Kamis, 14 Mei 2020


Indonesia merupakan negara multikultural dengan penduduk yang berasal dari berbagai latar belakang etnis, suku, agama, ras dan budaya. Salah satu etnis yang ada di Indonesia adalah Etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa pertama kali datang ke tanah Nusantara pada awal abad ke-5 Masehi. Pada tahun 414, para Tionghoa yang melakukan perjalanan ke India terdampar di Jawa. Mereka terdampar seiring dengan hubungan perdagangan Nusantara. Perkembangannya pun terus meningkat, semakin banyak orang Tionghoa seperti berasal dari Mongol memilih tidak pulang dan menetap di Indonesia[1].
Orang-orang Etnis Tionghoa pun sangat beragam, bukan hanya dari golongan pedagang kelas menengah dan saudagar. Beberapa dari mereka juga datang dari golongan tukang, pedagang kecil, buruh dan kuli kasar. Selanjutnya, orang Tionghoa ini pun membaur dengan bahasa, makanan, pakaian, dan agama di Indonesia. Mereka pun menikahi sejumlah perempuan Indonesia dan menghasilkan keturunan[2].
Masuknya Etnis Tionghoa ke Nusantara pada saat itu, memberikan dinamika tersendiri dalam perkembangan Islam. Seiring berjalannya waktu, banyak Etnis Tionghoa yang memeluk agama Islam dan melakukan penyebaran. Dinamika sejarah Islam Tionghoa di Negara Indonesia dapat dilihat mulai berbagai fase, mulai fase pertumbuhan, fase perkembangan, fase kemunduran dan fase kebangkitan lagi di era sekarang[3]. Fase pertumbuhan dimulai dari rekam jejak sejarah ekspedisi laksamana Cheng Hoo ke Nusantara. Fase perkembangan ditandai dengan tersebarnya berbagai ajaran Islam dengan budaya Tionghoa melalui berbagai jalur, seperti perdagangan, pernikahan, dan kekeluargaan. Fase kemunduran adalah Era Orde Baru yang ditandai dengan berbagai problem politik adu domba antara rezim kolonial belanda dan orde baru terkait dengan Etnis Tionghoa.
Penyebaran ajaran Islam awal yang dilakukan oleh Tionghoa Muslim tidak dapat ditentukan secara pasti. Secara umum, dapat dikatakan bahwa proses tersebut telah berlangsung sejak pertama kali mereka datang ke Indonesia. Selain itu masyarakat Tionghoa sangat mengenal siapa Laksamana Muhammad Cheng Hoo, yang telah menjadi ikon bagi mereka. Laksamana Cheng Hoo (Zheng He), tercatat dalam sejarah sebagai salah seorang admiral muslim yang telah berhasil menjadi duta Islam kala itu. Ia memulai pelayaran pada tahun 1405, berlayar selama 29 tahun dan berhasil melalui wilayah Asia hingga Afrika[4]. Pelayarannya bukan hanya untuk membangun jaringan perdagangan, tetapi juga menyebarkan agama Islam secara luas.
Warisan Cheng Hoo (Zheng He) yang termasyur hingga kini adalah jalur perdagangan yang ditempuhnya dikenal sebagai Jalur Sutra. Kennedy, dalam bukunya The Great Arab Conquest (Kennedy : 2007) menyebutkan bahwa jalur sutra yang dilewati oleh Cheng Hoo (Zheng He) membawa spirit Islam yang kental. Hingga ke wilayah semenanjung Malaka dan Asia Tenggara kemudian jalur tersebut dikenal sebagai Jalur Santri. Diketahui kapal ekspedisi Cheng Hoo (Zheng He) tidak hanya memuat beragam barang perdagangan, di dalamnya juga mengangkut beberapa pemeluk dan pemuka agama. Hubungan tersebut kemudian mempengaruhi bagaimana Cheng Hoo (Zheng He) mengembangkan hubungan yang lebih dalam dengan penguasa di wilayah semenanjung Malaka, khususnya di wilayah Jawa. Tercatat keberadaan Cheng Hoo (Zheng He) di Jawa bahkan membuahkan sebuah kerjasama lebih erat melalui perkawinan antara Putri Campa dengan Raja Majapahit kala itu. Dari perkawinan tersebut lahirlah keturunan yakni Raden Patah (Sunan Kalijaga), Raden Rahmat (Sunan Ampel), dan Raden Muhammad Ainul Yakin (Sunan Giri). Ketiganya menjadi cikal bakal penyebaran agama Islam dan menjadi bagian dari Wali Songo.
Kehidupan beragama Muslim Tionghoa terus berlanjut hingga sekarang. Pada mulanya, kehidupan keagamaan mereka bersifat perorangan. Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya, kehidupan keagamaan yang semula bersifat personal menjadi sosial. Hal ini terlihat dengan pembentukan organisasi yang salah satu fungsinya adalah dakwah Islamiyah, seperti Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)[5]. PITI merupakan salah satu organisasi dakwah Islamiyah Muslim Tionghoa pertama yang dibentuk. Selanjutnya organisasi tersebut dibentuk di masing-masing daerah seperti Serdang, Yogyakarta, Surabaya, dan lain sebagainya.
Pada masa Orde Baru, Muslim Tionghoa mengalami tekanan yang cukup keras dari pemerintah. Organisasi PITI harus dibubarkan karena menurut Jaksa Agung, penggunaan kata ‘Tionghoa’ berbau eksklusif. Tak lama setelah itu, pada tanggal 15 Desember 1972 Muslim Tionghoa mendirikan organisasi baru bernama Pembina Iman Tauhid Islam yang masih berakronim PITI[6].
Seiring dengan kebebasan pers pasca Orde Baru, ditambah dengan pencabutan terhadap pelarangan praktik adat dan tradisi Tionghoa di ruang publik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Keppres No. 6 Tahun 2000), warga Tionghoa semakin mendapatkan ruang untuk berekspresi dalam beragam cara, termasuk di antaranya warga Muslim Tionghoa. Momentum kebebasan tersebut dimanfaatkan untuk merevitalisasi organisasi PITI (Pembina Iman Tauhid Islam). Dalam Muktamar Nasional PITI ke-2 yang berlangsung di Jakarta tahun 2000, akronim lama digunakan lagi bersamaan dengan yang sekarang yaitu Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Selain itu, di Surabaya dibangun masjid pertama yang bergaya arsitek China dan diberi nama Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia.


[1] Muchlisa Choiriah, “Sejarah Kedatangan Etnis Tionghoa di Indonesia”, (https://www.merdeka.com/peristiwa/sejarah-kedatangan-etnis-tionghoa-di-indonesia.html diakses pada 27 Januari 2020)

[2] Keturunan yang lahir dari perkawinan silang ini disebut peranakan Tionghoa-Indonesia

[3] Muhibbin, “KEBERAGAMAAN ETNIS MUSLIM TIONGHOA  DI JAWA TIMUR;  Studi Terhadap Jamaah Masjid Cheng Hod di Jember dan Surabaya”. FENOMENA. Vol. 18 No. 1, April 2019, 2
[4] Ahmad Ma’ruf, “NILAI-NILAI AL-QUR’AN DALAM PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF ETNIS TIONGHOA DI PERSATUAN ISLAM TIONGHOA INDONESIA (PITI JATIM)”. MAFHUM : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Vol. 2 No. 2, November 2017, 180

[5] Yusuf Zainal Abidin, “Keberagamaan dan Dakwah Tionghoa Muslim”. Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies. Vol. 11 No. 2, 2017, 358
[6] Rezza Maulana, “DAKWAH DAN ETNISITAS: Negosiasi Identitas pada Majalah Cheng Hoo”. Mukaddimah, Vol. 19, No. 1, 2013, 28-29

0 komentar:

Posting Komentar