Sabtu, 26 Juni 2021

A.    Kriminologi

Kriminologi berasal dari kata “crimen” (kejahatan/penjahat) dan “logos” (ilmu pengetahuan), apabila dilihat dari istilah tersebut maka kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan.[1] Kriminologi (criminology) atau ilmu kejahatan sebagai disisplin ilmu social atau non non-normative discipline yang memepelajari kejahatan dari segi social. Kriminologi disebut juga sebagai ilmu yang mempelajari manusia dalam pertentangannya dengan norma-norma social tertentu, sehingga kriminologi juga disebut sebagai sosiologi penjahat.

Teori kriminologi dimana konsep-konsepnya relavan untuk menganalisis kejahatan, penjahat, reaksi sosial terhadap kejahatan dan penjahat serta kedudukan korban kejahatan yang sering menjadi masalah sosial  di dalam masyarakat. Bahwa kondisi-kondisi sosial tertentu di dalam masyarakat dihubungkan dengan kemungkinan timbulnya kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Serta hukuman itu sendiri berfungsi untuk mencegah orang lain dari melakukan kejahatan dan untuk mencegah kriminal dari mengulangi kejahatannya.[2]

Kriminologi berusaha untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian mengenai gejala sosial di bidang kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat, atau dengan kata lain, mengapa sampai seseorang melakukan perbuatan jahatnya itu. Kriminologi lebih mengutamakan tindakan preventif oleh karena itu selalu mencari sebab-sebab timbulnya suatu kejahatan baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, hukum serta faktor alamiah seseorang, dengan demikian dapat memberikan solusi yang tepat serta hasil yang memuaskan. Kriminologi lebih banyak menyangkut masalah teori yang dapat memepengaruhi badanpemebentuk undang-undang untuk menciptakan suatu undang-undang yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat serta mempengaruhi pula hakim di dalam menjatuhkan vonis kepada terdakwa.

Kriminologi dengan cakupan kajiannya, yaitu : orang yang melakukan kejahatan, penyebab melakukan kejahatan, mencegah tindak kejahatan, dan cara-cara menyembuhkan orang yang telah melakukan kejahatan. Dari uraian pertimbangan dan dikarenakan teori-teori serta aliran-aliran yang masuk dalam kriminologi banyak maka penulis berpendapat bahwa kedudukan calon legislatif mantan narapidana korupsi dalam perspektif kriminologi yaitu, dalam teori labeling. Dikarenakan teoritis labeling berpendapat bahwa sebaiknya tidak dimulai dengan menganalisi individu dan lingkungannya melainkan menganalisis reaksi masyarakat , yaitu reaksi orang lain termasuk pejabat negara terhadap pelanggaran. Reaksi masyarakat atau asumsi masyarakat disini sangat penting dikarenakan reaksi masyarakat atau asumsi masyarakat yang seperti itu dianggap ada begitu saja dan dianggap tidak bermasalah. Hal ini bukan hanya mengabaikan bahwa orang yang tidak bersalah terkadang difitnah, tetapi juga orang yang melakukan tindakan melanggar hukum itu akan diberi label kriminal atau penjahat.

 

Ada beberapa teori dalam kriminologi antara lain:

1.      Teori Differential Association

Sutherland mengatakan bahwa semua tingkah laku itu dapat dipelajari dan mengatakan bahwa tidak ada tingkah laku kejahatan yang diturunkan dari orangtua. Dengan kata lain, pola perilaku jahat tidak diwariskan akan tetapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab.[3] Menurut Sutherland teori Differential Assosiation mempunyai kelemahan dan kekuaatan.[4] Adapun kekuatan teori Differential Assosiation bertumpu pada aspek-aspek:

a.       Teori ini relatif mampu untuk menjelaskan sebab-sebab timbulnya kejahatan akibat sosial.

b.      Teori ini mampu menjelaskan proses bagaimana seseorang belajar manjadi jahat.

c.       Teori ini berlandaskan fakta dan bersifat rasional.

Sedangkan kelamahan mendasar teori ini terletak pada aspek:

a.       Bahwa tidak semua orang atau setiap orang yang berhubungan dengan kejahatan akan meniru/memilih pola-pola kriminal. Aspek ini terbukti untuk beberapa golongan orang, seperti petugas polisi, petugas pemasyarakatan/penjara atau kriminologi yang telah berhubungan dengan tingkah laku kriminal secara intensif, nyatanya tidak menjadi penjahat.

b.      Bahwa teori ini belum membahas, menjelaskan dan tidak peduli pada karakter orang-orang yang terlibat dalam proses belajar tesebut.

c.       Bahwa teori ini tidak mampu  menjelaskan mengapa seseorang suka melanggar daripada mentaati undang-undang dan belum mampu menjelaskan kausa kejahatan yang lahir karena spontanitas.

  

2.      Teori Anomi

Anomi adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Emilie Durkheim untuk menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa Yunani “a” berarti “tanpasedangkan “nomos” berarti hukum atauperaturan”. Konsep anomi adalah menjelaskan penyimpangan tingkah laku kejahatan yang disebabkan karena kondisi ekonomi di masyarakat.

 

3.      Teori Kontrol Sosial

Teori ini meletakkan penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat atau macetnya integrasi sosial. Teori kontrol sosial berusaha menjelaskan kenakalan dikalangan para remaja kenakalan diantara para remaja dikatakan sebagai “deviasi primer”, maksudnya bahwa setiap individu yang melakukan:

a.       Deviasi secara periodik/jarang-jarang

b.      Dilakukan tanpa organisir atau tanpa melakukan dengan cara yang lihai.

c.       Si pelaku tidak memandang dirinya sebagai pelanggar pada dasarnya hal yang dilakukan itu, wajib dipandang sebagai deviasi oleh yang berwajib.

 

4.      Teori Labeling

Teori Labeling timbul pada awal tahun 1960-an dan banyak dipengaruhi aliran Chicago. Teori Labeling, merupakan cabang dari teori terdahulu. Namun, teori ini menggunakan perspektif baru dalam kajian terhadap kejahatan dan penjahat. Teori Labeling, menggunakan metode baru untuk mengetahui adanya kejahatan, dengan menggunakan self report study yaitu interview terhadap pelaku kejahatan yang tidak tertangkap/tidak diketahui polisi.

Pada dasarnya, teori labeling dikorelasikan dengan buku Crime and the Community dari Frank Tannenbaum (1938). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker (The Outsider, 1963), Kai T. Erikson(Notes on the Sociology of Deviance, 1964), Edwin Lemert (Human Deviance SocialProblem and Social Control, 1967) dan Edwin Schur (Labeling Deviant Behavioer, 1971). Dari perspektif Howard S. Becker, kajian terhadap teori label menekankan kepada dua aspek, yaitu :

a.       Menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi cap atau label.

b.      Pengaruh/efek dari label sebagai suatu konsekuensi penyimpangan tingkah laku.

 

Dengan demikian, reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku dapat menimbulkan perilaku jahat. Kemudian F.M. Lemer, terkait dengan masalah kejahatan yang dilakukan, membedakan tiga bentuk penyimpangan, yaitu :

a.       Individual deviation, dimana timbulnya penyimpangan diakibatkantekanan psikis dari dalam.

b.      Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan.

c.       Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir dalam sub-sub kultur atau sistem tingkah laku.

 

Lemert juga membedakan antara penyimpangan primer (primary deviance) dan penyimpangan sekunder (secondary deviance), yaitu :

a.       Penyimpangan primer muncul dalam konteks sosial, budaya dan yang sangat bervariasi dan hanya mempunyai efek samping bagi struktur fisik individu. Pada asasnya, penyimpangan primer tidak mengakibatkan reorganisasi simbolis pada tingkat sikap diri dan peran sosial.

b.      Penyimpangan sekunder adalah perilaku menyimpang atau peran sosial yang berdasar pada penyimpangan primer. Para ahli teori label mengemukakan bahwa penyimpangan sekunder adalah yang paling penting, karena merupakan proses interaksi antara orang yang dilabel dengan pelabel dan pendekatan ini sering disebut teori interaksi.

 

Menurut Howard S. Becker, harus dibedakan antara pelanggar hukum dengan pelaku kejahatan. Pelanggaran hukum merupakan perilaku, sedangkan kejahatan adalah reaksi kepadaorang lain terhadap perilaku itu.

Pelabelan terhadap seseorang terjadi pada  waktu ketika melakukan aksi, siapa yang melakukan dan siapa korbannya serta persepsi masyarakat terhadap konsekuensi aksinya. Apabila dijabarkan, secara gradual asumsi dasar teori labeling meliputi aspek-aspek:

a.       Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal.

b.      Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok yang bersifat dominan atau kelompok berkuasa.

c.       Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang berkuasa

d.      Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tapi karena ditetapkan demikian oleh penguasa.

e.       Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan, sehingga tidak patut jika dibuat dua kategori, yaitu jahat dan orang tidak jahat.

 

Menurut aliran ini, kejahatan terbentuk karena aturan-aturan lingkungan, sifat individualistik, serta reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Karena adanya reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku, maka dapat menimbulkan suatu perilaku yang jahat.

Bahwa pemberian sifat label, merupakan penyebab seorang menjadi jahat. Ada dua hal yang perlu diperhatikan, dalam proses pemberian label:

a.       Adanya label akan menimbulkan perhatian masyarakat terhaap orang yang diberi label. Hal ini akan menyebabkan masyarakat di sekitarnya memperhatikan terus menerus orang yang diberi label tersebut, maka hal ini menurut kami akan terbentuk attachment partial.

b.      Adanya label, mungkin akan diterima oleh individu tersebut dan berusaha menjelankan sebagaimana label yang diletakkan pada dirinya.

 

Teori labeling dari segi pandangan pemberian nama, yaitu bahwa sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian label olehmasyarakat. Pembahasan labeling, terfokuskan pada dua tema, pertama: menjelaskan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, kedua: pengaruh atau efek dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukannya. Dengan demikian, reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku juga dapat menimbulkan perilaku jahat.[5]



[1] Yesmil Anwar dan Andang, Kriminologi, cet.2, (Bandung:PT Refika Aditama, 2013), 2.

[2] Ibid., 3.

[3]Ibid., 76.

[4] Ibid., 77.

[5] J. Robert Lilly & Richard A. Ball, Teori Kriminologi Konteks & Konsekuensi, (Jakarta:KENCANA, 2015), 19.

0 komentar:

Posting Komentar