Sabtu, 12 Januari 2019

KECEMASAN BERTANDING

Perlu dikemukakan bahwa kecemasan dapat diinterpretasikan dalam dua cara, yaitu kecemasan yang dirasakan oleh atlet dalam waktu tertentu, misalnya menjelang pertandingan (State Anxiety), atau kecemasan yang dirasakan karena atlet tergolong pencemas (Trait Anxiety). (Husdarta, 2010 : 80)
Terkait dengan olahraga, kecemasan seringkali dialami oleh atlet ketika atlet akan menghadapi suatu pertandingan. Pertandingan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perlombaan dalam olahraga yang menghadapkan dua pemain untuk bertanding, sedangkan bertanding adalah seorang lawan seorang. Pertandingan dalam istilah Inggrisnya, disebut dengan competition yang kemudian diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kompetisi. Chaplin (2006) mendefinisikan competition adalah saling mengatasi dan berjuang antara dua individu atau antara beberapa kelompok untuk memperebutkan objek yang sama.
Stress dan kecemasan dapat timbul kapan saja. Hampir setiap orang mengalami kecemasan. Begitu pula seorang atlet. Hanya kadar kecemasan yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan kepekaan dan daya toleransi seseorang terhadap sesuatu yang mungkin timbul atau menyebabkan cemas/tegang. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang mempunyai ambang keterangan (stress) tersendiri yang berbeda pula pada situasi lain.
Situasi tegang/cemas yang melewati ambang stress akan menyebabkan hal-hal yang tidak atau kurang menguntungkan bagi atlet yang bersangkutan. Dalam kegiatan olahraga terutama olahraga kompetitif ketegangan akan muncul dan selalu menghantui baik para atlet maupun official, ketegangan ini bisa muncul sebelum pertandingan atau selama pertandingan, pada gilirannya ketegangan itu akan mengganggu penampilan mereka.
Dalam menghadapi pertandingan, wajar saja kalau atlet menjadi tegang, bimbang, takut, cemas, terutama kalau menghadapi lawan yang lebih kuat atau seimbang, dan kalau situasinya mencekam. Ketakutan pada atlet umumnya dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori (Singgih, 1996 : 62):
a.       Takut gagal dalam pertandingan.
b.      Takut akan akibat sosial atas mutu prestasi mereka
c.       Takut kalau cedera atau mencederai lawan.
d.      Takut fisiknya tidak mampu menyelesaikan tugasnya/pertandingan dengan baik.
e.       Ada pula atlet yang takut menang.

Hasil-hasil penelitian cenderung menunjukkan bahwa atlet paling takut pada akibat sosial yang akan mereka peroleh atas mutu prestasi mereka. Misalnya takut gagal memenuhi harapan pelatih, KONI, pemerintah, takut dicemoh, dikritik, dikecam masyarakat.
Sampi batas tertentu, seorang atlet wajar memiliki rasa khawatir akan kalah dan menghadapi lawannya. Karena kekhwatiran ini justru dapat meningkatkan kewaspadaan atlet dalam menghadapi lawan. Atlet akan bertindak lebih berhati-hati, tidak terburu-buru dan bersikap waspada untuk mengantisipasi serangan lawan. Tetapi apabila atlet mengalami kekhwatiran secara berlebihan, ia dapat menjadi ekstra berhati-hati, takut berbuat salah, tidak berani membuat keputusan dan terlalu bersikap menunggu.
Kecemasan yang berlebihan pada atlet dapat menimbulkan gangguan dalam perasaan yang kurang menyenangkan, sehingga kondisi psikofisik atlet berada di dalam keadaan yang kurang seimbang. Akibatnya, atlet terpaksa memfokuskan energi psikofisiknya untuk mengembalikan kondisinya ke keadaan seimbang. Sehingga konsentrasi atlet untuk menghadapi lawan menjadi kurang (Martens, 1987) (Singgih D. G, 1996 : 40).
Kecemasan memperingatkan ancaman cidera pada tubuh, rasa takut keputusasaan, kemungkinan hukuman, atau frustasi dari kebutuhan sosial atau tubuh, perpisahan dari orang yang dicintai, gangguan pada keberhasilan atau status seseorang.
Bagi seorang atlet perorangan, pertandingan atau kompetisi olahraga merupakan situasi yang membangkitkan kecenderungan kompetitif, yaitu motif keberhasilan olahraga. Di lain pihak, juga dibangkitkan motifnya untuk menghindari kegagalan yang dicerminkan melalui rasa cemasnya menghadapi pertandingan atau kecemasan bertanding. Dua motif ini dimiliki setiap orang dengan kekuatan berbeda, masing-masig berdiri sendiri dan intensitasnya tidak saling bergantung.  Oleh karena itu, olahraga prestasi tidak terlepas dari kegiatan kompetitif, persepsi atlet terhadap suatu pertandingan dan kecemasan bertanding atlet yang diduga ikut berperan mengarahkan penampilannya dalam pertandingan, persepsi atlet dalam suatu pertandingan diperkirakan menunjang performance atlet saat bertanding, sedangkan kecemasan bertanding dalam intensitasnya tertentu diduga dapat menghambat prestasinya.
Cox (2002) mengungkapkan bahwa kecemasan menghadapi pertandingan merupakan keadaan distress yang dialami oleh seorang atlet, yaitu sebagai suatu kondisi emosi negatif yang meningkat sejalan dengan bagaimana seseorang atlet menginterpretasi dan menilai situasi pertandingan. Gunarsa (1996) menjelaskan bahwa persepsi atau tanggapan atlet dalam menilai situasi dan kondisi pada waktu menghadapi pertandingan, baik jauh sebelum pertandingan atau mendekati pertandingan akan menimbulkan reaksi yang berbeda. Apabila atlet menganggap situasi dan kondisi pertandingan tersebut sebagai suatu yang mengancam, maka atlet tersebut akan merasa tegang (stress) dan mengalami kecemasan.
Amir (2004) menjelaskan bahwa kecemasan yang timbul saat akan menghadapi pertandingan disebabkan karena atlet banyak memikirkan akibat-akibat yang akan diterimanya apabila mengalami kegagalan atau kalah dalam pertandingan. Kecemasan juga muncul akibat memikirkan hal-hal yang tidak dikehendaki akan terjadi, meliputi atlet tampil buruk, lawannya dipandang demikian superior dan atlet mengalami kekalahan (Satiadarma, 2000). Rasa cemas yang muncul dalam menghadapi pertandingan ini dikenal dengan kecemasan bertanding (Sudradjat, 1995).
Sementara itu, Gunarsa (1996 : 63) menyimpulkan hubungan kecemasan bertanding dalam hubungannya dengan pertandingan sebagai berikut:
a.       Sebelum pertandingan dimulai, kecemasan akan naik yang disebabkan oleh bayangan berat tugas atau pertandingan yang akan dihadapi.
b.      Selama pertandingan berlangsung, tingkat kecemasan biasanya mulai menurun.
c.       Mendekati akhir pertandingan, tingkat kecemasan biasanya akan naik lagi terutama bila skor pertandingan berimbang.
Berdasarkan uaraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan bertanding merupakan reaksi emosi negatif atlet terhadap keadaan tegang dalam menilai situasi pertandingan, yang ditandai dengan perasaan khawatir, was-was, dan disertai peningkatan gugahan sistem faal tubuh, sehingga menyebabkan atlet merasa tidak berdaya dan mengalami kelelahan karena senantiasa berada dalam keadaan yang dipersepsi mengancam.

A.    Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Bertanding
Sumber anxiety bermacam-macam seperti: tuntunan sosial yang berlebihan dan tidak atau belum dapat dipenuhi oleh individu yang bersangkutan, standar prestasi individu yang terlalu tinggi dengan kemampuan yang dimiliknya seperti misalnya kecenderungan perfeksionis, perasaan rendah diri pada individu yang bersangkutan, kurang-siapan individu sendiri untuk menghadapi situasi yang ada, pola perpikir dan persepsi yang negatif terhadap situasi yang ada ataupun terhadap diri sendiri. (Singgih D. G, 1996 : 41)
Perasaan cemas disebabkan karena adanya ketegangan pribadi yang terus menerus, akibat konflik dalam diri orang tersebut yang juga terus menerus. Orang cemas tidak dapat mengatasi konfliknya, sehingga ketegangan tidak kunjung reda.
Menurut sarwono, kecemasan dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu : a) faktor dari luar, yaitu ancaman bahaya yang terus menerus dialami seseorang, tanpa orang tersebut dapat berbuat apa-apa, b) faktor dari dalam diri individu, yaitu kecemasan yang disebabkan dari dalam diri individu sendiri, misalnya perbedaan yang terlalu jauh antara cita-cita atau keinginan dengan kemampuan yang dimiliki.
Perlu ditelaah terlebih dahulu, apakah pelatih atau pembina sendiri tidak menuntut secara brlebihan terhadap atlet tanpa memberikan dukungan kondisi dan pra-kondisi yang memadai. Karena tuntutan yang terlalu tinggi tanpa diimbangi oleh dukungan kondisi yang memadai akan mudah menimbulkan anxity pada atlet (Singgih D. G, 1996 : 42)
Di samping itu, apakah pelatih tidak bersikap terlalu khawatir akan atletnya. Misalnya saja dalam cabang olahraga Taekwondo, sering terjadi pelatih merasa khawatir secara berlebihan akan kemungkinan cedera yang dapat menimpa atletnya. Padahal di dalam olahraga kontak fisik seperti Taekwondo resiko cedera merupakan sesuatu yang memang sudah diperhitungkan.
Sikap pelatih yang khawatir secara berlebihan akan atletnya dapat mempengaruhi skap atlet. Akibatnya atlet menjadi takut cedera secara berlebihan, ia menjadi gentar untuk menyerang lawan karena takut lawan menendang balik (counter attack), dan lebih cenderung bertahan daripada berusaha untuk menyerang dan merebut angka.
Menurut Dadang Hawari (1997 : 62), gejala kecemasan baik yang sifatnya akut maupun kronik merupakan komponen utama bagi hampir  semua gangguan psikiatrik. Sebagian dari komponen kecemasan itu menjelma dalam bentuk gangguan panik.
Menurut Maramis (1980 : 258-277), kecemasan tidak terikat pada suatu benda atau keadaan akan tetapi mengambang bebas. Bila kecemasan hebat sekali munkin terjadi panik. Maramis membagai dua komponen kecemasan antara lain : 1) komponen somatik berupa nafas sesak, dada tertekan, kepala enteng seperti mengambang, linu-linu, keringat dingin. Semacam gejala lain mungkin mengenai motorik, pencernaan, pernafasan, atau susunan syaraf pusat. 2) komponen psikologis mungkin timbul sebagai was-was, khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, prihatin dengan pikiran orang mengenai dirinya. Penderita tegang terus menerus dan tidak bisa berperilaku santai, pemikirannya penuh tentang kehwatiran kadang-kadang bicarnya cepat, tetapi terputus-putus. Mengenai ancaman internal dan eksternal dengan represi sederhana kecemasan belum terikat atau terawasi oleh pembelaan ego.

B.     Ciri-ciri Kecemasan Bertanding
Gejala anxiety bermacam-macam bentuk dan kompleksitasnya, namun biasanya cukup mudah dikenali. Seseorang yang mengalami anxiety cenderung terus menerus merasa khawatir akan keadaan yang buruk yang akan menimpa dirinya atau diri orang lain yang dikenalnya dengan baik.
Biasanya, seseorang yang mengalami anxiety cenderung tidak sabar, mudah tersinggung, sering mengeluh, sulit berkonsentrasi, dan mudah terganggu tidurnya atau mengalami kesulitan untuk tidur.
Penderita anxiety sering mengalami gejala-gejala seperti : berkerngat berlebihan (walaupun udara tidak panas dan bukan setelah olahraga), jantung berdegup ekstra cepat atau terlalu keras, dingin pada tangan atau kaki, mengalami gangguan pencernaan, merasa mulut kering, merasa tenggorokan kering, tampak pucat, sering buang air kecil melebihi batas kewajaran, dan lain-lain. (Singgih, D. G, 1996 : 40).
Mereka juga sering mengeluh sakit pada persendian, kaku otot, cepat merasa lelah, tidak mampu relaks, sering terkejut, dan adakalanya disertai gerakan-gerakan wajah atau anggota tubuh dengan intensitas dan frekuensi berlebihan, misalnya : pada saat duduk terus-menerus menggoyangkan kaki, meregang-regangkan leher, mengernyitkan dahi, dan lain-lain.

Menurut Krol (1978), ada lima faktor dasar respon kecemasan prekompetitif yaitu a) Keluhan somatic, yaitu meningkatnya aktifitas fisiologis berhubngan dengan situasi yang mengundang stress, seperti kompetisi pertandingan, keluhan somatic : perut mulas, gemetar, b) Ketakutan bila gagal, cemas muncul bila penilaian subjektif atlet berakhir dengan persepsi adanya kemungkinan terjadi kegagalan, c) Perasaan tidak mampu, ciri perasaan tidak mampu adalah perasaan atlet bahwa ada yang salah dari dirinya, d) Kehilangan kontrol, cirinya adalah tidak sedang mengontrol apa yang sedang terjadi (seolah dikontrol oleh faktor eksternal seperti keberuntungan), e) Perasaan bersalah, pikiran bersalah berhubungan dengan moralitas dan agresifitas, reaksi dan pikiran bersalah adalah bermain kotor, melukai lawan dan mengumpat.


DAFTAR PUSTAKA

Cox, R.H. 2002. Sport Psychology: Concepts and Applications. New York: Mc Graw-Hill             Companies, Inc

Davies, D. 1989. Psychological Factor in Competitive Sport. Philadelphia: Falmer Press.

Gunarsa, S.D. 1986. Psikologi Olah Raga. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

................1996. Psikologi Olah Raga:Teori dan Praktek. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

...............2000. Psikologi Olahraga Dan Penerapannya Untuk Bulutangkis. Jakarta: UPT Penerbitan Universitas Tarumanagara,

Hardy, L, Jones, G, Gould, D. 1999. Understanding Psychological Preparation for Sport   :Ttheory and Practice of Elite Performers. New York: John Wiley & Sons, Inc

Husdarta. _____. Psikologi Olahraga. Bandung : Alfabeta.

Maksum, A. 2007. Psikologi Olahraga, Teori dan Aplikasi. FIK Unesa

Satiadarma, M.P. 2000. Dasar-dasar Psikologi Olahraga. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Singgih D. Gunarsa dkk. 1996. Psikologi Olahraga Teori dan Praktek. Jakarta : PT. BPK.             Gunung Mulia.

Singgih Gunarsa dkk. 1989. Psikologi Olahraga. Jakarta : Gunung Mulia.

Singer, R.N., Hausenblas, H.A., Janelle, C.M. 2001. Handbook of Sport Psychology. New             York : John Wiley & Sons, Inc.

Wann, L.D. 1997. Sport Psychology. New Jersey: Murray State University.

Williams, J.M. 1994. Applied Sport Psychology: Personal Growth to Peak Performance.    California: Mayfield Publishing Company.

1 komentar:

  1. According to Stanford Medical, It's really the ONLY reason this country's women live 10 years more and weigh 42 lbs less than we do.

    (And realistically, it is not related to genetics or some secret exercise and really, EVERYTHING about "HOW" they eat.)

    P.S, What I said is "HOW", and not "what"...

    TAP on this link to uncover if this short test can help you unlock your real weight loss possibility

    BalasHapus