Rabu, 05 Agustus 2020

1.      Pengertian

Token economy adalah pemberian satu kepingan (atau suatu tanda, satu isyarat) sesegera mungkin setiap kali setiap perilaku sasaran muncul. Kepingan-kepingan ini nantinya dapat ditukar dengan benda atau aktivitas pengukuh yang diinginkan klien. Selanjutnya menurut Reid (1999), token economy adalah suatu bentuk reinforcement positif dimana klien menerima suatu token ketika mereka memperlihatkan perilaku yang diinginkan. Setelah klien mengakumulasikan token dalam jumlah tertentu, mereka dapat menukarkannya dengan reinforcer. Reinforcer itu sendiri sesungguhnya adalah stimulus yang dapat meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respon tertentu. Rujukan yang menjadi dasar praktikan menggunakan intervensi token economy sejalan dengan penelitian Syafrida (2016) dalam JP3SDM Vol.4 No.1 dengan judul Efektifitas Modifikasi Perilaku untuk Mengatasi Enuresis pada Anak. Penelitian Syafrida (2016) mengatakan bahwa teknik token economy dilakukan dengan memberikan stempel bila individu dapat melakukan suatu tugas dengan baik dan poin yang dikumpulkan nantinya dapat ditukarkan dengan backup reinforcer. Penelitian Syafrida (2016) menggunakan teknik intervensi token economy dengan metode eksperimen kasus tunggal (single case experimental design) untuk menangani seorang klien yang berusia 8 tahun 9 bulan, serta mengalami enuresis. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut yakni multiple baseline design.

Selanjutnya penelitian Syafrida (2016) mengatakan bahwa kondisi lain dari reinforcer, seperti uang, bertahan dan dapat diakumulasikan disebut token. Sebuah program dimana kelompok individu bisa mendapat tanda (token) untuk berbagai perilaku yang diinginkan, dan dapat menukar tanda itu dengan backup reinforcer. Terdapat dua keuntungan utama ketika menggunakan token reinforcer (Syafrida, 2016). Pertama, mereka dapat diberikan dengan segera setelah satu perilaku diinginkan terjadi dan menguangkannya pada suatu waktu untuk backup reinforcer. Dengan begitu dapat digunakan untuk “jembatan” antara delay respon target dan backup reinforcer, terutama penting ketika tidak praktis atau mustahil untuk mengirim backup reinforcer dengan segera setelah perilaku. Kedua, tanda membuat lebih mudah untuk mengelola konsisten dan efektif reinforcer ketika berhubungan dengan sekelompok individu (Syafrida, 2016).

Berdasarkan penjelasan tentang Token economy yang telah dikemukakan sebelumnya, praktikan menggunakan intervensi Token economy diperkuat dengan hasil dari penelitian Syafrida (2016) mengungkapkan bahwa intervensi ini dianggap tepat untuk mengubah perilaku yang tidak diharapkan dengan menghilangkan hubungan sebab akibat dari suatu stimulus dengan respon, dimana respon yang muncul merupakan bentuk perilaku yang tidak diharapkan terhadap suatu stimulus tertentu, dalam penelitian tersebut berupa perilaku enuresis klien. Sementara itu juga karakteristik klien yang ditangani oleh praktikan dan peneliti sebelumnya kurang lebih sama yaitu klien anak serta memiliki permasalahan dengan kebiasaan yang kurang tepat.

 

2.      Cara Mengimplementasikan Teknik Token Economy

Menurut Reid (1999), sebelum menerapkan token economy, perlu dirancang atau disiapkan langkah-langkahnya yaitu :

a.       Mengidentifikasi perilaku-perilaku yang perlu diubah

Perilaku yang perlu dirubah tersebut disebutkan secara spesifik dan mendeskripsikan standar untuk kinerja yang dianggap memuaskan. Selain itu juga perlu untuk menghitung jarak pendek dan jarak panjang perilaku sasaran yang ingin dicapai dari masalah perilaku yang ditemukan.

 

b.      Membuat dan men-display aturan

Semua partisipan dipastikan untuk memahami aturan untuk memberikan token, kuatitas token yang dianugerahkan untuk perilaku-perilaku yang berbeda, dan kapan klien dapat menukarkan token untuk mendapatkan reward. Selanjutnya, konselor perlu memilih apa yang digunakan sebagai token. Token seharusnya aman, kuat, mudah diberikan, dan sulit untuk direplikasi. Kemudian konselor juga perlu menentukan backup reinforcer, atau benda-benda reward yang dapat diterima partisipan ketika mereka menukarkan tokennya. Backup reinforcer memiliki signifikansi atau daya tarik tertentu bagi klien.

 

c.       Menetapkan "harga" dengan memilih berapa banyak token yang harus dimiliki partisipan sebelum menukarkannya dengan backup reinforce.

Sebelum menerapkan sistemnya, penanggung jawab seharusnya melakukan uji lapangan terhadap sistemnya, memastikan bahwa harganya akurat: Jika seorang    partisipan   tidak   mampu     menampilkan cukup token untuk melakukan pembelian, mereka akan kehilangan motivasi untuk terlibat dalam perilaku yang diinginkan (Reid, 1999). Praktik yang baik untuk menyusun suatu menu reward dengan nilai-nilai token yang sangat beragam, yang disyaratkan untuk berbagai opsi reward.

 

3.      Tujuan

Tujuan utama dari token economy, yaitu untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan. Token economy sebagai sarana untuk mengajarkan perilaku yang sesuai dan keterampilan- keterampilan sosial yang dapat digunakan dalam kehidupan. Token economy juga dapat digunakan secara individu atau secara berkelompok (Susanto, 2008)

 

4.      Psikoedukasi

Psikoedukasi adalah suatu bentuk pendidikan ataupun pelatihan terhadap seseorang dengan gangguan psikiatri yang bertujuan untuk treatment dan rehabilitasi. Menurut Goldman (Bordbar & Faridhosseini, 2010) sasaran dari psikoedukasi adalah untuk mengembangkan dan meningkatkan penerimaan pasien terhadap penyakit ataupun gangguan yang dialami, meningkatkan partisipasi pasien dalam terapi, dan coping mechanism ketika pasien menghadapi masalah yang berkaitan dengan penyakit tersebut.

Psikoedukasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman atau keterampilan sebagai usaha pengenalan serta pencegahan atau meluasnya gangguan psikologis di kelompok masyarakat. Untuk itu, psikoedukasi diharapkan mampu meningkatkan pemahaman bukan hanya bagi pasien, tetapi juga lingkungan dan terutama keluarga.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Adiyanti. MG, M.S. (2003). Perilaku Anak Usia Dini: Kasus dan Pemecahannya. Yogyakarta: Kanisius.

Candrasari, et al. (2017). Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Bahasa Anak. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Desmita, (2015). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Diyantini,N.K, Yanti,  N.  L.  P  .  E.,  &  Lismawati,  S.  M.  (2015).  Hubungan Karakteristik dan  Kepribadian  Anak  dengan  Kejadian  Bullying pada Siswa Kelas V di SD “X” di Kabupaten Badung. COPING (Community in Nursing Publishing.

Lestari, K.W. (2011). Konsep Matematika Anak Usia Dini. Direktorat Pembinaan PAUD: Jakarta.

Martin, G. & Pear, J. (2003). Behavior Modification. What It Is and How To Do It. (7th edition). New Jersey: Pearson Education International.

Meggitt, C. (2013). Memahami Perkembangan Anak. Jakarta: PT. Indeks.

Monks, dkk. (1999). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah mada University Press.

Poltekkes Depkes Jakarta, Tim Penulis. (2010). Kesehatan Remaja. Jakarta: Salemba Medika.

Reid, R. (1999). Attention deficit hyperactivity disorder. Effective methods for the classroom. Focus on Exceptional Children (32) 4.

Susanto, E. (2008). Ekonomi Token, Tips Mendidik Anak Kreatif. Diunduh dari http://eko 13.wordpress.com/2008/05/18/ekonomi-token-tips-mendidikanak- kreatif/ Diakses pada tanggal 14 Desember 2019 pukul 11.39.

Soetjiningsih. (2012). Perkembangan Anak dan Permasalahannya dalam Buku Ajar Ilmu Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta: Sagungseto.

Syafrida, Evi. (2016). Efektifitas Modifikasi Perilaku untuk Mengatasi Enuresis pada Anak. JP3SDM (4) 1.

Yusuf, S. (2004). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

 

1.      Autism Spektrum Disorder

Gangguan Spektrum Autisme (Autism Spectrum Disorder, ASD) adalah kumpulan kondisi yang diklasifikasikan sebagai gangguan neurodevelopmental pada DSM-5 (APA, 2013). Untuk memenuhi diagnosis gangguan spektrum autisme, individu harus menunjukkan dua tipe gejala, yaitu :

 

·         Defisit pada ranah komunikasi dan interaksi sosial.

·         Perilaku, minat, atau aktivitas yang terbatas dan repetitif

 

Presentasi klinis dapat bervariasi bagi tiap individu, yaitu dari ringan sampai parah dan dipersulit oleh terjadinya komorbiditas, termasuk kejang, gangguan pencernaan, gangguan pendengaran, dan gangguan kejiwaan. Gangguan ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Gangguan Spektrum Autisme (ASD) merupakan istilah yang pertama kali digunakan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders versi 5 (DSM-5) yang dirilis Mei 2013. Diagnosis ini meliputi beberapa diagnosis DSM-IV TR, yaitu gangguan autistik, gangguan asperger, gangguan disintegratif masa kanak-kanak, dan PDD-NOS. Pada kriteria diagnostik gangguan spektrum autisme pada DSM-5, komunikasi sosial dan interaksi sosial tidak lagi terpisah seperti pada DSM-IV TR, tetapi tergabung dalam satu kategori.

 

2.      Penyebab

a.       Genetika

Hasil studi keluarga dan kembar menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam etiologi autisme dan gangguan perkembangan pervasif lainnya. Penelitian telah secara konsisten menemukan bahwa  prevalensi autisme pada saudara kandung dari anak-anak autis adalah sekitar 15 sampai 30 kali lebih besar dari tingkat pada populasi umum. Tampaknya tidak ada gen tunggal yang dapat menjelaskan autisme. Sebaliknya, tampaknya ada beberapa gen yang terlibat, yang masing- masing merupakan faktor risiko untuk komponen dari gangguan spektrum autisme.

Kembar monozigot menunjukkan tingkat kesesuaian yang lebih tinggi untuk ASD daripada kembar dizigot, tetapi studi individu bervariasi dalam derajat dilaporkan konkordansi, yang berkisar dari 36% - 92%. Risiko ASD untuk masing-masing anak juga lebih tinggi jika kakak memiliki ASD, terutama jika ada beberapa saudara yang lebih tua dengan gangguan tersebut.

 

b.      Pengobatan

Tujuan pengobatan adalah untuk meningkatkan kemandirian fungsional dan kualitas hidup melalui; (i) pembelajaran dan pengembangan, meningkatkan keterampilan sosial, dan meningkatkan komunikasi; (ii) penurunan kecacatan dan komorbiditas; (iii) bantuan untuk keluarga.

 

c.       Terapi Non Farmakologis

                             ·   Intervensi oleh praktikan, termasuk intervensi berbasis Applied Behavioral Analysis (ABA) bisa menurunkan beberapa gejala.

·   Intervensi oleh orang tua dapat mengurangi beberapa gejala ASD.

·   Intervensi berbasis permainan dan interaksi bisa memperbaiki rentang gejala

·   Terapi pijat mungkin meningkatkan komunikasi dan mengurangi keparahan gejala pada anak-anak dengan ASD (level 2 [mid-level] evidence).

·   Terapi musik dapat meningkatkan kemampuan komunikasi pada anak dengan ASD (level 2 [mid-level] evidence).

·   Terapi vokasional dapat meningkatkan keberhasilan kerja (level 2 [mid-level] evidence).

·   Kelas prasekolah khusus mengintegrasikan anak-anak dengan dan tanpa ASD dapat memperbaiki beberapa gejala (level 2 [mid-level] evidence).

·   Pengobatan hiperbarik (mungkin meningkatkan fungsi untuk anak autis (level 2 [mid-level] evidence), tetapi luaran lebih 4 minggu belum ditegakkan.

·   Terapi non-farmakologis tanpa bukti yang mendukung khasiat termasuk akupunktur, selimut tertimbang, biofeedback elektroensefalografik, dan pelatihan integrasi pendengaran.

 

 



DAFTAR PUSTAKA

Association, A.P. (2013). Diagnostic and statustical manual of mental disorders. America

Erford, B. T. (2017). 40 TEKNIK Yang Harus Diketahui Setiap Konselor edisi kedua. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih bahasa: Istiwidayati & Soedjarwo. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Maramis,W.F & Maramis, A.A. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa (Edisi Kedua). Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR, Airlangga University Press

Purwanta, E. (2015). Modifikasi Perilaku Alternatif Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Widyorini, E.,Harjanta, G & Sumijati, S.(2014). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Semarang : Universitas


Kamis, 28 Mei 2020

Self Control

 

1.      Definisi Terapi Self Control

Konsep diri merupakan gambaran seseorang mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan antara keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional aspiratif, dan prestasi yang telah mereka capai. Sedangkan menurut Calhoun dan acocella yang dikutib oleh M. Nur Ghufron & Rini Risnawita, bahwa self control itu berarti kontrol diri sebagai pengaturan proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang, dengan kata lain proses yang membentuk kepribadian dirinya. Suatu kemampuan untuk menyusun, mengatur dan membimbing serta mengarahkan bentuk perilaku yang membawa individu kearah konsekuensi positif. Synder dan Gangestad (1986) juga berpendapat sebagaimana yang dikutib oleh M. Nur Ghufron & Rini Risnawita bahwa konsep mengenai kontrol diri secara langsung sangat relevan untuk melihat hubungan antara pribadi dengan masyarakat sekitar dalam hal mengatur kesan masyarakat yang sesuai dengan isyarat situasional dalam hal bersikap.[1]

Self control adalah kemampuan individu untuk menahan keinginan yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Pengendalian diri merupakan seperangkat tingkah laku yang memfokuskan pada keberhasilan mengubah diri pribadi, perasaan yang mampu pada diri sendiri, atau bebas dari pengaruh orang lain.[2]

Seseorang dengan kontrol diri tinggi akan sangat memperhatikan cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang berfariasi. Ketika berinterasi dengan orang lain seseorang akan berusaha menampilkan perilakunya yang dianggap paling tepat untuk dirinya, kontrol diri diperlukan untuk membantu individu dalam mengatasi kemampuannya yang terbatas dan mengatasi berbagai hal merugikan yang bisa saja terjadi berasal dari luar. Kontrol diri sendiri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi, pengendalian emosi sendiri mengarahkan energi emosi ke saluran ekspresi yang dapat diterima secara sosial dan bermanfaat.[3]

 

2.      Faktor yang Mempengaruhi Self Control

Kontrol diri sendiri diakibatkan oleh beberapa faktor, secara garis besar faktor yang mempengaruhi kontrol diri karena faktor internal (dari diri individu) dan faktor eksternal (lingkungan individu).

a.       Faktor internal

Faktor internal yang ikut andil pada self control yaitu usia, dimana seseorang apabila semakin bertambah usianya, maka semakin baik kemampuan mengontrol dirinya.

b.      Faktor eksternal

Faktor eksternal ini diperoleh dari berbagai lingkungan keluarga. Lingkungan dari orang tua juga dapat menentuakan bagaimana kemampuan self control diri seseorang. Pelajaran disiplin yang diberikan orang tua sejak kecil cenderung diikuti oleh tingginya kemampuan mengontrol dirinya. Orang tua menerapkan sikap disipplin kepada anaknya secara intens sejak masih kecil, dan orang tua tetap konsisten terhadap konsekuensi yang dilakukan anaknya apabila melakukan perilaku menyimpang dari yang sudah ditetapkan. Maka sikap konsisten ini akan tertanam pada diri seorang anak. Dikemudian menjadi self control baginya.[4]

 

3.      Jenis dan Aspek Self Control

Self control sendiri mempunyai beberapa jenis diantaranya kontrol perilaku, kontrol kognitf dan kontrol keputusan

a.       Kontrol perilaku (Behavior control) Kontrol perilaku ini merupakan tersedianya kesiapan respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kontrol perilaku ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: mengatur pelaksanaan dan mengatur kemampuan memodifikasi stimulus, kemampuan yang mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan diri individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan.

b.      Kontrol kognitif (congtif control) Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam hal mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi mengurangi tekanan.

c.       Mengontrol keputusan (Decesional control) Mengontrol keputusan merupakan sebagian kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujui, kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi dengan adanya suatu kesempatan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.

 

Dari uraian dan penjelasan diatas, maka untuk mengukur kontrol diri seorang individu biasanya digunakan aspek-aspek seperti berikut:

a.       Kemempuan mengontrol stimulus

b.      Kemampuan mengontrol prilaku

c.       Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian

d.      Kemampuan mengantisipasi suatu peristiwa atau kejadian

e.       Kemampuan mengambil keputusan.[5]

 

4.      Fungsi Pembentukan Self Control

Pembentukan self control dapat dipengaruhi oleh faktor genetic dan miliu. Anak yang dari keturunan impulsif akan mempunyai kecenderungan berperilaku impulsif. Perkembangan self control antara lain perilaku orang tua yang diamati oleh anak. Gaya mengasuh termasuk aspek bu daya. Usia juga termasuk bisa mempengaruhi kondisi kontrol diri pada anak. Anak-anak sendiri cenderung lebih impulsif dibandingkan dengan anak yang lebih dewasa, artinya dengan bertambahnya usia anak maka bertambah pula kemampuan mengendalikan diri semakin baik. pembentukan self control sendiri sudah dimulai sejak usia anak-anak, ketika anak masih dalam buaian orang tua. Dalam hal ini orang tua menjadi pembentuk pertama self control pada anak. Cara orang tua mendisiplin, cara orang tua merespon kegagalan anak, cara berkomunikasi, cara orang tua mengekspresikan kemarahannya (penuh tekanan emosi atau mampu menahan amarahnya) merupakan awal anak belajar tentang kontrol diri.

Messina dan Messin mengemukakan fungsi dari self control sebagai berikut:

a.       Membatasi untuk bertingkah laku negatif

b.      Membatasi perhatian individu pada orang lain

c.       Membatasi keinginan untuk mengendalikan orang lain dilingkungannya

d.      Membantu memenuhi kebutuhan hidup secara seimbang

Sedangkan surya (2009) yang mengutip dari buku Lilik Sriyanti, bahwa memberi pendapat fungsi self control adalah mengatur kekuatan dorongan yang menjadikan tingkat kesanggupan, keyakinan, keinginan, keberanian dan juga emosi yang ada dalam diri sorang individu. Self control sangat diperlukan agar seseorang tidak terlibat dalam pelanggaran norma keluarga, sewkolah dan masyarakat.[6]



[1] M. Nur Ghufron & Rini Risnawita S, Teori-Teori Psikologi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm 22

[2] Lilik Sriyanti, “Pembentukan Self Control dalam Perspektif Nilai Multikultural”, Vol. 4, No. 1, (Juni 2012), hal 69

[3] M. Nur Ghufron & Rini Risnawita S, Teori-Teori Psikologi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm 23

[4] Ibid., hlm. 32

[5] Ibid., hlm 29

[6] Lilik Sriyanti, “Pembentukan Self Control dalam Perspektif Nilai Multikultural”, Vol. 4, No. 1, (Juni 2012), hal 69


Senin, 18 Mei 2020

A.    PENGERTIAN RELIGIUSITAS

Ada beberapa istilah dari kata agama, diantaranya religi, religion (Inggris), religie (Belanda), religio/relegare (Latin) dan dien (Arab). Dua kata agama, dalam bahasa religion (Inggris) dan religie (Belanda) merupakan bahasa induk dari kedua asal bahasa tersebut, yaitu Latin “religio” dari akar kata “relegare” yang memilikiarti mengikat. Dalam Faisal Ismail, menurut Cicero, relegare berarti melakukan suatu perbuatan yang penuh dengan penderitaan, yaitu jenis perilaku peribadatan yang dikerjakan secara beruang-ulang dan tetap. Lalu Lactancius mengartikannya sesuatu yang mengikat menjadi satu dalam pertemuan bersama.[1]

Dalam bahasa Arab agama terkenal dengan kata al-din dan al-milah. Kata al-din sendiri memiliki banyak arti. Al-din disini bisa berarti al-mulk (kerajaan), al-khidmat (pelayanan), al-izz (kejayaan), al-dzull (kehinaan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al-adat (kebiasaan), al-ibadat (pengabdian), al-qahr wa al-sulthan (kekuasaan dan pemerintahan), al-tadzallulwa al-khudu (tunduk dan patuh), altha’at (taat), al-islam al-tauhid (penyerahan dan mengesakan Tuhan).[2]

Sedangkan menurut Hadikusuma dalam Bustanuddin Agus, agama merupakan sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan sebagai petunjuk umat (hamba Tuhan) ketika menjalani kehidupan di bumi.[3] Dari istilah agama, munculah apa yang dinamakan religiusitas. Religiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah serta seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianut.[4]

Religiusitas adalah perilaku yang merupakan perwujudan berdasarkan pada keyakinan hati dan keterikatan kepada Tuhan berupa peribadatan, serta segala norma yang mengatur keterikatan kepada Tuhan, hubungan antar manusia, dan hubungan dengan lingkungan yang terinternalisasi dengan manusia.[5]

Glock & Stark merumuskan bahwa religiusitas merupakan bentuk dari komitmen agama yang dapat dilihat melalui perilaku seseorang yang bersangkutan dengan keagamaan atau keimanan yang diyakininya. Religiusitas bisa di artikan dari seberapa tingkat pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa rajinnya pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam penghayatan agama yang dianut individu. Khususnya bagi orang muslim, religiusitas dapat dilihat dari seberapa jauhnya pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatannya terhadap agama Islam.[6]

Religiusitas merupakan suatu kesatuan unsur yang komperhensif, lalu menjadikan seseorang yang beragama bukan hanya sekedar mengaku memiliki agama saja. Religiusitas meliputi beberapa unsur yaitu meliputi pengetahuan agama, pengalaman agama, perilaku agama, dan sikap sosial keagamaan. Dalam agama Islam, religiusitas pada garis besarnya yang dinampakkan adalah pengalaman akidah, syari‟ah dan akhlak. Atau dengan kata lain seperti iman, islam dan ihsan. Apabila semua unsur tersebut dimiliki oleh orang tersebut, maka bisa dikatakan bahwa orang itu merupakan insan yang beragama sesungguhnya.

 

B.     DIMENSI RELIGIUSITAS

Disebutkan dalam Q.S Al-Baqarah ayat 208, Allah SWT berfirman yang artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkahan setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”[7]

Allah SWT memerintahkan orang beragama secara menyeluruh, dan tidak setengah-setengah. Arti menyeluruh dalam ayat tersebut adalah ketika dalam beraktifitas dalam sehari-hari kita harus islam segala aspeknya seperti ketika sedang berfikir tentang sesuatu, berperilaku kapanpun dimanapun dan bekerja entah apapun pekerjaan itu. Hal tersebut dilakukan sebagai wujud beribadah dari pelaksanaan keimanan kita kepada Allah SWT.

Menurut R. Stark dan C.Y. Glock[8] yang telah dikutip oleh Fuad Nashori, mereka menyebutkan ada lima dimensi yang dapat dibedakan, dan di dalam setiap dimensi terdapat beraneka ragam kaidah dan unsur-unsur lainnya, diantaranya ialah sebagai berikut :[9] :


a.       Dimensi Akidah (Ideologi)


Dimensi akidah berisi tentang beberapa pengharapan orang religius yang berpegang teguh pada pandangan ajaran dan mengakui kebenaran-kebenaran ajaran tersebut. Inti dari dimensi akidah dalam ajaran Islam adalah tauhid. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dan para penganut diharapkan untuk taat. Misalnya memercayai tentang adanya Tuhan, Malaikat, kitab-kitab, Nabi dan Rasul serta hari akhir, surga neraka dan yang lain sebagainya seperti hal yang bersifat gaib seperti yang telah diajarkan oleh agama.


b.      Dimensi Ibadah (Ritual)

Ciri yang nampak dari religiusitas seorang muslim ialah perilaku ibadahnya terhadap Allah SWT. Dimensi ibadah ini dapat diketahui dari sejauh mana tingkat kepatuhan seseorang ketika mengerjakan kegiatan-kegiatan ibadah yang diperintahkan oleh agamanya. Dimensi ibadah berkaitan dengan frekuensi, intensitas, dan elaksanaan ibadah seseorang. Dimensi praktek dalam agama Islam berupa menjalankan ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain sebagainya.[10]


c.       Dimensi Akhlak (Amal


Dimensi ini berkaitan dengan kegiatan pemeluk agama untuk merealisasikan ajaran-ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari yang berlandaskan pada etika dan agama. Dimensi ini menyangkut hubungan manusia dengan manusia yang lain serta manusia dengan lingkukan sekitarnya, seperti bersifat ramah dan baik terhadap orang lain, memperjuangkan kebenaran dan keadilan, saling menolong, disiplin menghargai waktudan lain sebagainya.[11]


d.      Dimensi Ihsan (Penghayatan)


Ketika manusia sudah memiliki keyakinan yang tinggi serta melaksanakan ajaran agamanya secara optimal, maka dicapailah situasi ihsan. Dimensi ini berkaitan dengan seberapa jauh seseorang merasa dekat dan dilihat oleh Allah SWT dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi ini mencakup pengalaman dan perasaan dekat dengan Allah SWT, perasaan nikmat dalam melaksanakan ibadah, merasakan pernah diselamatkan oleh Allah, perasaan do‟a yang didengar oleh Allah, tersentuh atau tergentar ketika mendengar asma-asma Allah SWT dan bersyukur akan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.[12]

 

e.       Dimensi Ilmu (Pengetahuan)

Dimensi pengetahuan merupakan dimensi pengetahuan dalam agama, yang menerangkan seberapa jauh tingkat pemahaman dan pengetahuan agama seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab suci atau yang lainnya. Paling tidak orang yang beragama harus mengetahui hal-hal pokok tentang dasar keyakinan dari agamanya.

Dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki jumlah minimal pengetahuan mengenai dasar keyakinan. Dimensi keyakinan dan pengetahuan berkaitan satu sama lain karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimanya. Dimensi tersebut menunjukkan dalam agama Islam menunjuk seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran agama Islam terutama mengenai ajaran pokok agamanya, sebagaimana yang termuat dalam kitab suci.[13]

 

C.    FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ELIGIUSITAS

Robert H. Thoules mengemukakan ada empat faktor religiusitas yang dikategorikan dalam kelompok utama, yang dimasukkan kedalam kelompok utama yaitu diantaranya :

a.     Faktor sosial yang meliputi perkembangan sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orangtua, tradisi-tradisi sosial dan tekanan yang ada di lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat yang ada serta sikap dan norma yang disepakati oleh lingkungan sekitar.

b.    Faktor lain yaitu pengalaman pribadi atau suatu kelompok pemeluk agama. Dan pengalaman konflik moral serta pengalaman batin emosional yang terikat secara langsung dengan Tuhan atau dengan sejumlah wujud lain pada sikap keberagamaan juga dapat membantu dalam memperkembangan keberagamaan manusia.

c.    Faktor kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dengan sempurna, sehingga terjadi adanya kebutuhan akan kepuasan agama. Segala kebutuhan tersebut dikelompokkan dalam empat bagian diantaranya seperti kebutuhan akan selamat, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk memperoleh harga diri dan kebutuhan yang muncul karena adanya kematian.[14] Menurut Zakiah Darajat yang dikutip oleh Jalaluddin juga menengahkan bahwa ada enam kebutuhan yang bisa menjadi sebab orang membutuhkan agama. Jadi melalui agama, segala kebutuhan tersebut dapat disalurkan. Kebutuhan itu merupakan kebutuhan akan rasa kasih sayang, akan rasa aman, akan rassa harga diri, akan rasa bebas, rasa sukses dan ingin tahu terhadap sesuatu.[15]

d.  Faktor terakhir yaitu ketika mengembangkan sikap keberagamaan. Manusia merupakan makhluk berfikir dan berakal. Salah satu akibat dari pemikirannya adalah bahwa manusia dapat membantu dirinya menentukan keyakinan iman yang harus ia terima dan mana keyakinan iman yang seharusnya di tolak.


Terdapat macam-macam faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi keberlangsungan religiusitas manusia, dan itu semua memang haruslah diatur dengan sedemikian rupa agar keberlangsungan beragama manusia berjalanan dengan baik sesuai dengan apa yang telah ada dalam ajaran agama.

 



[1] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 13. 

[2] Ibid., 13

[3] Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia : Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hlm 29. 

[4] Iredho Fani Reza, ReligiusitasHubungan Antara Religiusitas dengan Moralitas pada Remaja di Madrasah Aliyah, Jurnal Humanitas, Vol. X, No. 2, Agustus 2013, hlm. 49 

[5] Rahman, Perilaku Religiusitas dalam Kaitannya Dengan Kecerdasan Emosi Remaja, Jurnal Al-Qalam, vol. 15, Tahun 2009, hlm. 23. 

[6] Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi islam, (Yogyakarta : Menara Kudus, 2002), hlm. 71. 

[7] Departmen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : CV Darus Sunnah, 2007), hlm. 33. 

[8] Roland Robertson, ed., Agama : dalam analisa dan interpretasi sosiologis, (Jakarta : CV Rajawali, 1988), hlm. 295 – 297. 

[9] Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi islam, (Yogyakarta : Menara Kudus, 2002), hlm. 78 – 82. 

[10] Ibid., hal 79

[11] Ibid., hal 80

[12] Ibid, hal 81

[13] Ibid., hal 82

[14] Sururin, Ilmu Jiwa Agama,... hlm. 79.  

[15] Jalaluddin, Psikologi Agama..., hlm. 60 – 61.