FOBIA
Fobia dan fenomena fobia merupakan hal
umum selama periode kanak-kanak, dan fobia dewasa seringkali bisa dijejaki
kembali dari bentuk-bentukfobia awal yang pernah ada sebelumnya atau yang
mendahuluinya. Ada dua teori fobia umum non-psikoanalitis yang telah menapai
status “praktis”. Yang pertama adalah teori biologi yang mengasumsikan bahwa
fobia (misalnya perasaan takut pada ular atau laba-laba atau tempat yang
tinggi) merupakan sisa-sisa dari proses evolusi kita dimasa lalu dan mengacu
pada bahaya nyata yang dihadapi oleh para pendahulu kita.
Pandangan nonpsikoanalitis kedua adalah
sebuah teori “trauma” sederhana. Yang telah memperoleh kredibilitas puncaknya
saat dipergunakan sebagai dasar sebuah serial televisi BBC. Misal seorng anak
takut pada anjing karena, saat dia masih kecil, ada seekor anjing msuk ke dalam
kereta dorongnya dan menakutinya.
Fobia merupakan suatu tanggapan
terkondisi terhadap pengalaman yang sifatnya traumatis. Teori trauma
dipergunakan untuk menjelaskan motivasi para tokoh tersebut atau ntuk
memperoleh resolusi naratif.
Gagasan tentang trauma tampakny
merupakan suatu penjelasan yang masuk akal sampai ditemukan bahwa, sebagai
contohnya, fobia hanya selama berkembang beberapa tahun setelah terjadinya
peristiwa yang traumatis, atau peristiwa tu hanya diketahui melalui informasi
yang diberikan oleh pihak orang tua. Bila kita menjajaki kembali masalah fobia
pada peristiwa traumatis, maka kita seringkali akan menemukan suatu sintesis
yang kompleks atas sejumlah faktor.
Dalam satu contoh, rasa takut terhadap
burung dan bulu burung memiliki keterkaitan dangan suatu peristiwa, di mana
seekor burung masuk ke dalam sebuah ruangan dan tidak bisa keluar. Seorang anak
bersama neneknya tidak mampu menguasai diri saat burung tersebut terbang kesana
kemari dan menabrak benda-benda yang ada di ruangan tersebut, sehingga
bulu-bulunya banyak berjatuhan. Sang anak menjadi takut, saat mengamati burung
tersebut berusaha dengan ketakutan untuk keluar dari ruangan itu serta saat
melihat apa yang dilakukan oleh neneknya untuk membantu burung itu.
Para psikoloanalisis berusaha
mempelajari elemen-elemen dari kisah ini dan memberikan bobot pada
masing-masing elemen tersebut : faktor ketidakberdayaan, ketidakadaan sang ibu,
ketakutan sang nenek, bulu-bul yang berjatuhan, ketakutan akan ancaman,
perasaan terjebak, burung sebagai pengejawantahan agresi, asosiasi antara
burung (dalam beberapa budaya dan cerita rakyat) dengan kematian, dan
sebagainya.
Peristiwa traumatis ini tidak dilihat
sebagai gangguan yang menyimpang dari masa kecil yang bahagia, namun sebgai
bagian dari kisah yang lebih besar tentang kehidupan emosional seseorang,
dengan badai arus perasaan yang muncul dengan tanpa bisa dihindari.
Kisah tentang teman saya yang mengalami
perasaan takut saat menyebrang jembatan jelas menunjukkan adanya suatu fobia
dalam kapasitasnya sebagai “ketakutan irasional”. Orang yang mengalai fobia
tidak benar-benar mengetahu mengapa dirinya takut dalam tingkatan yang lebih
besar, dibandingkan dengan seseorang yangtertawa mendengarkan sebuah lelucon
dan mengetahui mengapa dia tertawa. Memang akan kelihatan aneh bila kita
mengatakan : “saya takut menyebrang jembatan”. Namun demikian pengakuan atas
“irasionalitas” hanya memberikan sedikit perbedaan pada realits psikis bagi individu
yang mengalami fobia.
Dalam kaitannya dentgan reaksi fobia,
individu yang mengalaminya bisa dikatakan berada dalam suatu keadaan yang aneh
di mana dia mengetahui seseuatu, namun pada saat yang sama dia juga tidak
mengetahuinya. Dalam hal ini objek fobia ada dalam dua bagian mental sekaligus,
dan keduanya sama-sama nyata bagi individu yang bersangkutan.
Dalam fobia, seperti haknya dalam semua
bentuk neurosis, kita bergerak di “negeri antah berantah antara realitas dan
fantasi”. Anak dengan senang hti percaya pada realita dari simbol-simbol fobia,
betapapun besarnya kekuatan penilaian intelektual yang dimiliki. Demikian pula,
anak-anak juga bisa bodoh. Kelemahan intelektual prematur seperti ini mendorong
Freud untuk mengasumsikan bahwa fobia bukanlah sekedar rasa takut biasa
terhadap suatu objek eksternal atau situasi yang bisa diatasi dengan cara
menghindarinya, namun lebih merupakan suatu tanggapan terhadap sebuah ancaman
yang terletak pada pikiran.
Tidak perlu waktu lama untuk
menegaskan apa yang sudah jelas: bahwa bukan objek fobia yang sebenarnya
menakutkan, dan bahwa sumber ketakutan terdapat dalam pikiran. Kesimpulan
seperti ini sebenarnya bisa diprediksi hanay menggunakan dasar-dasar logika
saat kita mempertimbangkan tentang berbagai macam fobia.
Phobia
adalah ketakutan yang berlebih-lebihan terhadap benda-benda atau
situasi-situasi tertentu yang seringkali tidak beralasan dan tidak berdasar
pada kenyataan.Istilah “fobia”
berasal dari kata “phobi”
yang artinya ketakutan atau kecemasan yang sifatnya tidak rasional; yang dirasakan
dan dialami oleh sesorang. Phobia merupakan suatu gangguan yang ditandai oleh ketakutan
yang menetap dan sangat tidak rasional terhadap suatu obyek atau situasi
tertentu.
Walaupun
ada ratusan macam phobia tetapi pada dasarnya phobia-phobia tersebut merupakan
bagian dari 3 jenis phobia, yang menurut buku DSM-IV (Diagnostic and
Statistical Manual for Mental Disorder IV) ketiga
jenis phobia itu adalah :
1. Phobia sederhana atau spesifik (Phobia terhadap suatu obyek/keadaan tertentu) seperti pada binatang, tempat tertutup, ketinggian, dan lain lain.
2. Phobia sosial (Phobia terhadap pemaparan situasi sosial) seperti takut jadi pusat perhatian, orang seperti ini senang menghindari tempat-tempat ramai.
3. Phobia kompleks (Phobia terhadap tempat atau situasi ramai dan terbuka misalnya di kendaraan umum/mall) orang seperti ini bisa saja takut keluar rumah.
Phobia dapat disebabkan oleh berbagai macam hal. Pada umumnya phobia
disebabkan karena pernah mengalami ketakutan yang hebat atau pengalaman pribadi
yang disertai perasaan malu atau bersalah yang semuanya kemudian ditekan
kedalam alam bawah sadar. Peristiwa traumatis di masa kecil dianggap sebagai
salah satu kemungkinan penyebab terjadinya phobia.
Lalu bagaimana menjelaskan tentang orang yang takut akan sesuatu
walaupun tidak pernah mengalami trauma pada masa kecilnya? Martin Seligman di
dalam teorinya yang dikenal dengan istilah biological preparedness mengatakan
ketakutan yang menjangkiti tergantung dari relevansinya sang stimulus terhadap
nenek moyang atau sejarah evolusi manusia, atau dengan kata lain ketakutan
tersebut disebabkan oleh faktor keturunan. Misalnya, mereka yang takut kepada
beruang, nenek moyangnya pada waktu masih hidup di dalam gua, pernah diterkam
dan hampir dimakan beruang, tapi selamat, sehingga dapat menghasilkan kita
sebagai keturunannya. Seligman berkata bahwa kita sudah disiapkan oleh sejarah
evolusi kita untuk takut terhadap sesuatu yang dapat mengancam survival kita.
Pada kasus phobia yang lebih parah, gejala anxiety neurosa menyertai
penderita tersebut. Si penderita akan terus menerus dalam keadaan phobia
walaupun tidak ada rangsangan yang spesifik. Selalu ada saja yang membuat
phobia-nya timbul kembali, misalnya thanatophobia (takut mati), dll.
Perlu kita ketahui bahwa phobia sering disebabkan oleh faktor
keturunan, lingkungan dan budaya. Perubahan-perubahan yang terjadi diberbagai
bidang sering tidak seiring dengan laju perubahan yang terjadi di masyarakat,
seperti dinamika dan mobilisasi sosial yang sangat cepat naiknya, antara lain
pengaruh pembangunan dalam segala bidang dan pengaruh modernisasi, globalisasi,
serta kemajuan dalam era informasi. Dalam kenyataannya perubahan-perubahan yang
terjadi ini masih terlalu sedikit menjamah anak-anak sampai remaja. Seharusnya
kualitas perubahan anak-anak melalui proses bertumbuh dan berkembangnya harus
diperhatikan sejak dini khususnya ketika masih dalam periode pembentukan
(formative period) tipe kepribadian dasar (basic personality type). Ini untuk
memperoleh generasi penerus yang berkualitas.
Berbagai ciri kepribadian/karakterologis perlu mendapat perhatian
khusus bagaimana lingkungan hidup memungkinkan terjadinya proses pertumbuhan
yang baik dan bagaimana lingkungan hidup dengan sumber rangsangannya memberikan yang terbaik
bagi perkembangan anak, khususnya dalam keluarga.
Berbagai hal yang berhubungan dengan tugas, kewajiban, peranan orang
tua, meliputi tokoh ibu dan ayah terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak,
masih sering kabur, samar-samar. Sampai saat ini masih belum jelas mengenai
ciri khusus pola asuh (rearing practice) yang ideal bagi anak. Seperti umur
berapa seorang anak sebaiknya mulai diajarkan membaca, menulis, sesuai dengan
kematangan secara umum dan tidak memaksakan. Tujuan mendidik, menumbuhkan dan
memperkembangkan anak adalah agar ketika dewasa dapat menunjukan adanya
gambaran dan kualitas kepribadian yang matang (mature, wel-integrated) dan
produktif baik bagi dirinya, keluarga maupun seluruh masyarakat. Peranan dan
tanggung jawab orang tua terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak adalah
teramat penting.
Ada juga yang mengatakan bahwa Fobia merupakan
suatu mekanisme pelarian diri dari konflik-konflik bathiniah dari jiwa
seseorang. Mungkin ada sekitar 80 atau bahkan 100 macam phobia yang dikenal
orang sekarang. Phobia- phobia itu menyebabkan timbulnya ketakutan yang absurd
dan tak masuk akal. Biasanya phobia-phobia tersebut berhubungan dengan
pengalaman-pengalaman yang terpendam, yang ditekan dalam-dalam dan dilupakan.
Fobia itu dipandang sebagai emosi-emosi substitusi dan seringkali disebut
neurosis yang ditekan (repressed neuroses). Ketakutan itu menimbulkan
sesuatu hal yang tak menyenangkan dan telah ditekan dalam lubuk jiwa kita.
Dengan kata lain phobia itu punya fungsi tertentu, yakni menyembunyikan atau
mengalihkan suatu rasa takut yang seluruhnya berbeda yaitu rasa takut
yang pernah sangat menyakitkan kesadaran kita.
Phobia merupakan suatu pelarian diri dari sejumlah konflik
psikis dari dalam diri kita. Rasa takut akan guruh dan halilintar mungkin dapat
menunjukkan adanya ketakutan pada suara ayah yang galak dan suka marah-marah.
Ketakutan-ketakutan atau distorsi emosional itu dapat ditelusuri kembali
kedalam pengalaman-pengalaman semasa kecil kita yang telah terpendam.
Pengalaman-pengalaman yang ditekan ini menimbulkan kecemasan kronis
dan tekanan batin yang hebat. Kecemasan tersebut disalurkan melalui
saluran-saluran fisik dan pada waktunya nanti akan semakin memperburuk fobianya Jika sudah terjadi seperti itu maka ‘lingkaran setan’ terus muncul
tanpa berkesudahan.Yang akhirnya akan membuat anda terus menerus ‘sakit’.
0 komentar:
Posting Komentar