Sabtu, 12 Januari 2019

MINAT

Minat adalah suatu rasa lebih suka atau ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaaan akan sesuatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri (Slamento, 1995: 182). Minat berpengaruh pada pencapaian tujuan terhadap sesuatu hal yang diinginkan. Salahsatu tolak ukur pencapaianpembelajarandi sekolah dengan mengetahui minat siswa mengikuti pembelajaran. Minat dipengaruhi oleh beberapafaktor diantaranya adalah: (a) Faktor dari dalam anak didik, terdiri dari (1) faktor fisiologis, yang terdiri dari panca indera, pusat syaraf, serta keadaanfisik pada umumnya, (2) faktor psikologis, yang meliputi pengamatan, perhatian, emosi, motivasi dan intelegensi. (b). Faktor dari luar anak didik, yang terdiri dari (1) faktor sosial, yaitu pengaruh yang dapat menimbulkan minat atau tidak berminat. Faktor sosial dapat berupa orangtua atau kehadiran orang tersebut secara langsung, (2) faktor non sosial, yaitu faktor alam yang dapat menimbulkan minat seseorang, misalnya: panas, dingin, lembab, perlengkapan, sarana dan prasarana.
Minat adalah suatu rasa lebih suka atau ketertarikan padasuatu hal atau aktivitas tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan sesuatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri (Slamento,1995: 182). Sukardi (1987: 46) mengemukakan bahwa minat sebagai suatu perangkat mental yang terdiri dari kombinasi perpaduan dan campuran dari perasaan, harapan, prasangka, cemas, takut, dan kecenderungan lain yang dapat menggerakan individudalam pilihantetentu. Dengan kata lain Sukardi memandang minat sebagai campuran dari keadaan mental dan kecenderungan jiwa yang mengarahkan pada pilihan tertentu pada diri individu. Winkel (1983: 30) mengemukakan minat adalah kecenderungan yang agak menetap dalam subyek, merasa tertarik pada bidang atau hal tertentu dan merasa senang dalam bidang itu. Walgito (1997: 57) menjelaskan bahwa minat merupakan suatu keadaan dimana seseorang menaruh perhatian pada sesuatu, disertai keinginan, untuk mengetahui, mempelajari, atau membuktikan. Menurut uraian diatas ada hubungan antara minat dan tindakan seseorang yang berminat terhadap sesuatu obyek maka akan merasa senang terhadap sesuatu dan seseorang akan senang berkecimpung atau terlibat langsung pada sesuatu tersebut. Minat muncul apabila individutersebut tertarik terhadap sesuatu, sesuatu yang dirasakan menarik bagi individu. Minat merupakan gejala psikis yang menyebabkan seseorang merasa senang terhadap benda atau situasi tertentu.
Sulaeman (1995: 77) juga menyatakan bahwa minat dapat digolongkan menjadi dua yaitu minat intrinsik dan minat secara ekstrinsik. Minat secara intrinsik merupakan emosi secara senang yang dihubungkan dengan aktivitas tersebut. Sedangkan minat secara instrinsik tidak mendasar dalam diri siswa, meskipun tujuannya telah tercapai akan tetap senang dengan aktivitas tersebut, sedangkan minat ekstrinsik tidak mendasar dalam diri siswa, tetapi adanya unsur dari luar yang menyebabkan siswa tersebut mempunyai rasa senang, pengaruh dari luar ini dapat berasal dari orangtua, wali, ternan-ternan sekolah, ternan bermain, media massa,atau guru di sekolah.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa disamping minat disebabkan oleh rasa senang, tertarik, dan adanya aktivitas yang dilakukan akan tetapi minat juga disebabkanpula oleh pengaruh dari luar individu, misalnya pengaruh lingkungan keluarga, lingkungan sekolah,dan lingkungan masyarakat.

Minat adalah usaha dan kemauan untuk mempelajari (learning) dan mencari sesuatu.

a.       Makna Minat, menurut Crow & Crow, dalam bukunya Educational Psychology hlm 248, minat atau interest bisa berhubungan dengan daya gerak yang mendorong kita cenderung atau merasa tertarik pada orang, benda atau kegiatan atau pun bisa berupa pengalaman yang afektif yang dirangsang oleh kegiatan itu sendiri. Dengan kata lain, minat dapat menjadi penyebab kegiatan dan penyebab partisipasi dalam kegiatan. Pengertian yang tak jauh beda itu juga disampaikan oleh Witherington/Buchori,1978,hlm 124.
Dari pengertian tersebut kita memperoleh kesan bahwa minat itu sebenarnya mengandung unsur-unsur : kognisi (mengenal), emosi (perasaan), dan konasi  (kehendak) (Bigot,et al) hlm 201). Dan oleh sebab itu minat dapat dianggap sebagai respon yang sadar, sebab kalau tidak demikian maka minat tak akan mempunyai arti apa-apa. Unsur kognisi, dalam arti minat itu didahului oleh pengetahuan dan informasi mengenai obyek yang dituju oleh minat tersebut. Unsur emosi, karena dalam partisipasi atau pengalaman itu disertai dengan perasaan tertentu (biasanya perasaan senang). Sedangkan unsur konasi merupakan lanjutan dari kedua unsur tersebut yaitu yang diwujudkan dalam bentuk kemauan dan hasrat untuk melakukan suatu kegiatan, termasuk kegiatan yang diselenggarakan di sekolah.

b.      Minat dan Usaha. Tugas dan pekerjaan tidaklah dapat diselesaikan tanpa mengerahkan usaha, daya dan tenaganya. Semakin sulit tugas yang dihadapi, semakin banyak pula tenaga yang diperlukan untuk menyelesaikan dengan baik. Kenyataan ini berlaku pula dalam belajar. Penguasaan yang sempurna akan suatu mata pelajaran atau keterampilan menghendaki curahan perhatian yang demikian terinci. Dengan demikian, aspek tugas-tugas sekolah yang mungkin dirasakan menjemukan akan dapat ditiadakan dengan menghadirkan minat dalam menyelesaikan kegiatan tersebut. Ini berarti, bahwa minat yang telah disadari terhadap bidang belajar mungkin sekali akan menjaga pikiran siswa sehingga dia bisa menguasainya dengan baik. Pada gilirannya, prestasi yang berhasil itu akan menambah minatnya, dan keadaan ini bisa berlanjut sepanjang hayatnya.
Minat siswa terhadap bidang pelajaran apa pun tidak dapat dipisahkan dari bakat nyata dalam bidang tersebut. Kalau pelajaran itu dipelajari dan dikaji terus meneru, niscaya bisa menghasilkan kecakapan yang lebih besar disertai dengan bertambahnya minat, bukan hanya terhadap bidang itu sendiri tetapi juga terhadap bidang-bidang lain yang berhubungan.
Dalam kenyataannya, tidak semua siswa memulai bidang studi baru karena factor minatnya sendiri. Ada yang mengembangkan minatnya terhadap bidang pelajaran tersebut karena pengaruh dari gurunya, teman sekelasnya atau orang tuanya. Walaupun demikian, lama-kelamaan jika siswa yang serupa itu mampu mngembangkan minatnya yang kuat terhadap mata pelajaran dan mampu pula mengerahkan segala daya dan upayanya untuk menguasainya, niscaya ia bisa memperoleh prestasi yang berhasil, sekalipun ia tergolong siswa yang berkemampuan rata-rata. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban dan tanggung jawab sekolah untuk menyediakan lingkungan yang diperkaya bagi para siswa guna merangsang minat mereka terhadap banyak kegiatan yang bermanfaat yang berlangsung dalam proses belajar mengajar pada khususnya.

c.       Minat dan kelelahan. Ada dua macam kelelahan pada manusia, yaitu kelelahan yang hakiki dan kelelahan yang semu. Kelelahan yang hakiki diakibatkan oleh kerja fisik atau psikis sehingga menyebabkan racun tau toksin yang menumpuk pada tubuh. Kelelahan ini dapat dihilangkan dengan istirahat. Sedangkan kelelahan yang semu diakibatkan oleh tidak ada atau hilangnya minat terhadap kegiatan yang dilakukan oleh individu itu sendiri. Misalnya, siswa yang membaca buku pelajaran secara terus-menerus bisa menyebabkan ia kelelahan dan timbullah karenanya keinginan untuk menghentikan membacanya. Kemudian, jika ia mengalihkan dari buku tersebut kepada buku lain yang menarik minatnya, maka ia bisa terus membacanya sampai berjam-jam lamanya tanpa merasa lelah. Jadi, rasa lelah yang nampaknya menyertai belajar seringkali tidak lebih dari kebosanan belaka disertai keinginan untuk melakukan kegiatan lain yang menarik minatnya.Sebaliknya, siswa yang memang sangat menaruh minatnya kepada suatu tugas tertentu, maka kemungkinan ia akan lebih banyak melakukan tugasnya dan juga tugas tersebut akan dilakukannya dengan baik, sekalipun dalam beberapa hal minatnya bisa menyebabkan dia bekerja di luar batas-batas waktu yang semestinya dan kesehatannya sekaligus. Ini tidak berarti bahwa istirahat dan rileks itu tidak penting. Keduanya tetap diperlukan sebagai salah satu upaya untuk menjaga kesehatan dan mencapai prestasi yang  berhasil dalam tugas sekolah.( Abd.Rachman Abror,1993,hal 112-114)



KECEMASAN BERTANDING

Perlu dikemukakan bahwa kecemasan dapat diinterpretasikan dalam dua cara, yaitu kecemasan yang dirasakan oleh atlet dalam waktu tertentu, misalnya menjelang pertandingan (State Anxiety), atau kecemasan yang dirasakan karena atlet tergolong pencemas (Trait Anxiety). (Husdarta, 2010 : 80)
Terkait dengan olahraga, kecemasan seringkali dialami oleh atlet ketika atlet akan menghadapi suatu pertandingan. Pertandingan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perlombaan dalam olahraga yang menghadapkan dua pemain untuk bertanding, sedangkan bertanding adalah seorang lawan seorang. Pertandingan dalam istilah Inggrisnya, disebut dengan competition yang kemudian diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kompetisi. Chaplin (2006) mendefinisikan competition adalah saling mengatasi dan berjuang antara dua individu atau antara beberapa kelompok untuk memperebutkan objek yang sama.
Stress dan kecemasan dapat timbul kapan saja. Hampir setiap orang mengalami kecemasan. Begitu pula seorang atlet. Hanya kadar kecemasan yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan kepekaan dan daya toleransi seseorang terhadap sesuatu yang mungkin timbul atau menyebabkan cemas/tegang. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang mempunyai ambang keterangan (stress) tersendiri yang berbeda pula pada situasi lain.
Situasi tegang/cemas yang melewati ambang stress akan menyebabkan hal-hal yang tidak atau kurang menguntungkan bagi atlet yang bersangkutan. Dalam kegiatan olahraga terutama olahraga kompetitif ketegangan akan muncul dan selalu menghantui baik para atlet maupun official, ketegangan ini bisa muncul sebelum pertandingan atau selama pertandingan, pada gilirannya ketegangan itu akan mengganggu penampilan mereka.
Dalam menghadapi pertandingan, wajar saja kalau atlet menjadi tegang, bimbang, takut, cemas, terutama kalau menghadapi lawan yang lebih kuat atau seimbang, dan kalau situasinya mencekam. Ketakutan pada atlet umumnya dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori (Singgih, 1996 : 62):
a.       Takut gagal dalam pertandingan.
b.      Takut akan akibat sosial atas mutu prestasi mereka
c.       Takut kalau cedera atau mencederai lawan.
d.      Takut fisiknya tidak mampu menyelesaikan tugasnya/pertandingan dengan baik.
e.       Ada pula atlet yang takut menang.

Hasil-hasil penelitian cenderung menunjukkan bahwa atlet paling takut pada akibat sosial yang akan mereka peroleh atas mutu prestasi mereka. Misalnya takut gagal memenuhi harapan pelatih, KONI, pemerintah, takut dicemoh, dikritik, dikecam masyarakat.
Sampi batas tertentu, seorang atlet wajar memiliki rasa khawatir akan kalah dan menghadapi lawannya. Karena kekhwatiran ini justru dapat meningkatkan kewaspadaan atlet dalam menghadapi lawan. Atlet akan bertindak lebih berhati-hati, tidak terburu-buru dan bersikap waspada untuk mengantisipasi serangan lawan. Tetapi apabila atlet mengalami kekhwatiran secara berlebihan, ia dapat menjadi ekstra berhati-hati, takut berbuat salah, tidak berani membuat keputusan dan terlalu bersikap menunggu.
Kecemasan yang berlebihan pada atlet dapat menimbulkan gangguan dalam perasaan yang kurang menyenangkan, sehingga kondisi psikofisik atlet berada di dalam keadaan yang kurang seimbang. Akibatnya, atlet terpaksa memfokuskan energi psikofisiknya untuk mengembalikan kondisinya ke keadaan seimbang. Sehingga konsentrasi atlet untuk menghadapi lawan menjadi kurang (Martens, 1987) (Singgih D. G, 1996 : 40).
Kecemasan memperingatkan ancaman cidera pada tubuh, rasa takut keputusasaan, kemungkinan hukuman, atau frustasi dari kebutuhan sosial atau tubuh, perpisahan dari orang yang dicintai, gangguan pada keberhasilan atau status seseorang.
Bagi seorang atlet perorangan, pertandingan atau kompetisi olahraga merupakan situasi yang membangkitkan kecenderungan kompetitif, yaitu motif keberhasilan olahraga. Di lain pihak, juga dibangkitkan motifnya untuk menghindari kegagalan yang dicerminkan melalui rasa cemasnya menghadapi pertandingan atau kecemasan bertanding. Dua motif ini dimiliki setiap orang dengan kekuatan berbeda, masing-masig berdiri sendiri dan intensitasnya tidak saling bergantung.  Oleh karena itu, olahraga prestasi tidak terlepas dari kegiatan kompetitif, persepsi atlet terhadap suatu pertandingan dan kecemasan bertanding atlet yang diduga ikut berperan mengarahkan penampilannya dalam pertandingan, persepsi atlet dalam suatu pertandingan diperkirakan menunjang performance atlet saat bertanding, sedangkan kecemasan bertanding dalam intensitasnya tertentu diduga dapat menghambat prestasinya.
Cox (2002) mengungkapkan bahwa kecemasan menghadapi pertandingan merupakan keadaan distress yang dialami oleh seorang atlet, yaitu sebagai suatu kondisi emosi negatif yang meningkat sejalan dengan bagaimana seseorang atlet menginterpretasi dan menilai situasi pertandingan. Gunarsa (1996) menjelaskan bahwa persepsi atau tanggapan atlet dalam menilai situasi dan kondisi pada waktu menghadapi pertandingan, baik jauh sebelum pertandingan atau mendekati pertandingan akan menimbulkan reaksi yang berbeda. Apabila atlet menganggap situasi dan kondisi pertandingan tersebut sebagai suatu yang mengancam, maka atlet tersebut akan merasa tegang (stress) dan mengalami kecemasan.
Amir (2004) menjelaskan bahwa kecemasan yang timbul saat akan menghadapi pertandingan disebabkan karena atlet banyak memikirkan akibat-akibat yang akan diterimanya apabila mengalami kegagalan atau kalah dalam pertandingan. Kecemasan juga muncul akibat memikirkan hal-hal yang tidak dikehendaki akan terjadi, meliputi atlet tampil buruk, lawannya dipandang demikian superior dan atlet mengalami kekalahan (Satiadarma, 2000). Rasa cemas yang muncul dalam menghadapi pertandingan ini dikenal dengan kecemasan bertanding (Sudradjat, 1995).
Sementara itu, Gunarsa (1996 : 63) menyimpulkan hubungan kecemasan bertanding dalam hubungannya dengan pertandingan sebagai berikut:
a.       Sebelum pertandingan dimulai, kecemasan akan naik yang disebabkan oleh bayangan berat tugas atau pertandingan yang akan dihadapi.
b.      Selama pertandingan berlangsung, tingkat kecemasan biasanya mulai menurun.
c.       Mendekati akhir pertandingan, tingkat kecemasan biasanya akan naik lagi terutama bila skor pertandingan berimbang.
Berdasarkan uaraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan bertanding merupakan reaksi emosi negatif atlet terhadap keadaan tegang dalam menilai situasi pertandingan, yang ditandai dengan perasaan khawatir, was-was, dan disertai peningkatan gugahan sistem faal tubuh, sehingga menyebabkan atlet merasa tidak berdaya dan mengalami kelelahan karena senantiasa berada dalam keadaan yang dipersepsi mengancam.

A.    Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Bertanding
Sumber anxiety bermacam-macam seperti: tuntunan sosial yang berlebihan dan tidak atau belum dapat dipenuhi oleh individu yang bersangkutan, standar prestasi individu yang terlalu tinggi dengan kemampuan yang dimiliknya seperti misalnya kecenderungan perfeksionis, perasaan rendah diri pada individu yang bersangkutan, kurang-siapan individu sendiri untuk menghadapi situasi yang ada, pola perpikir dan persepsi yang negatif terhadap situasi yang ada ataupun terhadap diri sendiri. (Singgih D. G, 1996 : 41)
Perasaan cemas disebabkan karena adanya ketegangan pribadi yang terus menerus, akibat konflik dalam diri orang tersebut yang juga terus menerus. Orang cemas tidak dapat mengatasi konfliknya, sehingga ketegangan tidak kunjung reda.
Menurut sarwono, kecemasan dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu : a) faktor dari luar, yaitu ancaman bahaya yang terus menerus dialami seseorang, tanpa orang tersebut dapat berbuat apa-apa, b) faktor dari dalam diri individu, yaitu kecemasan yang disebabkan dari dalam diri individu sendiri, misalnya perbedaan yang terlalu jauh antara cita-cita atau keinginan dengan kemampuan yang dimiliki.
Perlu ditelaah terlebih dahulu, apakah pelatih atau pembina sendiri tidak menuntut secara brlebihan terhadap atlet tanpa memberikan dukungan kondisi dan pra-kondisi yang memadai. Karena tuntutan yang terlalu tinggi tanpa diimbangi oleh dukungan kondisi yang memadai akan mudah menimbulkan anxity pada atlet (Singgih D. G, 1996 : 42)
Di samping itu, apakah pelatih tidak bersikap terlalu khawatir akan atletnya. Misalnya saja dalam cabang olahraga Taekwondo, sering terjadi pelatih merasa khawatir secara berlebihan akan kemungkinan cedera yang dapat menimpa atletnya. Padahal di dalam olahraga kontak fisik seperti Taekwondo resiko cedera merupakan sesuatu yang memang sudah diperhitungkan.
Sikap pelatih yang khawatir secara berlebihan akan atletnya dapat mempengaruhi skap atlet. Akibatnya atlet menjadi takut cedera secara berlebihan, ia menjadi gentar untuk menyerang lawan karena takut lawan menendang balik (counter attack), dan lebih cenderung bertahan daripada berusaha untuk menyerang dan merebut angka.
Menurut Dadang Hawari (1997 : 62), gejala kecemasan baik yang sifatnya akut maupun kronik merupakan komponen utama bagi hampir  semua gangguan psikiatrik. Sebagian dari komponen kecemasan itu menjelma dalam bentuk gangguan panik.
Menurut Maramis (1980 : 258-277), kecemasan tidak terikat pada suatu benda atau keadaan akan tetapi mengambang bebas. Bila kecemasan hebat sekali munkin terjadi panik. Maramis membagai dua komponen kecemasan antara lain : 1) komponen somatik berupa nafas sesak, dada tertekan, kepala enteng seperti mengambang, linu-linu, keringat dingin. Semacam gejala lain mungkin mengenai motorik, pencernaan, pernafasan, atau susunan syaraf pusat. 2) komponen psikologis mungkin timbul sebagai was-was, khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, prihatin dengan pikiran orang mengenai dirinya. Penderita tegang terus menerus dan tidak bisa berperilaku santai, pemikirannya penuh tentang kehwatiran kadang-kadang bicarnya cepat, tetapi terputus-putus. Mengenai ancaman internal dan eksternal dengan represi sederhana kecemasan belum terikat atau terawasi oleh pembelaan ego.

B.     Ciri-ciri Kecemasan Bertanding
Gejala anxiety bermacam-macam bentuk dan kompleksitasnya, namun biasanya cukup mudah dikenali. Seseorang yang mengalami anxiety cenderung terus menerus merasa khawatir akan keadaan yang buruk yang akan menimpa dirinya atau diri orang lain yang dikenalnya dengan baik.
Biasanya, seseorang yang mengalami anxiety cenderung tidak sabar, mudah tersinggung, sering mengeluh, sulit berkonsentrasi, dan mudah terganggu tidurnya atau mengalami kesulitan untuk tidur.
Penderita anxiety sering mengalami gejala-gejala seperti : berkerngat berlebihan (walaupun udara tidak panas dan bukan setelah olahraga), jantung berdegup ekstra cepat atau terlalu keras, dingin pada tangan atau kaki, mengalami gangguan pencernaan, merasa mulut kering, merasa tenggorokan kering, tampak pucat, sering buang air kecil melebihi batas kewajaran, dan lain-lain. (Singgih, D. G, 1996 : 40).
Mereka juga sering mengeluh sakit pada persendian, kaku otot, cepat merasa lelah, tidak mampu relaks, sering terkejut, dan adakalanya disertai gerakan-gerakan wajah atau anggota tubuh dengan intensitas dan frekuensi berlebihan, misalnya : pada saat duduk terus-menerus menggoyangkan kaki, meregang-regangkan leher, mengernyitkan dahi, dan lain-lain.

Menurut Krol (1978), ada lima faktor dasar respon kecemasan prekompetitif yaitu a) Keluhan somatic, yaitu meningkatnya aktifitas fisiologis berhubngan dengan situasi yang mengundang stress, seperti kompetisi pertandingan, keluhan somatic : perut mulas, gemetar, b) Ketakutan bila gagal, cemas muncul bila penilaian subjektif atlet berakhir dengan persepsi adanya kemungkinan terjadi kegagalan, c) Perasaan tidak mampu, ciri perasaan tidak mampu adalah perasaan atlet bahwa ada yang salah dari dirinya, d) Kehilangan kontrol, cirinya adalah tidak sedang mengontrol apa yang sedang terjadi (seolah dikontrol oleh faktor eksternal seperti keberuntungan), e) Perasaan bersalah, pikiran bersalah berhubungan dengan moralitas dan agresifitas, reaksi dan pikiran bersalah adalah bermain kotor, melukai lawan dan mengumpat.


DAFTAR PUSTAKA

Cox, R.H. 2002. Sport Psychology: Concepts and Applications. New York: Mc Graw-Hill             Companies, Inc

Davies, D. 1989. Psychological Factor in Competitive Sport. Philadelphia: Falmer Press.

Gunarsa, S.D. 1986. Psikologi Olah Raga. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

................1996. Psikologi Olah Raga:Teori dan Praktek. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

...............2000. Psikologi Olahraga Dan Penerapannya Untuk Bulutangkis. Jakarta: UPT Penerbitan Universitas Tarumanagara,

Hardy, L, Jones, G, Gould, D. 1999. Understanding Psychological Preparation for Sport   :Ttheory and Practice of Elite Performers. New York: John Wiley & Sons, Inc

Husdarta. _____. Psikologi Olahraga. Bandung : Alfabeta.

Maksum, A. 2007. Psikologi Olahraga, Teori dan Aplikasi. FIK Unesa

Satiadarma, M.P. 2000. Dasar-dasar Psikologi Olahraga. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Singgih D. Gunarsa dkk. 1996. Psikologi Olahraga Teori dan Praktek. Jakarta : PT. BPK.             Gunung Mulia.

Singgih Gunarsa dkk. 1989. Psikologi Olahraga. Jakarta : Gunung Mulia.

Singer, R.N., Hausenblas, H.A., Janelle, C.M. 2001. Handbook of Sport Psychology. New             York : John Wiley & Sons, Inc.

Wann, L.D. 1997. Sport Psychology. New Jersey: Murray State University.

Williams, J.M. 1994. Applied Sport Psychology: Personal Growth to Peak Performance.    California: Mayfield Publishing Company.
Definition of Vocabulary

According to Tarigan, vocabularies are words that not easy change and it is difficult to adopt from the other language. It is indicates that in teaching or learning English vocabulary should uses an appropriate method.In English dictionary, Jhon M. Echols and Hasan Shadily say that is means that all of the word which registered.
Good (1959:642) defines that vocabulary as the words having meaning when heard or seen even though not produced by the individual himself to communicate with others is the words that considered essential for minimal use of a language.
Gove (1966: 56) states that vocabulary is a sum of words of a language that employed by individual, group, or work in relation to a subject.
According to Richards (2002:255), vocabulary is the core component of language proficiency and provides much of the basis for how well learnersspeak, listen, read, and write.
Vocabulary is one of the language components that can affect macroskills. Some definition of vocabulary is proposed by some experts. Nunan(1999: 101) states that vocabulary is a list of target language words.Furthermore, Jackson and Amvela (2000: 11) say that the terms vocabulary,lexis, and lexicon are synonymous. In addition, Richards and Schmidt (2002:580) state that vocabulary is a set of lexeme, including single words,compound words, and idioms.
Hornby stated that vocabulary is the total number of words in a language; all the wordsknown to a person or used in a particular book, subject, etc; a list of wordswith their meaning, especially one that accompanies a textbook (1995: 1331). Those definitions show that vocabulary is the first element thatthe English learners should learn in order to master English well besides theother English components and skills.
The vocabulary of language always changes and grows. As life becomemore complex, people devise or borrow new words to describe man’sactivities. No one knows exact numbers of words in the English vocabularytoday. From the interpretation above, we can conclude that vocabulary is thecore component of language proficiency that consists of a set of lexeme,including single words, compound words, idioms; provides much of the basisfor how well learners speak, read, listen,and write; and has similarities withthe term “lexis‟ and “lexicon‟.
In language learning, vocabulary takes place in building the languageproficiency. The objective of the vocabulary mastery is to make the studentshave a good language proficiency in the language skills. It depends on thequality and quantity of the vocabulary that they have mastered. The richer thevocabulary that can be mastered by the students, they will get the better skillthat can be reached in using language.
Talking about vocabulary, Lehr, Osborn, and Hiebertin Kamil andHiebert, (2005: 2-3) define vocabulary as knowledge of words and wordsmeaning in both oral and print language and in productive and receptiveforms. More specifically, they use it to refer to “the kind of word that studentsmust know to read increasingly demanding text with comprehension.”
Harmer (1991: 158) summarizes that knowing a word (vocabulary)means knowing about meaning, word use, word formation, and wordgrammar.
Word meaning is also governed by metaphors and idioms, e.g., theword hiss refers to the noise of snake and to someone’s threat to others. Incollocation, a word goes with each other, such as, headache, earache, and soon. In addition, style and register is applied by differentiating the language tobe used by someone either in a formal or informal context, for example hello(formal) and hi (informal).
Moreover, word formation may also create word meaning vy seeingthem on their grammatical contexts. It means that we look at how the suffixesand the prefixes work (im-, or in-) such as in imperfect and perfect,inappropriate and appropriate.
The last is about word grammar which is employed by distinguishingthe use of words based on the use of certain grammatical patterns such asnoun, verb, adjective,adverb, etc. For example:



My sister  went to Berlin last week
N                 V         Adv   Adv

Learning vocabulary is not only learning about the words or new vocabulary, but also about how to use the vocabulary into correct usage. What is meant by the meaning of a word is determined by the context where it is formed and also determined by its relation to other words. The word book sometimes means the kind of thing you read from, but it can also mean a number of other things. The example of the second context is vegetableswhich has general meaning whereas carrot is more specific.
Furthermore, Hammer (1991:151-161) says that teaching vocabulary is clearly more than just presenting new words. This may, of course have its place but there are other issues too. However, not all vocabulary can be learned through interaction and discovery techniques. Thus statement implies that learning vocabulary cannot always be done through interaction and discovery techniques for the beginners. The reason is that, in doing such as technique, the learners are demanded to have an adequate number of vocabularies. It means that the students need to memorize and recall many vocabularies that have been mastered before.
Meanwhile, according to Cameron (2001), vocabulary is not simply about learning words, but it is actually much more than that. It is also about learning chunks and finding words inside them. From the definitions above, it can be concluded that vocabulary is the knowledge of words and word meanings. It is about the words in language used to express meaning. Therefore, learning vocabulary is a crucial matter in developing their English.

Kinds of Vocabulary
According to Nation (2001), there are two kinds of vocabulary. They are perceptive and productive vocabulary. Receptive vocabulary refers to the words that native speakers and foreign learners recognize and understand but hardly ever use, it is used passively in either listening or reading. Productive vocabulary is utilized actively either in speaking or writing. One’s listening vocabulary is generally larger than his speaking vocabulary while his reading vocabulary is relatively larger than his writing vocabulary. Therefore it can be concluded that vocabulary can be presented in four units.They are reading vocabulary, listening vocabulary, writing vocabulary, and speaking vocabulary.

William D. Ramey (2009) describes each of the vocabulary as below: 
1.         Reading Vocabulary
A  person’s  reading  vocabulary  is  all  the  words  he  or  she  can recognize when reading. This is the largest type of vocabulary simply because it includes the other three.
2.         Listening Vocabulary
A person’s listening vocabulary is all  the  words  he  or  she  can recognize when listening to speech. This vocabulary is aided in size by context and tone of voice.
3.         Writing Vocabulary
A  person’s  writing  vocabulary  is  all  the  words  he  or  she  can recognize when writing. This is the largest type of vocabulary because it includes the whole words.
4.         Speaking Vocabulary
A person’s speaking vocabulary is all the words he or she can use in speech. Due to the spontaneous nature of the speaking vocabulary, words are often misused. This misuse – though slight and unintentional – may be compensated by facial expressions, tone of voice, or hand gestures. Based  on  the  quotations  above,  it  can  be  known  that there  are categories or types of vocabulary such as function word, substitute words, word, and content words.
            Harmer (1991: 159) divides vocabulary into two types:
       a). Active vocabulary refers to vocabulary that has been learned by the students. They are expected to be able to use it.
b). Passive vocabulary refers to words which students will recognize when they meet them, but they probably not are able to produce it.

Good (1959:642) adds the third kind of vocabulary. It is reserved on potential vocabulary that consist of words that the individual does not know but they interpret them form their context or by reason of his background knowledge.

Schil (1967:57) states that there are three kinds of vocabulary, namely:
       a)        Active vocabulary refers to words that we use frequently in speaking.
       b)        Reserved vocabulary refers to words that we know but rarely used in speaking.
c)        Productive vocabulary refers to words that we use vaguely but we are not sure their meaning. We never use them either in speaking or writing. We know that because we have seen them previously.

            According to basis frequency, vocabulary divided into two kinds; there are high frequency vocabulary and low frequency vocabulary.
a). High frequency vocabulary consists of words that are used very often in normal language, used in all four skill and across the full range of situation of use. High frequency vocabulary consists of 2000 word families which are about 87% of the running words in formal written text and more than 95% of the words in informal spoken text.
b). Low frequency vocabulary on the other hands, covers only small proportion of the running words of a continuous text, it means that low frequency vocabulary is rarely used in common activity of English language. This group includes well over 100.000 word families.

In relation to kinds of vocabulary, Nation (2001) states that there are four kinds of vocabulary in the text:
1) High frequency words. These words are almost 80% of the runningwords in the text;
2) Academic words. Typically, these words make up about 9% of therunning words in the text;
3) Technical words. These words make up about 5% of the runningwords in the text;
4) Low frequency words. These are the words of moderate frequency thatdid not manage to get into the high frequency list. They make up over5% of the words in an academic text.