Penyesuaian Diri Dalam Perkawinan
1.
Pengertian Penyesuaian Diri dalam Perkawinan
Sebelum membahas teori tentang penyesuaian
diri dalam perkawinan, terlebih dahulu
akan dibahas mengenai penyesuaian diri secara umum. Hal ini dikarenakan penyesuaian diri merupakan
bagian dari penyesuaian perkawinan. Atwater (1983) mengemukan salah satu konsep
tentang penyesuaian yaitu penyesuaian
diri merupakan suatu perubahan yang dialami seseorang untuk mencapai suatu hubungan yang memuaskan dengan orang
lain dan lingkungan di sekitarnya.
Bila
diperhatikan lebih lanjut, tampaknya ada tiga elemen di dalam proses penyesuaian diri
tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Atwater (1983). Ketiga elemen tersebut adalah
diri seseorang (ourselves), orang lain (others) dan perubahan (changes). Ketiga
elemen ini merupakan unsur yang ada dalam setiap proses adaptasi. Selain itu, Lazarus (1976) mengatakan bahwa
penyesuaian diri dapat dilihat melalui
dua perspektif, antara lain :
a. Penyesuaian sebagai hasil (Adjustment as an
achievement).
Di sini penyesuaian menyangkut kemampuan,
hasil, atau status akhir. Dalam pandangan
ini, seseorang dikategorikan mampu menyesuaikan diri dengan baik (adjusted) atau tidak
dapat menyesuaikan diri dengan baik (maladjusted). (Haber & Runyon 1984).
b. Penyesuaian sebagai
proses (Adjustment as a process).
Di sini
penyesuaian dipandang sebagai proses yang sedang berlangsung, atau sebagai suatu keadaan
yang tengah atau terus berlangsung. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
penyesuaian diri adalah suatu perubahan yang dialami seseorang
dalam hidupnya sebagai suatu proses yang sedang berlangsung, atau sebagai suatu
keadaan yang tengah atau terus berlangsung untuk mencapai suatu hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan
lingkungan sekitarnya.
2.
Karakteristik Penyesuaian Diri dalam Perkawinan
Menurut
Haber & Runyon (1984) ada beberapa karakteristik penyesuaian diri yang baik yang harus
dimiliki oleh seseorang, yaitu :
a.
Memiliki
Persepsi yang Akurat terhadap Realitas atau Kenyataan (Accurate Perception of
Reality).
Persepsi
yang dimiliki individu biasanya diwarnai dengan keinginan dan motivasinya. Hanya pada saat-saat tertentu
individu dapat melihat dan mendengar apa yang benar-benar dilihat dan didengar.
Sehubungan dengan persepsi yang akurat terhadap kenyataan, aspek yang
terpenting adalah kemampuan individu untuk mengenali konsekuensi dari
tindakannya dan mengarahkan tingkah lakunya
b.
.Mampu Mengatasi atau
Menangani Stres dan Kecemasan (Ability to Cope with Stress and Anxiety)
Di dalam
kehidupan, individu sering menghadapi berbagai macam masalah. Masalah-masalah
tersebut ada yang dapat diatasi, namun ada juga yang tidak berhasil ditangani dengan baik. Masalah yang
tidak terselesaikan akan
menimbulkan rasa kecewa, stres, kecemasan
bahkan rasa tidak bahagia dalam diri individu.
c.
Memiliki
Citra Diri yang Positif (A Positive Self Image)
Banyak
psikolog sepakat bahwa persepsi diri seseorang itu merupakan indicator dari kualitas
penyesuaian dirinya.
d. Mampu
untuk Mengekspresikan Perasaan (Ability to Express Feeling)
Penyesuaian
diri yang sehat dilandasi dengan kontrol diri yang baik, yaitu tidak mengontrol diri secara
berlebihan namun juga bukan berarti lepas kontrol sama sekali.
e. Memiliki Hubungan Interpersonal yang Baik
(Good Interpersonal Relation)
Orang
yang penyesuaian dirinya efektif, mampu untuk mencapai tingkat keakraban (intimacy) yang cocok dalam hubungan
sosialnya. Mereka biasanya kompeten dan selalu merasa nyaman ketika
berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, mereka pun akan membuat orang lain merasa
nyaman ketika ia ada bersamanya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah mereka yang
dengan keterbatasan, kemampuan serta
kepribadiannya untuk bereaksi terhadap lingkungan dengan cara yang matang, efisien, bermanfaat
dan memuaskan. Dengan demikian, agar individu dapat menyesuaikan diri dengan baik, maka ia harus
memiliki beberapa karakteristik diantaranya adalah memiliki persepsi yang
akurat terhadap realitas, mampu mengatasi kecemasan, memiliki citra diri yang positif,
mampu mengekspresikan perasaan, dan memiliki hubungan interpersonal yang baik.
Sedangkan individu yang memiliki penyesuaian diri yang tidak baik adalah mereka
yang tidak mampu mengatasi konflik yang dimilikinya sehingga menimbulkan perasaan
frustrasi pada dirinya.
3.
Area Penyesuaian Diri dalam Perkawinan John,
Sutton & Webster (1970) menyatakan bahwa ada beberapa area penyesuaian pada suatu perkawinan, yaitu :
a. Kepribadian dan Kemampuan untuk Saling
Menyesuaikan Diri dengan Pasangan (Personality-Getting Along with Each Other). Hal ini menyangkut kemampuan untuk saling
menyesuaikan diri terhadap pribadi serta kebiasaan-kebiasaan pasangannya.
b. Pembagian Peran (Roles).
Suami-istri harus membicarakan peran-peran
yang berkaitan dengan tugasnya sebagai
suami-istri.
c. Pendapatan Keluarga (Family Income).
Pada area
ini, pasangan suami-istri harus melakukan penyesuaian terhadap pengelolaan pendapatan
atau sumber keuangan keluarga termasuk pemakaiannya.
d. Rekreasi atau Kegiatan Waktu Luang
(Recreation).
Kesesuaian
antara suami dan istri mengenai pemakaian waktu bagi keluarga untuk berekreasi atau bersenang-senang bersama
keluarga.
4.
Kriteria Penyesuaian Diri dalam Perkawinan.
Burgess
& Locke (1960) membatasi kriteria penyesuaian dalam perkawinan yang ditandai oleh
hal-hal berikut :
a. Adanya kesesuaian pendapat antara suami
dan istri dalam hal-hal yang dapat menjadi permasalahan berat/ besar.
b. Adanya minat dan kegiatan bersama.
c. Adanya pengungkapan kasih sayang dan rasa
saling percaya.
d. Memiliki sedikit keluhan.
e. Tidak banyak memiliki perasaan kesepian,
sedih, marah dan semacamnya.
Burgess & Locke (1971)
mengungkapkan 9 faktor dasar yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan, yaitu :
a. Karakteristik Pribadi.
Persamaan karakteristik pribadi antar
pasangan suami-istri sangat berhubungan dengan penyesuaian perkawinan.
b. Latar-Belakang Budaya.
Persamaan latar-belakang budaya adalah suatu hal
yang menguntungkan bagi suami-istri.
c. Partisipasi Sosial.
Kepuasan
perkawinan sangat berhubungan dengan jumlah orang yang dekat dengan pasangan
suami-istri.
d. Pengalaman Berhubungan dengan Lawan
Jenis.
Masa
pacaran dan pertunangan yang cukup lama berhubungan dengan penyesuaian perkawinan
yang mudah, sedangkan keterbatasan waktu berhubungan akan
berdampak pada kesulitan penyesuaian perkawinan.
e.
Usia Saat Menikah.
Usia
adalah faktor yang turut menentukan keberhasilan penyesuaian perkawinan.
f.
Pendidikan.
Individu
dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki penyesuaian perkawinan yang lebih baik bila dibandingkan
dengan individu yang tingkat pendidikannya rendah.
g.
Penyesuaian Terhadap Keluarga.
Seorang
pria atau wanita yang menikah tidak hanya menikahi pasangannya saja tetapi juga menikah dengan keluarga
pasangannya.
h.
Tingkah Laku Seksual.
Penyesuaian
perkawinan juga berhubungan dengan persamaan nilai dan harapan pasangan suami-istri dalam masalah seks.
i.
Jumlah Anak.
Karena setiap pasangan suami-istri memiliki
perbedaan tentang jumlah anak yang
diinginkan sesuai dengan
latar-belakang yang ada pada pasangan suami-istri.
5.
Tahap – Tahap Perkawinan.
Kurdek & Smith (dalam Hoffman,
Paris & Hall 1994) menyatakan bahwa ada tiga tahap yang
dilalui pasangan suami-istri dalam usaha membangun pernikahan mereka, yaitu :
a. Fase Blending yang terjadi pada tahun
pertama.
Suami
dan istri belajar hidup bersama dan memahami bahwa mereka saling tergantung sehingga
perbuatan seseorang akan mempunyai konsekuensi terhadap yang lain.
b. Fase Nesting yang terjadi antara tahun
kedua dan ketiga.
Suami dan
istri mengeksplorasi batas-batas kecocokan mereka sehingga mulai timbul konflik-konflik dalam pernikahan.
c. Fase Maintaining biasanya dimulai setelah
tahun keempat.
Pada
fase ini tradisi sudah mulai terbentuk dan konflik yang muncul pada fase sebelumnya biasanya
sudah mulai dapat teratasi. Kualitas dari pernikahan itu pun sudah mulai
terlihat.
0 komentar:
Posting Komentar