Rabu, 05 Agustus 2020

1.      Pengertian

Token economy adalah pemberian satu kepingan (atau suatu tanda, satu isyarat) sesegera mungkin setiap kali setiap perilaku sasaran muncul. Kepingan-kepingan ini nantinya dapat ditukar dengan benda atau aktivitas pengukuh yang diinginkan klien. Selanjutnya menurut Reid (1999), token economy adalah suatu bentuk reinforcement positif dimana klien menerima suatu token ketika mereka memperlihatkan perilaku yang diinginkan. Setelah klien mengakumulasikan token dalam jumlah tertentu, mereka dapat menukarkannya dengan reinforcer. Reinforcer itu sendiri sesungguhnya adalah stimulus yang dapat meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respon tertentu. Rujukan yang menjadi dasar praktikan menggunakan intervensi token economy sejalan dengan penelitian Syafrida (2016) dalam JP3SDM Vol.4 No.1 dengan judul Efektifitas Modifikasi Perilaku untuk Mengatasi Enuresis pada Anak. Penelitian Syafrida (2016) mengatakan bahwa teknik token economy dilakukan dengan memberikan stempel bila individu dapat melakukan suatu tugas dengan baik dan poin yang dikumpulkan nantinya dapat ditukarkan dengan backup reinforcer. Penelitian Syafrida (2016) menggunakan teknik intervensi token economy dengan metode eksperimen kasus tunggal (single case experimental design) untuk menangani seorang klien yang berusia 8 tahun 9 bulan, serta mengalami enuresis. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut yakni multiple baseline design.

Selanjutnya penelitian Syafrida (2016) mengatakan bahwa kondisi lain dari reinforcer, seperti uang, bertahan dan dapat diakumulasikan disebut token. Sebuah program dimana kelompok individu bisa mendapat tanda (token) untuk berbagai perilaku yang diinginkan, dan dapat menukar tanda itu dengan backup reinforcer. Terdapat dua keuntungan utama ketika menggunakan token reinforcer (Syafrida, 2016). Pertama, mereka dapat diberikan dengan segera setelah satu perilaku diinginkan terjadi dan menguangkannya pada suatu waktu untuk backup reinforcer. Dengan begitu dapat digunakan untuk “jembatan” antara delay respon target dan backup reinforcer, terutama penting ketika tidak praktis atau mustahil untuk mengirim backup reinforcer dengan segera setelah perilaku. Kedua, tanda membuat lebih mudah untuk mengelola konsisten dan efektif reinforcer ketika berhubungan dengan sekelompok individu (Syafrida, 2016).

Berdasarkan penjelasan tentang Token economy yang telah dikemukakan sebelumnya, praktikan menggunakan intervensi Token economy diperkuat dengan hasil dari penelitian Syafrida (2016) mengungkapkan bahwa intervensi ini dianggap tepat untuk mengubah perilaku yang tidak diharapkan dengan menghilangkan hubungan sebab akibat dari suatu stimulus dengan respon, dimana respon yang muncul merupakan bentuk perilaku yang tidak diharapkan terhadap suatu stimulus tertentu, dalam penelitian tersebut berupa perilaku enuresis klien. Sementara itu juga karakteristik klien yang ditangani oleh praktikan dan peneliti sebelumnya kurang lebih sama yaitu klien anak serta memiliki permasalahan dengan kebiasaan yang kurang tepat.

 

2.      Cara Mengimplementasikan Teknik Token Economy

Menurut Reid (1999), sebelum menerapkan token economy, perlu dirancang atau disiapkan langkah-langkahnya yaitu :

a.       Mengidentifikasi perilaku-perilaku yang perlu diubah

Perilaku yang perlu dirubah tersebut disebutkan secara spesifik dan mendeskripsikan standar untuk kinerja yang dianggap memuaskan. Selain itu juga perlu untuk menghitung jarak pendek dan jarak panjang perilaku sasaran yang ingin dicapai dari masalah perilaku yang ditemukan.

 

b.      Membuat dan men-display aturan

Semua partisipan dipastikan untuk memahami aturan untuk memberikan token, kuatitas token yang dianugerahkan untuk perilaku-perilaku yang berbeda, dan kapan klien dapat menukarkan token untuk mendapatkan reward. Selanjutnya, konselor perlu memilih apa yang digunakan sebagai token. Token seharusnya aman, kuat, mudah diberikan, dan sulit untuk direplikasi. Kemudian konselor juga perlu menentukan backup reinforcer, atau benda-benda reward yang dapat diterima partisipan ketika mereka menukarkan tokennya. Backup reinforcer memiliki signifikansi atau daya tarik tertentu bagi klien.

 

c.       Menetapkan "harga" dengan memilih berapa banyak token yang harus dimiliki partisipan sebelum menukarkannya dengan backup reinforce.

Sebelum menerapkan sistemnya, penanggung jawab seharusnya melakukan uji lapangan terhadap sistemnya, memastikan bahwa harganya akurat: Jika seorang    partisipan   tidak   mampu     menampilkan cukup token untuk melakukan pembelian, mereka akan kehilangan motivasi untuk terlibat dalam perilaku yang diinginkan (Reid, 1999). Praktik yang baik untuk menyusun suatu menu reward dengan nilai-nilai token yang sangat beragam, yang disyaratkan untuk berbagai opsi reward.

 

3.      Tujuan

Tujuan utama dari token economy, yaitu untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan. Token economy sebagai sarana untuk mengajarkan perilaku yang sesuai dan keterampilan- keterampilan sosial yang dapat digunakan dalam kehidupan. Token economy juga dapat digunakan secara individu atau secara berkelompok (Susanto, 2008)

 

4.      Psikoedukasi

Psikoedukasi adalah suatu bentuk pendidikan ataupun pelatihan terhadap seseorang dengan gangguan psikiatri yang bertujuan untuk treatment dan rehabilitasi. Menurut Goldman (Bordbar & Faridhosseini, 2010) sasaran dari psikoedukasi adalah untuk mengembangkan dan meningkatkan penerimaan pasien terhadap penyakit ataupun gangguan yang dialami, meningkatkan partisipasi pasien dalam terapi, dan coping mechanism ketika pasien menghadapi masalah yang berkaitan dengan penyakit tersebut.

Psikoedukasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman atau keterampilan sebagai usaha pengenalan serta pencegahan atau meluasnya gangguan psikologis di kelompok masyarakat. Untuk itu, psikoedukasi diharapkan mampu meningkatkan pemahaman bukan hanya bagi pasien, tetapi juga lingkungan dan terutama keluarga.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Adiyanti. MG, M.S. (2003). Perilaku Anak Usia Dini: Kasus dan Pemecahannya. Yogyakarta: Kanisius.

Candrasari, et al. (2017). Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Bahasa Anak. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Desmita, (2015). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Diyantini,N.K, Yanti,  N.  L.  P  .  E.,  &  Lismawati,  S.  M.  (2015).  Hubungan Karakteristik dan  Kepribadian  Anak  dengan  Kejadian  Bullying pada Siswa Kelas V di SD “X” di Kabupaten Badung. COPING (Community in Nursing Publishing.

Lestari, K.W. (2011). Konsep Matematika Anak Usia Dini. Direktorat Pembinaan PAUD: Jakarta.

Martin, G. & Pear, J. (2003). Behavior Modification. What It Is and How To Do It. (7th edition). New Jersey: Pearson Education International.

Meggitt, C. (2013). Memahami Perkembangan Anak. Jakarta: PT. Indeks.

Monks, dkk. (1999). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah mada University Press.

Poltekkes Depkes Jakarta, Tim Penulis. (2010). Kesehatan Remaja. Jakarta: Salemba Medika.

Reid, R. (1999). Attention deficit hyperactivity disorder. Effective methods for the classroom. Focus on Exceptional Children (32) 4.

Susanto, E. (2008). Ekonomi Token, Tips Mendidik Anak Kreatif. Diunduh dari http://eko 13.wordpress.com/2008/05/18/ekonomi-token-tips-mendidikanak- kreatif/ Diakses pada tanggal 14 Desember 2019 pukul 11.39.

Soetjiningsih. (2012). Perkembangan Anak dan Permasalahannya dalam Buku Ajar Ilmu Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta: Sagungseto.

Syafrida, Evi. (2016). Efektifitas Modifikasi Perilaku untuk Mengatasi Enuresis pada Anak. JP3SDM (4) 1.

Yusuf, S. (2004). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

 

1.      Autism Spektrum Disorder

Gangguan Spektrum Autisme (Autism Spectrum Disorder, ASD) adalah kumpulan kondisi yang diklasifikasikan sebagai gangguan neurodevelopmental pada DSM-5 (APA, 2013). Untuk memenuhi diagnosis gangguan spektrum autisme, individu harus menunjukkan dua tipe gejala, yaitu :

 

·         Defisit pada ranah komunikasi dan interaksi sosial.

·         Perilaku, minat, atau aktivitas yang terbatas dan repetitif

 

Presentasi klinis dapat bervariasi bagi tiap individu, yaitu dari ringan sampai parah dan dipersulit oleh terjadinya komorbiditas, termasuk kejang, gangguan pencernaan, gangguan pendengaran, dan gangguan kejiwaan. Gangguan ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Gangguan Spektrum Autisme (ASD) merupakan istilah yang pertama kali digunakan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders versi 5 (DSM-5) yang dirilis Mei 2013. Diagnosis ini meliputi beberapa diagnosis DSM-IV TR, yaitu gangguan autistik, gangguan asperger, gangguan disintegratif masa kanak-kanak, dan PDD-NOS. Pada kriteria diagnostik gangguan spektrum autisme pada DSM-5, komunikasi sosial dan interaksi sosial tidak lagi terpisah seperti pada DSM-IV TR, tetapi tergabung dalam satu kategori.

 

2.      Penyebab

a.       Genetika

Hasil studi keluarga dan kembar menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam etiologi autisme dan gangguan perkembangan pervasif lainnya. Penelitian telah secara konsisten menemukan bahwa  prevalensi autisme pada saudara kandung dari anak-anak autis adalah sekitar 15 sampai 30 kali lebih besar dari tingkat pada populasi umum. Tampaknya tidak ada gen tunggal yang dapat menjelaskan autisme. Sebaliknya, tampaknya ada beberapa gen yang terlibat, yang masing- masing merupakan faktor risiko untuk komponen dari gangguan spektrum autisme.

Kembar monozigot menunjukkan tingkat kesesuaian yang lebih tinggi untuk ASD daripada kembar dizigot, tetapi studi individu bervariasi dalam derajat dilaporkan konkordansi, yang berkisar dari 36% - 92%. Risiko ASD untuk masing-masing anak juga lebih tinggi jika kakak memiliki ASD, terutama jika ada beberapa saudara yang lebih tua dengan gangguan tersebut.

 

b.      Pengobatan

Tujuan pengobatan adalah untuk meningkatkan kemandirian fungsional dan kualitas hidup melalui; (i) pembelajaran dan pengembangan, meningkatkan keterampilan sosial, dan meningkatkan komunikasi; (ii) penurunan kecacatan dan komorbiditas; (iii) bantuan untuk keluarga.

 

c.       Terapi Non Farmakologis

                             ·   Intervensi oleh praktikan, termasuk intervensi berbasis Applied Behavioral Analysis (ABA) bisa menurunkan beberapa gejala.

·   Intervensi oleh orang tua dapat mengurangi beberapa gejala ASD.

·   Intervensi berbasis permainan dan interaksi bisa memperbaiki rentang gejala

·   Terapi pijat mungkin meningkatkan komunikasi dan mengurangi keparahan gejala pada anak-anak dengan ASD (level 2 [mid-level] evidence).

·   Terapi musik dapat meningkatkan kemampuan komunikasi pada anak dengan ASD (level 2 [mid-level] evidence).

·   Terapi vokasional dapat meningkatkan keberhasilan kerja (level 2 [mid-level] evidence).

·   Kelas prasekolah khusus mengintegrasikan anak-anak dengan dan tanpa ASD dapat memperbaiki beberapa gejala (level 2 [mid-level] evidence).

·   Pengobatan hiperbarik (mungkin meningkatkan fungsi untuk anak autis (level 2 [mid-level] evidence), tetapi luaran lebih 4 minggu belum ditegakkan.

·   Terapi non-farmakologis tanpa bukti yang mendukung khasiat termasuk akupunktur, selimut tertimbang, biofeedback elektroensefalografik, dan pelatihan integrasi pendengaran.

 

 



DAFTAR PUSTAKA

Association, A.P. (2013). Diagnostic and statustical manual of mental disorders. America

Erford, B. T. (2017). 40 TEKNIK Yang Harus Diketahui Setiap Konselor edisi kedua. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih bahasa: Istiwidayati & Soedjarwo. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Maramis,W.F & Maramis, A.A. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa (Edisi Kedua). Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR, Airlangga University Press

Purwanta, E. (2015). Modifikasi Perilaku Alternatif Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Widyorini, E.,Harjanta, G & Sumijati, S.(2014). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Semarang : Universitas