lebih efektif mengatur emosinya dengan strategi kognitf, misalnya dengan mengalihkan pikiran atau perhatian (cognitive change),

(f)      Terdapat suatu kapasitas empati yang tulus.[12]

4)      Fase Keempat Usia Remaja (Adolescence)

Dalam tugas pada fase ini remaja  bukan hanya mengatur aksi dan emosi, tetapi mengembangkan kemampuan kontrol diri. Menurut Santrock kemampuan mengontrol emosi merupakan aspek yang penting dalam perkembangan aspek emosi masa remaja. Kemampuan pengelolaan emosi berkaitan dengan berbagai keberhasilan atau kegagalan banyak aspek, misalnya akademik.

Reaksi remaja dalam menghadapi situasi yang stressfull dapat memengaruhi tinggi rendahnya pengelolaan emosinya yang dapat membedakan kerentanan remaja dalam mengahadapi stres. Saat situasi stress menimbulkan amarah pada remaja, adalah suatu pilihan yang dapat dipilih remaja untuk menanggulanginya yaitu:[13]

(a)   Supepression, dipilih karena rasa takut diasosiasikan pada figur yang mempunyai otoritas untuk menahan emosi yang dirasakan.

(b)   Open aggression, bentuknya adalah pengeskpresian dari eosi, sperti kritik, sarkasme, bertengkar, berdebat, agresif, sampai berbuat criminal. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kepuasan diri tanpa memikirkan orang lain.

(c)    Passive aggression, dimana individu melakukan sabotase karena individu merasa marah tetapi terlalu berbahaya jika diketahui oleh orang lain. Hal ini terjadi karena individu tersebut memiliki kontrol.

(d)   Assertiveness,  dengan cara ini dapat membantu mengembangkan hubungan antar individu mengenai hal yang tidak menyenangkan dan diselesaikan bersama. Hal ini merupakan tanda dari kedewasaan dan stabilitas.[14]

(e)   Dropping anger, remaja menyadari batasan diri dan menerima kekurangan sehingga dapat mengontrol situasi.[15]

5)      Fase Kelima Usia Dewasa (Adulthood)

Menurut Charles dan Chartensen bahwasanya regulasi emosi tidak menurun dengan seiring meningkatnya usia individu. Pada fase ini individu lebih mampu menunjukkan kemampuan dalam meregulasi emosi negatif dari pada yang sebelumnya.

Didalam fase ini individu akan ditunjukkan atau dihadapkan pada permasalahan yang baru dihidupnya yang mana sebagai individu yang sudah tergolong individu yang dewasa. Tanggung jawab dan peran individu ini tentunya akan semakin besar dengan bertambahnya usia. Individu sudah tidak lagi bergantung kepada orang lain dalam hal apapun. Semua urusan dan masalah yang dihadapi didalam kehidupannya sebisa mungkin akan diselsaikan sendiri tanpa orang  lain termasuk saudara dan orang tuanya sendiri. Kehidupan psikososial individu dalam fase ini sangat kompleks. Individu akan memasuki kehidupan yang baru misalnya kehidupan pernikahan yang akan membentu keluarga baru, merawat anak-anaknya dan tetap harus perhatian kepada orang tuanya yang usianya tidak lagi muda.

Suatu permasalahan yang terjadi di hidupnya pada hakikatnya merupakan suatu batu loncatan agar individu bisa menjadi lebih dewasa dari sebelumnya. Wajar jika melakukan suatu usaha untuk mengungkapkan berbagai macam emosi yang individu itu rasakan di dalam dirinya. Namun lebih baik jika individu merespon emosi yang ada pada dirinya dengan perilaku yang adaptif agar tidak merugikan diri individu itu sendiri dan orang-orang disekitarnya.[16]

 

c)      Faktor-Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Regulasi Emosi

Terdapat berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi regulasi individu antara lain:

1)      Usia Individu

Kematangan emosi individu dipengaruhi oleh kemtangan fisiologis, faktor bertambahnya usia pada individu yang mempengaruhi kematangan organ dan tingkat pertumbuhan individu. Beer dan Lombardo mengatakan bahwa pengelolaan emosi pada individu berkaitan dengan proses kerja organ otak yaitu lobus frontal, cingulate anterior, lobus temporal, dan kemungkinan amygdala. Calkins mengatakan bahwa organ otak lobus frontal dalam membentuk perilaku mendekat dan menghindar terhadap stimulus yang dapat menyebabkan timbunya emosi. Semakin bertambahnya usia individu menyebabkan ekspresi emosi, pengelolahan emosi yang awalnya bersifat interpersonal (yang lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal) menjadi bersifat intrapersonal (bersifat internal, instrumental maupun kognitif) individu tersebut semakin terkontrol.[17]

2)      Gender

Kondisi  fisiologis dan hormonal yang berbeda pada laki-laki dan perempuan menyebabkan berbedanya karakteristik emosi antara laki-laki dan perempuan. Perempuan harus mengontrol perilaku asertif dan agresifnya. Hal ini menyebabkan adanya kecemasan-kecemasan yang ada pada dirinya. Karena itu secara tidak langsung adanya perbedaan emosi antara laki-laki dan perempuan. Middendrop mengatakan bahwa pengelolaan emosi seorang perempuan lebih kuat pengaruhnya atas perasaanya sendiri baik tentang kesehatan dirinya ataupun dalam pengelolahan emosi yang dilakukan atas dasar kondisi kesahatannya yang mungkin bisa di anggap dapat mengancamnya. Laki-laki dan perempuan mempunyai pengelolahan emosi yang berbeda. Middendrop menyatakan bahwa perempuan lebih sering melakukan rumination (membuat seorang wanita akan terus-menerus memikirkan hal-hal yang negatif), positive refocusing (memikirkan hal-hal yang menyenangkan daripada memikirkan hal yang sebenarnya) dan catastrophizing (merasa bahwa apa yang dialami  adalah suatu pengalaman yang buruk baginya).[18]

Perbedaan jenis kelamin ketikan mengekspresikan emosi dikaitkan dengan perbedaan tujuan perempuan dan laki-laki ketika mengontrol emosi yang dirasakannya. Laki-laki mengekspresikan rasa bangga dan marah untuk menjaga hubungan interpersonal serta membuat mereka tampak lemah dan tidak berdaya, sedangkan laki-laki mengeskpresikan rasa marah dan bangga untuk mempertahankan dan menunjukkan dominasi, karena itu perempuan lebih dapat melakukan pengelolahan terhadap emosi marah dan bangga, sedangkan laki-laki pada emosi takut, sedih dan cemas. Sedangkan perempuan akan mengekspresikan emosinya untuk membuat mereka tampak tidak berdaya, lemah dan untuk menjaga hubungan interpersonalnya.[19]

3)      Motivasi

Motivasi berperan dalam terbentuknya pengelolahan emosi, menurut Fischer individu akan cenderung menginginkan situasi nyaman dan menghindari situasi yang negatif. Fischer membagi tiga perbadaan motivasi pada interpersonal yaitu:

(a)   Prosocial motive: dalam hal ini individu menunjukkan motivasinya agar tidak melukai orang lain dan melindunginya.

(b)   Impression management: dalam hal ini individu melakukan pengelolahan emosi dengan cara menghindari hal yang membuat penilaian yang tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan dikarenakan adanya potensi terjadinya ketidak tepatan emosi mereka.

(c)   Influence: dalam hal ini dimana individu ingin mempengaruhi orang lain dengan menujuukan ekspresikan emosinya. Misalnya ingin membuat orang lain nyaman, ingin melakukan sesuatu kepada dirinya, tidak ingin melukai orang lain dan sebagainya. [20]

4)      Aspek Sosial

Thompson dan Mayer mengatakan bahwa pengelolahan emosi individu dapat dipengaruhi oleh teman sebaya dan keluarganya. Hal penting dalam perkembangan individu dalam melakukan pengelolahan emosi pada kondisi ketika berada di luar rumah dan keluarga dalam kondisi ketika individu berada didalam rumah. Dalam faktor keluarga kualitas anak dan keluarga menjadi dasar utama yang dapat mempengaruhi individu dalam mengelolah emosi.[21]

   Anak yang memiliki hubungan baik dengan orang tuanya cenderung lebih sadar diri secara emosional. Anak akan dapat mengembangkan dirinya untuk mengelolah emosi yang tepat dalam lingkungannya.

sebaliknya anak yang mempunyai ibu kurang sensitif, tidak konsisten dalam merespon perasaan anaknya dan kurang membuat nyaman saat berbicara tentang kesulitan emosi yang dipahami sang anak. Hal ini akan membuat anak  cenderung terbatas dalam memahami emosi dan sulit dalam melakukan pengelolahan emositerutama dalam keadaan penuh stres. Hal ini terjadi karena kurangnya dukungan dalam hubungan orang tua dan anak. Anak ini dapat memperlihatkan disregulasi emosi dengan memperlihatkan peningkatan emosi negatif yang tidak teratur.

5)      Norma dan Budaya

Pengelolahan emosi bukan hanya berkaitan dengan intrapersonal tetapi pengelolahan emosi sesuai dengan tempat dan cara individu tersebut menjalani kehidupan. Pengelolahan emosi terjadi melalui situasi sosial yang terstrukur, dinamika interaksi sosial dan usaha orang terdekat untuk memodifikasi situasi individu yang bersangkutan. Makna yang diambil dalam berbagai situasi, dan kesempatan yang tersedia dalam mengelola emosi.[22]

 Aspek budaya berhubungan dengan pengelolahan emosi serta motivasi untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain, contoh praktis individu tidak mau terlihat sebagai abnormal, individu tertawa di suatu tempat yang tidak tepat, stereotip gender yang menyebutkan bahwa laki-laki lebi rasional dan perempuan lebih emosional. Kondisi tersebut menuntut individu untuk memelihara harmoni sosial dengan menekan emosi negatif di depan orang lain. Fischer juga menyimpulkan bahwa yang membentuk dasar motivasi adalah norma.[23]

d)      Strategi Regulasi Emosi

1)      Pemilihan Situasi

Salah satu cara dimana individu menghindari/mendekati situasi atau orang yang bisa menimbulkan emosi yang berlebihan. Misalnya ketika individu memilih untuk menghindari teman atau rekan kerjanya yang menurutnya menyebalkan. Dalam menjalankan strategi pemilihan situasi (Situation Selection) individu perlu memahami situasi yang akan dihadapinya beserta konsekuesni emosi yang mungkin menyertainya.

2)      Modifikasi Situasi

Salah satu cara dimana individu mengubah lingkungan sehingga dapat mengurangi hal yang menimbulkan emosi, contohnya ketika orang tua yang langsung memberikan bantuan pada anaknya yang kesulitan agar sang anak tidak marah atau frustasi.  Sehingga dalam hal ini modifikasi situasi  merupakan usaha yang langsung dilakukan agar memodifikasi situasi agar efek emosi yang dirasakan anak dapat teralihkan.[24]

3)      Mengalihkan Perhatian

Salah satu cara dimana individu mengalihkan perhatian dari situasi yang membuat tidak menyenangkan untuk menghindari hal yang menimbulkan emosi yang berlebihan. Starttegi regulasi emosi ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk misalnya dengan menunjukkan pengalihan fisik (dengan menutup mata dan telinga) maupun internal (membatasi konsentrasi dan mengatur fokus). Terdapat dua strategi dalam pengalihan fisik ini yaitu:

(a)   Distraction, memfokuskan perhatian pada aspek lain dari situasi yang dihadapi atau mengalihkan perhatiannya dari situasi yang sedang di hadapi.   Salah satu contohnya ketika seorang bayi memalingkan pandangannya dari stimulus yang dapat memicu timbulnya  emosi.

(b)   Concentration, memfokuskan perhatian pada aspek emosi dari situasi yang dihadapi.

4)      Mengubah Cara Berpikir

Salah satu cara strategi dimana individu mengevaluasi kembali keadaan dengan mengubah cara berfikir yang negatif menjadi positif sehingga dapat mengurangi pengaruh dari emosi yang dirasakan. Strategi ini dapat dilakukan dengan mengubah cara berfikir terhadap situasi yang dihadapi atau dengan mengubah persepsi kita terhadap “tuntutan” dari situasi yang sedang dihadapi, contohnya individu  yang mempunyai pikiran bahwa kegagalan yang dihadapi merupakan suatu tantangan bukan suatu ancaman.

5)      Membuat Perubahan Dalam Merespon Emosi

Suatu usaha yang dilakukan oleh individu dalam membuat perubahan terhadap respon emosi yang berfokus untuk mengatur pengalaman emosi yang dimiliki. Di tahap ini individu akan menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya kepada orang lain.[25]



[1] Amitya Kumara dan Ayu Sulistyaningsari, dkk,  Mengenali dan Menangani Emosi Pada Siswa (Yoyakarta: PT Kanisius, 2018), hal. 15

[2] Ibid.

[3] Ibid., 16

[4] Ibid., 16

[5] Ibid., 17

[6] Ibid., 17

[7] Ibid., 17

[8] Ibid., 18

[9] Ibid., 18

[10] Ibid., 19

[11] Ibid., 19

[12] Ibid., 20

[13] Ibid., 20

[14] Ibid., 20

[15] Ibid., 21

[16] Ibid., 21

[17] Ibid., 22

[18] Ibid., 22

[19] Ibid., 23

[20] Ibid., 24

[21] Ibid., 24

[22] Ibid., 24

[23] Ibid., 24-25

[24] Ibid., 25

[25] Ibid., 26