Pesona Gunung Bromo dan Suku Tengger
Alkisah, pada zaman dahulu kala ada
putri raja Brawijaya Permaisuri Kerajaan majapahit. Namanya Rara Anteng karna
situasi dalam Kraton Kerajaan Majapahit memburuk, untuk itu Rara Anteng mencari
persembunyian yang lebih aman, dan iapun kemudian pergi ke pegunungan Bromo. Di
desa Krajan ia singgah satu windu, kemudian Rara Anteng melanjutkan perjalanan
ke penanjakan ia menetap di penanjakan dan mulai bercocok tanam dengan para
punggawanya, bertahun tahun Rara anteng menetap di penanjakan kemudian iapun
bertemu dengan Resi Dadap seorang pendeta yang bermukim di Pegunungan Bromo,dengan
tidak sengaja Rara anteng diangkat anak oleh pendeta tersebut.
Sementara itu
putra Brahmana Jaka Seger dari kerajaan Majapahit mengasingkan diri karna
situasi kerajaan memburuk sebab urusan politik,di samping mengasingkan diri
Jaka Seger juga mencari pamannya yang tinggal di sekitar pegunungan Bromo,
lambat laun Jaka Seger mendapat informasi bahwa adanya orang-orang Majapahit
menetap di Penanjakan, kemudian Jaka Seger melanjutkan perjalanannya
sampai Penanjakan. Tak di sangkah pula
Jaka Seger tersesat ketika melanjutkan perjalanannya ke penanjakan dan kemudian
ia bertemu dengan Rara Anteng yang segera mengajaknya ke kediamanya,sungguh tak
terduga Rara Anteng di tuduh main serong dengan Jaka Seger oleh para pinesepuhnya.
Jaka Seger membela Rara Anteng dan menyatakan hal itu tidak benar, entak
bagaimana tanggapan pinesepuhnya mengenai hal tersebut, justru dengan tuduhan
itu Jaka Seger mengungkapkan isi hatinya bahwa dengan tulus ia mencintai Rara
Anteng kemudian melamarnya dan lamaranpun diterima dengan suka hati, Resi Dadap
patih mengesahkan perkawinan dua insan sejati.
Sewindu (lima
tahun) sudah perkawinan mereka namun tak urung jua di karuniai buah hati, nelongso
rasane ati sak mene suwene kok urong ndue bayi (merana rasanya hati begitu
lama masih belum punya momongan) dengan begitu iapun mempunyai isyarat untuk
bertapa 6 tahun lamanya dan setiap tahunnya berganti arah.Sang Hyang Widi Wasa
kemudian menanggapi semedi mereka. Dari puncak Gunung Bromo mengeluarkan cahaya
bertanda bahwa semedi mereka terdengar oleh Sang Hyang Widi Wasa, kemudian
cahaya tersebut menusuk ke jiwa Jaka Seger dan Rara Anteng, terdengar bahwa ada
pawisik mereka akan di karuniai anak tapi dengan satu syarat anak yang terakhir
harus di korbankan di Kawah Gunung Bromo.
Dua insan sejati
dikaruniai 25 anak sesuai dengan permohonannya dan anak yang terakhir bernama
Raden Kusuma, karna penduduk pegunungan Bromo masih sedikit. Entah apa yang
terjadi kemudian???
Bertahun-tahun Gunung Bromo terus
mengelurkan semburan api sebagai tanda janji mereka dahulu harus di tepati,
namun pasangan legendaries tersebut sangat tidak rela kalau putra bungsunya
Raden Kusuma di jadikan korban Sang Hyang Widi Wasa. Lanjut cerita Raden Kusuma
di sembunyikan di Desa Ngadas Namun semburan api dari Gunung Bromo sampai Desa
Ngadas. Akhirnya Raden Kusuma lantas pergi ke Gunung Bromo, dari kawah Gunung
Bromo terdengar suara Raden Kusuma supaya saudara-saudaranya hidup rukun, ia
rela berkorban sebagai wakil dari saudara-saudaranya dan masyarakat setempat,
ia berpesan bahwa setiap bulan kasada (kasodoan) tanggal 14, minta upeti hasil
bumi
KEELOKAN Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru (TNBTS) tidak hanya pada panorama alam yang begitu mempesona, tapi juga
Suku Tengger-nya sendiri yang mendiami wilayah sekitaran Bromo.Khususnya orang
ngadisari sendiri yang sebagai subyek oleh penulis itu mempunyai ciri khas yang
berbeda di banding para pendatamg. Suku Tengger memiliki ciri khas khusus pada
rona wajah yang mereka miliki. Kulit di sekitar wajah mereka kemerah-merahan,
hasil adaptasi dari suhu pegunungan Bromo yang sangat dingin. Boleh juga, ini
menjadi pesona tersendiri bagi pelancong yang melirik penduduk asli Bromo ini.
Bahkan penulis sendiri merasakan suhu dingin yang sangat segar. Masyarakat Suku
Tengger merupakan masyarakat yang sangat plural terutama pada masalah keyakinan
spiritual. Terbagi menjadi tiga agama besar, Hindu, Budha dan Islam. Di
sepanjang jalan kerap kali penulis menjumpai hal mengusik pandangan mata,
sangat di sayangkan jika pemandangan yang begitu mempesona dengan ke elokan Gunung
Bromo,desir pasir yang liat, arsitertur keunikan bangunan pura yang megah,
hingga terjadi banyaknya kotoran kuda yang berserakan dimana-mana mana, bisa
jadi ini menjadi penghambat pejalan kaki bagi para pelancong yang lain untuk
menikmati pesona alam dan udara yang segar
Orang suku tengger sangat mudah
dikenali karena selalu menggenakan sarung. Suku Tengger mengenal sarung dengan
istilah kawengan. Sarung bagi Suku Tengger adalah baju atau jaket
penghangat mereka. Kawengan digunakan untuk menepis serangan angin dingin yang
menusuk tulang, selain karena harganya yang murah dan mudah di dapat di
mana-mana dibandingkan pakaian hangat yang lain.Walaupun mereka tidak memakai
sarung to tidak apa-apa hanya karna suhu yang sangat dingin itu yang menjadi
kebiasaan orang Suku Tengger sangat
mempertahankan seni dan budaya tradisional. Tarian khas mereka adalah tari sodoran
yang kerap kali ditampilkan pada perayaan Karo dan Kasada.Untuk menjaga adat
dan budaya suku tengger khususnya desa ngadisari itu sangat tergantung dari
kepala desa (petinggi) yang mampu untuk berjuang melestarikan warganya Dari
sisi budaya, jika para pelancong melihat orang Tengger yang memakai giwang
(antiang-anting) itu bertanda ia di lahirkan wage entah itu pada hari
apa saja, Adapun mengenai pendidikan dalam Desa Ngadisari sekolahan hanya ada SDN dan Smp PGRI
Ngadisari. Jika pada hari sabtu dan Hari besar khususnya pada kalender Tengger
itu para siswa di wajibkan memakai pakaian
Adat agar mereka tidak lupa terhadap adatnya sendiri.Seperti apakah pakaian
Adat orang Tengger? Pakaian yang dikenakan oleh laki-laki biasanya ia memakai
baju warna hitam disini artikan warna hitam adalah kedamaian seperti
baju yang nampak biasanya di pakai dalang dalam pertunjukan pementasan wayang
untuk bawahanya harus berwarna hitam juga, kemudian kepalanya memakai udeng
yang berbatik juga ada yamg memakai udeng namun warnanya merah, salah satu ada
juga yang memakai tanda hitam di kepalanya seperti orang Budha, terus ia
membawa bunga yang warnanya ada yang merah, putih atau membawa dupha, bagi
perempuan ia juga memakai warna hitam dengan ikat pinggang warnanya putih juga
ada yang kuning dan diserasikan dengan bawahan batik (sewek)
Orang tengger
di kenal sebagai petani tradisional yang tangguh, ia bertempat tinggal
berkelompok-kelompok di bukit-bukit yang tidak jauh dari ladang mereka,iapun
tidak akan menjual ladang kepada orang lain apalagi terhadap orang luar Bromo,
suhu udara yang dingin membuat mereka betah bekerja di ladang sejak pagi hingga
sore hari, bagi para pekerja luar yang seperti pak petinggi (lurah) atau yang
lainnya jika ia ada waktu ia sempatkan untuk pergi ke ladang, dalam urusan
pekerjaan antara wanita dan laki-laki tidak ada bedanya ia pergi ke ladang
bersama-sama, akan petapi bagi laki-laki yang ingin berjualan sarung tangan,
kerpus dsb, biasanya berangkat malam hari hingga menjelang suara ayam betina
berkokok. Presentase penduduk yang bermata pencarian sebagai petani ladang
sangat besar, yakni (95%) sedangkan sebagian kecil dari mereka (5%) hidup
menjadi pegawai Negeri,buruh, pedagang dan usahu jasa menyewakan tunggangan
kuda yang ingin merasakan desir pasir Bromo yang liat baik dalam maupun luar
negeri, juga menjadi supir Hard top (jeep) dan juga menyewakan kamar (vila)
bagi para wisatawan. Hasil pertanian yang utama adalah, sayur mayor seterti,
wortel,gubis, bawang merah, bawang prei, kentang, lahan mereka juga cocok untuk
tanaman jagung namun sedikit dari mereka menanam jagung karna nilai ekonominya
rendah kemudian diganti dengan sayur mayur. Meskipun begitu sebagian dari lahan
mereka masih di Tanami jagung karna tidak semua orang tengger mengganti makanan
pokoknya dengan beras.Hanya saja untuk menanam jagung di butuhkan waktu yang
cukup lama kurang lebih 9-8 bulan. Pada
awalnya jagung adalah makanan khas orangTengger sampai sekarang nasi aron
Tengger (nasi jagung) masih tercatat sebagai makanan tradisional dalam Khazanah
Kuliner Nusantara.
SISTIM KALENDER SUKU TENGGER
Suku Tengger sudah mengenal dan mempunyai sistem kalender sendiri
yang mereka namakan Tahun Saka atau Saka Warsa., jumlah usia kalender suku
tengger berjumlah 30 hari (masing-masing bulan dibulatkan),tetapi ada perbedaan
penyebutan usia hari yaitu antara tanggal 1sampai dengan 15 disebut tanggal
hari,dan 15 sampai 30 disebut Panglong Hari (penyebutannya adalah Panglong
siji,panglong loro dan seterusnya) . Pada tanggal dan bulan tertentu terdapat
tanggal yang digabungkan yaitu tumbuknya dua tanggal. Pada tanggal Perhitungan
Tahun Saka. Cara menghitungnya dengan rumus : tiap bulan berlangsung 30 hari,
sehingga dalam 12 bulan terdapat 360 hari. Sedangkan untuk wuku dan hari
pasaran tertentu dianggap sebagai wuku atau hari tumbuk, sehingga ada dua
tanggal yang harus disatukan dan akan terjadi pengurangan jumlah hari pada tiap
tahunnya. Untuk melengkapi atau menyempurnakannya diadakan perhitungan kembali
setiap lima
tahun, atau satu windu tahun wuku. Pada waktu itu ada bulan yang ditiadakan,
digunakan untuk mengadakan perayaan Unan-unan, yang kemudian tanggal dan bulan
seterusnya digunakan untuk memulai bulan berikutnya, yaitu bulan Dhesta atau
bulan ke-sebelas. MECAK (Perhitungan Kalender Tengger ),istilah mecak biasanya
digunakan untuk menghitung atau mencari tanggal yang tepat untuk melaksankan
Upacara-upacara besar seperti Karo,Kasada maupun Upacara Unan-unan.
Setiap Dukun
Sepuh telah mempunyai persiapan atau catatan tanggal hasil Mecak untuk tiap –
tiap Upacara yang akan dilaksanakan sampai lima tahun ke depan.
NAMA – NAMA BULAN SUKU TENGGER
1.
KARTIKA : KASA
2. PUSA : KARO
3. MANGGASTRI : KATIGA
4. SITRA : KAPAT
5. MANGGAKALA : KALIMA
6. NAYA : KANEM
7. PALGUNO : KAPITU
8. WISAKA : KAWOLU
9. JITO : KASANGA
10. SERAWANA : KASEPOLOH
11. PANDRAWANA : DESTHA
12. ASUJI : KASADA
2. PUSA : KARO
3. MANGGASTRI : KATIGA
4. SITRA : KAPAT
5. MANGGAKALA : KALIMA
6. NAYA : KANEM
7. PALGUNO : KAPITU
8. WISAKA : KAWOLU
9. JITO : KASANGA
10. SERAWANA : KASEPOLOH
11. PANDRAWANA : DESTHA
12. ASUJI : KASADA
Berbagai macam upacara-upacara yang dimilki Suku Tengger.
1.
Upacara
Kelahiran.
Upacara ini merupakan rangkaian dari enam macam upacara yang
berkait. Pertama, ketika bayi yang berada dalam kandungan telah upacara sesayut.
Maksud upacara adalah agar bayi lahir dengan selamat dan lancar. Setelah bayi
lahir dengan selamat yang bersangkutan mengadakan upacara sekul brokohan.
Ari-ari bayi yang mereka sebut batur ‘teman’ disimpan dalam tempurung, kemudian
ditaruh di sanggar. Pada hari ketujuh atau kedelapan setelah kelahiran, yang
bersangkutan mengadakan upacara cuplak puser, yakni pada saat pusar
telah kering dan akan lepas. Upacara ini dimaksudkan untuk menghilangkan
kotoran yang masih tersisa di tubuh bayi agar bayi selamat. Pada waktu diberi
nama, keluarga bayi mengadakan selamatan jenang abang dan jenang
putih (bubur merah dan bubur putih yang terbuat dari beras). Maksud dari
upacara ini juga untuk memohon keselamtan. Upacara kekerik diadakan
setelah bayi berumur 40 hari. Dalam upacara ini lidah bayi “dikerik” dengan
daun rumput ilalang. Maksud dari upacara ini adalah agar kelak sang anak pandai
berbicara. Rangakaian upacara kelahiran yang keenam adalah upacara among-among,
yang dilaksanakan setelah bayi berusia 44 hari. Maksud dari upacara ini adalah
agar bayi terbebas dari gangguan roh jahat. Bayi tersebut harus “dilindungi”,
yaitu diberi mantra pada waktu ia sudah mampu membalik dirinya (tengkurap).
Adapun untuk mengenai upacara kelahiran sang Bayi itu di perkirakan
menghabiskan dana kurang lebih 15 Juta yang di mulai dari berbagai macam
upacara yang di selenggarakan ketika bayi masih dalam kandungan dan biaya
perawatan Rumah Sakit. Kemudian jumlah uang tersebut juga di pakai pada saat tilek
bayi (menjenguk sang bayi) kemudian orang-orang yang berdatangan melihat
bayi, kemudian ketika mau pulang ia di berikan bingkisan yang biasanya isinya
kue, roti, dsb,hal ini di lakukan sama dengan orang lain yang melahirkan
anaknya, untuk itu orang Tengger khususnya Ngadisari itu kebanyakan dari mereka
ikut KB. Karna banyak anak juga banyak biaya yang harus di keluarkan, uang
segitu banyaknya hanya di habiskan ketika dalam kandungan sampai bayi bia
tengkurep, belum lagi biaya pendidikan .
2. Upacara kasada
Upacara Kasada (kasodoan) adalah Hari Raya Kurban
bagi Suku Tengger yang biasanya di
selenggarakan pada tanggal, 14,15 atau 16, bulan kasada yakni pada bulan
purnama sedang menampakan wajahnya di lazuardi biru. Hari Raya kurban ini
merupakan pesan buat leluhur Suku Tengger
yang bernama Raden Kusuma putra
Bungsu Rara Anteng dan Jaka Seger, yang telah merelakan dirinya menjadikan kurban
demi kesejahteraan ayah ibu dan para saudaranya. Kasodoan merupakan suatu
komunikasi antara manusia dan Sang Hyang Widi Wasa,dan roh-roh halus yang
menjaga tengger.Komunikasi itu hanya bisa di lakukan melalui dukun adat pewaris
aktif tradisi Suku Tengger.
Kepergian seorang
dukun adat tidak cuma untuk berdo’a saja melainkan juga untuk minta berkah
kepada yang menjaga Gunung Bromo,
permintaan tersebut di tujukan pada Dewa Kusuma yang berkorban (dilabuh) kawah
Bromo. Selain memintah sesuatu dukun Tengger juga memberikan sesuatu,yaitu
melaksanakan amanat Raden Kusuma yang di ucapkan pada masa lalu yang kurang
lebihnya bunyinya sebagai berikut.Dulurku sing isih urip ngalam dunya,
ngalam padang, mbesuk aku saben wulan kassodo kirimana barang samubarang sing
ana rupa tuwuh, rupa shanndang pangan, saanane sandhang pangan sing rika pangan
ana ngalam dunya, weruh rasane, apa sing rika suwun mesti katurutan kekarepane
rika, ya katurutan panjaluke rika ya mesti kinabulna” (‘’Saudara-saudarku
yang masih hidup di dunia, di alam terang,kelak setiap bulan kasada,kirimkan
padaku hasil pertaniaanmu, dan makanan yang kalian makan di dunia, agar aku
dapat merasakanya. Keinginanmu dan permintaanmu pasti aku kabulkan’’)
Upacara ini di ikuti
oleh seluruh masyarakat Suku Tenger dengan membawa Ongkek ( biasanya di pikul
dan berisi Tandur Tuwuh Bumi Tengger/ternak peliharaan/ayam,kebo,sapi dsb)
untuk di labuhkan di kawah Bromo, sebelum di labuhkan lenih dahulu Ongkek
tersebut diberi jepa-jepu mantra (do’a) kepada Dukun adat yang sudah berada di
pura (Poten) lautan Pasir Gunung Bromo baru setelah itu di labuhkan. Selain
melakukan ritual lelabuhan pada saat upacara kasada, juga di adakan ujian
Molunen bagi Dukun Baru (ujian membaca Mantra dalam ujian tidak boleh salah
bahkan keliru kerena hal tersebut merupakan syarat utama bagi Dukun lulus dan
tidaknya Sang Dukun)
3. Upacara karo.
Perayaan karo atau
hari Raya karo jatuh pada bulan kedua dalam kalender Suku Tengger. Upacara
tersebut sangat mirip dengan Hari Raya Idul Fitri (lebaran) yag di rayakan bagi
Umat Islam. Pada hari raya tersebut orang Tengger saling berkunjung ke sanak
saudaranya maupun tetangganya,untuk memberikan ucapan karo dan salimg
bermaaf-maafan. Prayaan ini di laksanakan berlangsung selam satu sampai dua
minggu lamanya. Selama waktu itu banyak binatang ternak yang di sembelih, kebanyakan
ayam,kambing,sapi,kebo,babi, disembelih untuk dinikmati dagingnya. Bagi
keluarga yang kurang mampu dalam perayaan upacara ini untuk pengadaan ternak
itu dilakukan dengan cara patungan. Dengan demikian untuk menilik (sambang)
kesanak famili atau tetangga,jika tidak memakan makanan yang telah di hidangkan
maka itu sepeti menghina makanan tersebut kurang enak sehigga ia tidak mau
memakannya,
Bagi orang
Tengger, upacara karo sangat dinanti-nantikan, perayaan yang berlangsung hampir
dua minggu tersebut merupakan suasana
penuh dengan duka cita dan pesta pora.Seolah olah orang Tengger ingin menebus
segal kecapekan dalam bekerja selama satu tahun penuh. Seluruh masyarakat
Tengger baik tua, muda, besar, kecil. Hindhu, Kristen maupun islam menyatu
dalam suka cita perayaan karo ini.
4.Upacara
Unan-Unan.
Upacara ini diselenggarakan sekali dalam sewindu. Sewindu menurut
kalender Tengger bukan 8 tahun melainkan 5 tahun. Upacara ini dimaksudkan untuk
membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan menyucikan para arwah yang
belum sempurna agar dapat kembali ke alam asal yang sempurna, yaitu Nirwana.
Kata unan-unan berasal dari kata tuna ‘rugi’, maksudnya upacara
ini dapat melengkapi kekurangan-kekurangan yang diperbuat selama satu windu.
Dalam upacara ini orang Tengger menyembelih kerbau sebagai kurban.
5. Upacara
Entas-Entas.
Upacara ini dimaksudkan
untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal dunia pada hari ke-1000 agar
supaya dapat masuk surga. Biaya upacara ini sangat mahal karena penyelenggara
harus mengadakan selamatan besar-besaran dengan menyembelihkerbau. Sebagian
daging kerbau tersebut dimakan dan sebagian dikurbankan.
6. Upacara
Pujan Mubeng.
Upacara ini diselenggarakan
pada bulan kesembilan atau Panglong Kesanga, yakni pada hari kesembilan
sesudah bulan purnama. Warga Tengger, tua-muda, besar-kecil, berkeliling desa
bersama dukun mereka sambil memukul ketipung. Mereka berjalan dari batas desa
bagian timur mengelilingi empat penjuru desa. Upacara ini dimaksudkan untuk
membersihkan desa dari gangguan dan bencana. Perjalanan keliling tersebut
diakhiri dengan makan bersama di rumah dukun. Makanan yang dihidangkan berasal
dari sumbangan warga desa.
7. Upacara
Tugel Kuncung
Upacara ini sama dengan sama
saperti aqiqo yang bagi orang Islam Cuma
ini dilakukan pada bayi masih kecil sedangkan dalam Islam bias di lakukan
ketika bayi itu sudah besar, atau tugel gombak diselenggarakan oleh
orang Tengger ketika anak mereka berusia 4 tahun. Rambut bagian depan anak yang
bersangkutan dipotong agar ia senantiasa mendapat keselamatan dari Hyang Widhi
Wasa.
8. Upacara
Perkawinan
orang Tengger dilaksanakan berdasarkan perhitungan waktu yang
ditentukan oleh dukun yang harus sesuai dengan saptawara atau pancawara
kedua calon pengantin. Selain menggunakan perhitungan saptawara dan pancawara,
dukun juga menggunakan perhitungan nasih berdasarkan sandang (pakaian), pangan
(makanan), lara (sakit), dan pati (kematian). Hari perkawinan
harus menghindari lara dan pati. Jika terpaksa jatuh pada lara
dan pati, harus daidakan upacara ngepras, yaitu membuat
sajian yang telah diberi mantra oleh dukun dan kemudian dikurbankan. Agar tetap
selamat, mereka yang hari perkawinannya jatuh pada lara dan pati harus
melaksanakan upacara ngepras setiap tahun. Puncak dari upacara
perkawinan adalah upacara walagara, yakni akad nikah yang
dilaksanakan oleh dukun. Dalam upacara walagara dukun membawa secawan
air yang dituang ke dalam prasen, diaduk dengan pengaduk yang terbuat
dari janur atau daun pisang dan kemudian diberi mantra. Selanjutnya mempelai
wanita mencelupkan telunjuk jarinya ke dalam air tersebut dan mengusapkannya
pada tungku, pintu, serta tangan para tamu, dengan maksud agar pada tamu
memberi doa restu.
9. Upacara
Kematian
diselenggarakan secara gotong royong. Para tetangga memberi bantuan
perlengkapan dan keperluan untuk upacara penguburan. Bantuan spontanitas
tersebut berupa tenaga, uang, beras, kain kafan, gula, dan lain-lain yang
disebut nglawuh. Setelah dimandikan mayat diletakkan di atas balai-balai
kemudian dukun memercikkan air suci dari prasen kepada jenazah sambil
mengucapkan doa kematian. Sebelum kuburan digali, dukun lebih dulu menyiramkan
air dalam bumbung yang telah diberi mantra. Tanah yang tersiram air itulah yang
digali untuk liang kubur. Mayat orang Tengger dibaringkan dengan kepala
membujur ke selatan
ke arah Gunung
Bromo. Petang harinya keluarga yang ditinggalkan mengadakan selamatan. Orang
yang telah meninggal tersebut diganti dengan boneka yang disebut bespa,
terbuat dari bunga dan dedaunan. Bespa diletakkan di atas balai-balai
bersama berbagai macam sajian.
10. Upacara
Barikan
diadakan setelah terjadi gempa bumi, bencana alam, gerhana, atau
peristiwa lain yang mempengaruhi kehidupan orang Tengger. Jika kejadian-kejadian
alam tersebut memberi pertanda buruk maka lima atau tujuh hari setelah
peristiwa tersebut orang Tengger mengadakan upacara barikan agar diberi
keselamatan dan dapat menolak bahaya (tolak sengkala) yang bakal datang.
Sebaliknya apabila kejadian-kejadian alam tersebut menurut ramalan berakibat
baik, upacara barikan juga diadakan sebagai tanda terima kasih kepada
Hyang Maha Agung. Dalam upacara barikan seluruh warga berkumpul dipimpin
oleh kepala desa dan dukun mereka. Biaya upacara barikan ditanggung oleh
seluruh warga desa.
11. Upacara
Liliwet
adalah upacara untuk kesejahtaraan keluarga. Upacara ini diadakan
di setiap rumah penduduk. Dalam upacara ini dukun memberi mantra seluruh bagian
rumah termasuk pekarangan agar terhindar dari malapetaka. Tempat tempat yang
diberi mantra adalah dapur, pintu, tamping, sigiran dan empat penjuru
pekarangan. Sebelum upacara liliwet diadakan biasanya orang Tengger
tidak memulai menggarap ladangnya.
12. UPACARA MEGENG DUKUN.
Upacara ini
bersifat pribadi yaitu dilakukan oleh orang yang akan melakukan ritual untuk
menjadi Dukun.sedangkan tahapan-tahapan seseorang agar dapat menjadi Dukun
adalah sebagai berikut:
Syarat menjadi dukun antara lain adalah : (1) Hafal secara lisan dan makna mantra-mantra Tengger (2) berkemampuan, tekun, mampu menggali legenda, memiliki kedalaman ilmu, dan bertempat tinggal dekat dengan lokasi; (3) Berkelakuan baik,sopan santun dan bermoral tinggi (4) disetujui oleh masyarakat melalui musyawarah; dan (5) Lulus ujian Mulunen yang diadakan pada saat Upacara Kasada (6) diangkat oleh petinggi ( Kepala Desa). Untuk memperkuat karisma dan wibawa, seorang dukun diwajibkan menjalankan laku tertentu. Pada setiap bulan Kapitu ( tujuh)/Palguno seorang calon dukun diwajibkan melakukan puasa mutih, yaitu puasa selama satu bulan tidak makan garam, gula, dan tidak kumpul dengan istri. Kerja sehari- hari tetap dilaksanakan, hanya dibatasi waktunya supaya tidak terlalu lelah. Laku mutih ini diibaratkan sebagai pengasah kemampuan batiniah yang bersifat spiritual. Diibaratkan seperti pisau, untuk menjadi tajam harus diasah. Untuk dapat menjadi dukun diharuskan menguasai adat dan mantra-mantra yang dibaca atau diucapkan pada berbagai upacara adat. Pada umumnya dipandang bahwa seseorang bisa menjadi dukun setelah mencapai umur 40 tahun dan menguasai adat serta berbagai mantranya. Mantra-mantra tersebut dulu diwariskan secara lisan, akan tetapi sekarang di samping lisan diusahakan melalui tulisan,
Syarat menjadi dukun antara lain adalah : (1) Hafal secara lisan dan makna mantra-mantra Tengger (2) berkemampuan, tekun, mampu menggali legenda, memiliki kedalaman ilmu, dan bertempat tinggal dekat dengan lokasi; (3) Berkelakuan baik,sopan santun dan bermoral tinggi (4) disetujui oleh masyarakat melalui musyawarah; dan (5) Lulus ujian Mulunen yang diadakan pada saat Upacara Kasada (6) diangkat oleh petinggi ( Kepala Desa). Untuk memperkuat karisma dan wibawa, seorang dukun diwajibkan menjalankan laku tertentu. Pada setiap bulan Kapitu ( tujuh)/Palguno seorang calon dukun diwajibkan melakukan puasa mutih, yaitu puasa selama satu bulan tidak makan garam, gula, dan tidak kumpul dengan istri. Kerja sehari- hari tetap dilaksanakan, hanya dibatasi waktunya supaya tidak terlalu lelah. Laku mutih ini diibaratkan sebagai pengasah kemampuan batiniah yang bersifat spiritual. Diibaratkan seperti pisau, untuk menjadi tajam harus diasah. Untuk dapat menjadi dukun diharuskan menguasai adat dan mantra-mantra yang dibaca atau diucapkan pada berbagai upacara adat. Pada umumnya dipandang bahwa seseorang bisa menjadi dukun setelah mencapai umur 40 tahun dan menguasai adat serta berbagai mantranya. Mantra-mantra tersebut dulu diwariskan secara lisan, akan tetapi sekarang di samping lisan diusahakan melalui tulisan,
0 komentar:
Posting Komentar