SEJARAH PENDIDIKAN PESANTREN
Pendahuluan
Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini.
Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena “modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini pun peran itu masih tetap dirasakan.
Di tengah gagalnya sebagian sistem pendidikan dewasa ini, ada baiknya kita menyimak kembali sistem pendidikan pesantren. Keintegrasian antara ilmu etika dan pengetahuan yang pernah dicanangkan pesantren perlu mendapat perhatian, sehingga -paling tidak- mengurangi apa yang menjadi trendi di tengah-tengah pelajar dan pemuda kita: TAWURAN.
Pondok pesantren Dahulu
Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.
Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel.
Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran tertentu dari para santri, mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.
Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Ha litu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar meneybut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”.
Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan sang Kyai bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya sang Kyai menganjurkan santri tersebut untuk nyantri di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang Kyai.
Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian Jawa Tengah dan Timur.
Pesantren dengan metode dan keadaan di atas kini telah mengalami reformasi, meski beberapa materi, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun keadaan fisik bangunan dan masa studi telah terjadi pembenahan. Contoh bentuk terakhir ini terdapat pada Pondok Pesantren Tebu Ireng dan Tegalrejo.[1]
Memahami Watak Tradisionalisme Pesantren
Persoalan ini tentunya harus dikembalikan pada proporsinya yang pas. Sebab, watak tradisional yang inherent di tubuh pesantren seringkali masih disalahpahami, dan ditempatkan bukan pada proporsinya yang tepat. Tradisionalisme yang melekat dan terbangun lama di kalangan pesantren, sejak awal minimal ditampilkan oleh dua wajah yang berbeda. Oleh karena itu, penyebutan tradisional tentu harus ditujukan pada aspek yang spesifik, tidak asal gebuk rata. Tradisionalisme pesantren di satu sisi melekat pada aras keagamaan (baca: Islam). Bentuk tradisionalisme ini merupakan satu sistem ajaran yang berakar dari perkawinan konspiratif antara teologi skolastisisme As'ariyah dan Maturidiyah dengan ajaran-ajaran tasawuf (mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai corak ke-Islam-an di Indonesia (Abdurrahman Wahid, 1997). Selaras dengan pemahaman ini, terminologi yang akarnya ditemukan dari kata 'adat (bahasa Arab) ini, merupakan praktek keagamaan lokal yang diwariskan umat Islam Indonesia generasi pertama. Di sini Islam berbaur dengan sistem adat dan kebiasaan lokal, sehingga melahirkan watak ke-Islaman yang khas Indonesia (Martin van Bruinessen, 1997, 140).
Sementara tradisional dalam pengertian lainnya, bisa dilihat dari sisi metodologi pengajaran (pendidikan) yang diterapkan dunia pesantren (baca: salafiyah). Penyebutan tradisional dalam konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang monologis, bukannya dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang Kiyai kepada santrinya dan metodologi pengajarannya masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan dan sejenisnya. Lepas dari persoalan itu, karakter tradisional yang melekat dalam dunia pesantren (sesungguhnya) tidak selamanya buruk. Asumsi ini sebetulnya relevan dengan prinsip ushul fiqh, "al-Muhafadhah 'ala al- Qodimi as-Shalih wa al-Akhdu bi al-Jadid al-Ashlah" (memelihara [mempertahankan] tradisi yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru (modernitas) yang lebih baik). Artinya, tradisionalisme dalam konteks didaktik-metodik yang telah lama diterapkan di pesantren, tidak perlu ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu disinergikan dengan modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat secara praktis-pragmatis semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan tekhnologi. Oleh Karena itu, mensinergikan tradisionalisme pesantren dengan modernitas dalam konteks praktek pengajaran, merupakan pilihan sejarah (historical choice) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan semakin sulit bertahan di tengah era informasi dan pentas globalisasi yang kian kompetitif.
Di antara problem yang sering dijumpai dalam praktek pendidikan di pesantren, terutama yang masih bercorak salaf, adalah persoalan efektivitas metodologi pengajaran. Di sinilah perlunya dilakukan penyelarasan tradisi dan modernitas di tengah dunia pesantren. Dalam hal ini, memang diperlukan adanya pembaharuan di pesantren, terutama mengenai metodologi pengajarannya, namun pembaharuan ini tidak harus meninggalkan praktek pengajaran lama (tradisional), karena memang di sinilah karakter khas dan indegenousitas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Justru yang perlu dilakukan adalah, adanya konvigurasi sistemik dan kultural antara metodologi tradisional dengan metodologi konvensional-modern. Dengan demikian, penerapan metodologi pengajaran modern dan pembangunan kultur belajar yang dialogis-emansipatoris, bisa seirama dengan watak asli dari kultur pesantren.[2]
Keunggulan Pendidikan Pesantren Masa Kini
Siapa tak yang pernah dengar dan tak kenal nama lembaga Pendidikan Pondok Pesantren, dibelantara tanah air lembaga ini muncul sejak awal Islam masuk, dan telah mengadopsi sistem pendidikan keagamaan secara integral berurat akar, mendarah daging, plus perannya tidak bisa diabaikan begitu saja dalam perjalanan sejarah bangsa, pesantren tidak hanya telah mampu melahirkan sosok tokoh-tokoh nasronal yang berpengaruh namun juga sistem pendidikannya juga lelah mampu membentuk watak tersendiri sebagai bangsa yang mayoritas beragama Islam dan bangsa yang akomodattf serta penuh tenggang rasa.
Semua itu terbentuk dari lahirnya pendidikan di pesantren, tak heran dalam kiprah pendidikan, kontribusi pesantren dalam menoreh sejarah pendidikan di Indonesia terus tumbuh, mencuat dan bertembang mengikuti tuntutan dan kebutuhan zaman.
Sehingga pada perkembangan selanjutnya pondok pesantren mengalami dinamika pendidikan yang luar biasa, yakni mengacu kepada paradigma baru yang bertumpu pada 3 tungku:
1. Kemandirian (autonomy)
2. Akuntabilitas (accountability)
3. Jaminan Kualitas (quality assurance)
Pemahaman akan ‘Kemandirian’ pesantren diarahkan pada pemberian otonomi yang lebih besar tidak hanya pada sisi pengelolaan (manajemen} tetapi juga dalam perancangan kurikulum, pengembangan program, kebebasan akademik serta pembinaan semua sumber daya yang ada.
Pengembangan akuntabilitas diarahkan pada peningkatan kemampuan lembaga pendidikan dalam mencapai tujuan yang direncanakan sorta memberikan hasil yang maksimal bagi masyarakat dan bangsa.
Dan pada akhirnya jaminan kualitas diarahkan pada peningkatan relevant yang lebih tegas antara ‘out put’ yang dihasilkan lembaga pendidikan dengan kebutuhan masyarakat baik dalam dunia kerja maupun pengembangan dan pemberdayaan anggota masyarakat.
Perubahan kurikulum pendidikan pesantren dalam konteks ini terpilah antara sisi kontsitusi yang sudah menjadi bagian dari Sisdiknas dan sisi kurikulum struktur mata pelajaran di pesantren yang sudah bercampuar baur dengan kurikulum standar nasional, maka visi yang harus dikembangkan adalah menjadikan pesantren sebagai sebuah si sitem pendidikan yang telah mampu melahirkan lulusan yang menguasai ilmu-ilmu ke-Islaman secara mendalam sekaligus siap pakai dalam dunia kerja, sehingga penataan struktur kurikulum pesantren yang representatif dengan kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi.
Pondok pesantren dalam melakukan penataan struktur kurikulum biasanya berkaitan erat dengan ciri khas keilmuan pesantrennya, di samping kondisi lingkungan masyarakatnya seperti letak geogrofis, sosio koltur, sumber-sumber perekonomian dan unsur-unsur lainnya. Secara umum struktur kurikulum di pesantren dipilah ke dalam dua bidang kompetensi yaitu;
Penguasaan bidang keilmuan keislaman tertentu secara mendalam
Pengusaaan ketrampilan hidup (life skull) aplikasinya ke dunia kerja
Tak heran jika pondok pesantren menampilkan dan menawarkan gaya baru dengan program-program keunggulan bidang kejuruan keterampilan antara lain mendidik santri yang ahli ibadah, berilmu, berakhlakul karimah, menguasai keterampilan hidup (life skill) misalnya dibidang agribisnis, perbengkelan dan kewirausaan yang lain.
Pengelolaan pendidikan agribisnis di pondok pesantren sesungguhnya memiliki tujuan dan maksud:
1. Agar setiap pondok pesantren memiliki dan meningkatkan usaha ekonomi produktif sesuai dengan pontensi yang ada di samping sebagai sarana pembelajaran pendidikan keterampilan kecakapan bidup bagi santri.
2. Agar setiap pondok pesantren benar-benar menjadi lembaga yang berbasis masyarakat (society based education).
3. Mencetak santri untuk menguasai berbagai disiplin ilim sebagai bekal mengatur dan memenej kehidupan manusia.
Konsep ini sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 1991 melalui koordinasi yang melibatkan instansi terkait diantaranya Departemen Pertanian, Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Usaha-usaha untuk menumbuh kembangkan kegiatan agribisnis di pondok pesantren telah ditempuh melalui dasar hukum sebagai berikut:
A. Keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Agama No.346/91 dan No 94/1991 tentang pengembangan Agribisnis di pondok pesantren.
B Kepulusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Agama, sebagai contoh pendidikan pondok pesantren agribisnis yang sengaja di programkan dengan sistem kemandirian adalah Pondok Pesantren Darul Aufa yang terletak di Jalan Nes II Sungai Buluh Muara Bulian Kabupaten Batanghari, telah melakukan terobosan baru dimana para santri tidak hanya dididik dengan keilmuan Keislaman secara mendalam melalui sumber aslinya, yakni kitab kuning (tafaqquh fi din) namun juga pesantren ini telah pula menggunakan istilah yang di pakai oleh Nurcholis Madjid yaitu sebagai ‘Bengkel Life Skill’ yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Antara lain yang telah diprogramkan untuk santri adalah penguasaan teknologi agribisnis yang meliputi pertanian, hortikullura, palawija, perkebunan kelapa sawit, karet, tanaman buah buahan seperti jeruk dan durian, dan lain lain.
Perikanan air tawar, nila dan paten serta peternakan sapi (penggemukan dan repruduksi) dan bidang non agribsnis tersedia pembinaan keahlian bengkel motor dan las teralis, (dikhususkan bagi santriwan) sementara untuk santriwati di siapkan kegiatan pelatihan jahid dan bordir.
Dan lebih jauh pesantren ini telah pula menanamkan dan menumbuhkan semangat wirausaha di kalangan santri, antara lain santri menanam kedelai sendiri, kemudian mengolah bahan kedele tersebut menjadi tempe dan susu kedelei, hingga akhirnya di pasarkan.
Ada beberapa factor yang mendukung terlaksananya pendidikan agribisnis di Pondok Pesantren Darul Aufa tersebut berdasarkan pengamalan penulis yakni:
A. Factor internal.
Factor internal adalah hal-hal yang berada di lingkungan Pondok Pesantren Darul aufa yang dapat mempengaruhi kelangsungan agribisnis yang merupakan penentu dan penunjang keberhasilan antara lain:
l. Sumberdaya Alam (SDA), misalnya kondisi pesantren memiliki lahan luas, yang dapat dikembangkan sebagai usaha pelaksanaan pendidikan agribisnis sebagai labor praktek usaha santri disamping memiliki asset/ modal biaya operasional
2. Sumbeidaya manusia (SDM). SDM di pondok pesantren menggambarkan integritas dan keseluruhan nilai yang harus dimiliki porsenil artara lain keterampilan, pengetahuan, kemampuan untuk bekerja serta keseharan yang baik untuk bersama sama membuatnya mampu melakukan strategi penghidupan sebagai pilar penting mencapai kesuksssan. Kurangnya nilai SDM berimbas pada dimensi inti dan kehidupan miskin hidup. Para Ustaz yang notabene adalah para guru agama berpendidikan sarjana agama, sudah merupakan keuntungan spritual tersendiri, dimana memiliki akhlak terpuji, antara lain sikap qonaah, kemauan bekerja, kemauan untuk mengikuti perintah kyai, keiklasan bekerja, keinginan bekerjasama sikap toleransi dan lain-lain. Kondisi para santri pun sesungguhnya sebuah asset yang tak ternilai mulai dari segi jumlahnya, mengikat kuat dalam pola hidup kebersamaan di pesantren di bawah bimbingan kyia yang kharismatik.
B. Faktor eksternal
1. Kemitraan dengan pihak Dinas terkait
Sebuah kemitraan terbentuk manakala muncul rasa keingman yang kuat ketika membutuhkan pihak laia yang lebih berkompeten dan konsepnya ditemukan dalam bekerjasama, pendidikan di pesantren untuk biding agribisnis dan bengkel motor dan las teralis melakukan mitra dan kerjasama, dengan terutama dinas terkait antara lain: Dinas Perindakop yang selain mengucurkan dana bantuan modal juga melakukan pembinaan dan diklat bagi santri termasuk Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Perkebunan, Dinas Perikanan, Balai Pelalihan Pertanian Departemen Pertanian, juga Departemen Agama.
Dengan demikian keyakinan untuk sukses dalam melaksanakan pendidikan agribisnis di pondok pesantren tidaklah diragukan dikarenakan ditangani oleh orang orang yang memang ahli di bidang pertanian, di mana pondok pesantren memiliki petugas teknis lapangan yang memang handal di bidangnya.
Wajarlah sebagai conloh Pondok Pesantren Darul Aufa berdasarkan surat Gubernur Jambi nomor 521/283/iEkbang/tanggal 14 Juli tahun 2008 perihal penghargaan pengembangan ketahanan pangan dalam rangka HKP {Hari Krida Pertanian) ke 36 tahun 2008 terpilih dan mendapat Juara 1 (satu) Pemenang Lomba Pengembangan Kelahanan Pangan Tingkat Provinsi Jambi. Disamping itu telah diterima pula oleh Pondok Pesantren Darul Aufa predikat manajemen Orsos (Organisasi Sosial) yang badan Orsosnya adalah Yayasan Pendidkan Zulyaden terbaik dalam Provinsi Jambi Tahun 2007.
Ada kebanggaan dan perasaaan keagamaan yang menyentuh nurani tersendiri manakala kita memilki putra-putri kita untuk mengikuti pendidikan dari pesantren, seperti adanya manisfestasi pola ibadah yang tertib dengan keutamaan sholat jamaah, amalan wirid, puasa sunnah, sholat tahajjut, kebiasaan pengamalan sholat sholat sunnah seperti dhuha, hajat, witir, rawatif dan lain lain. Belum lagi sistem penerapan disiplin yang nyaris tak teraisa sedikitpun waktu santri untuk berhura hura karena gemblengan pesantren 24 jam dengan sederetan aturan yang harus dipatuhi santri, pelanggaraan berarti adalah sanksi.
Nah ketika kita mendapatkan banyak hal dan pendidikandi pondok pesantren mengapa pula kita justru meragukan potensi dan keberadaan lembaga pendidikan pondok pesantren ini? Dengan pendidikan di pondok pesantren, berarti dua dimensi kita dapatkan manfaat keilmuan, yakni dunia dan akherat.[3]
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar