Senin, 27 Januari 2014

FOBIA

Fobia dan fenomena fobia merupakan hal umum selama periode kanak-kanak, dan fobia dewasa seringkali bisa dijejaki kembali dari bentuk-bentukfobia awal yang pernah ada sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada dua teori fobia umum non-psikoanalitis yang telah menapai status “praktis”. Yang pertama adalah teori biologi yang mengasumsikan bahwa fobia (misalnya perasaan takut pada ular atau laba-laba atau tempat yang tinggi) merupakan sisa-sisa dari proses evolusi kita dimasa lalu dan mengacu pada bahaya nyata yang dihadapi oleh para pendahulu kita.

Pandangan nonpsikoanalitis kedua adalah sebuah teori “trauma” sederhana. Yang telah memperoleh kredibilitas puncaknya saat dipergunakan sebagai dasar sebuah serial televisi BBC. Misal seorng anak takut pada anjing karena, saat dia masih kecil, ada seekor anjing msuk ke dalam kereta dorongnya dan menakutinya.

Fobia merupakan suatu tanggapan terkondisi terhadap pengalaman yang sifatnya traumatis. Teori trauma dipergunakan untuk menjelaskan motivasi para tokoh tersebut atau ntuk memperoleh resolusi naratif.

Gagasan tentang trauma tampakny merupakan suatu penjelasan yang masuk akal sampai ditemukan bahwa, sebagai contohnya, fobia hanya selama berkembang beberapa tahun setelah terjadinya peristiwa yang traumatis, atau peristiwa tu hanya diketahui melalui informasi yang diberikan oleh pihak orang tua. Bila kita menjajaki kembali masalah fobia pada peristiwa traumatis, maka kita seringkali akan menemukan suatu sintesis yang kompleks atas sejumlah faktor.

Dalam satu contoh, rasa takut terhadap burung dan bulu burung memiliki keterkaitan dangan suatu peristiwa, di mana seekor burung masuk ke dalam sebuah ruangan dan tidak bisa keluar. Seorang anak bersama neneknya tidak mampu menguasai diri saat burung tersebut terbang kesana kemari dan menabrak benda-benda yang ada di ruangan tersebut, sehingga bulu-bulunya banyak berjatuhan. Sang anak menjadi takut, saat mengamati burung tersebut berusaha dengan ketakutan untuk keluar dari ruangan itu serta saat melihat apa yang dilakukan oleh neneknya untuk membantu burung itu.

Para psikoloanalisis berusaha mempelajari elemen-elemen dari kisah ini dan memberikan bobot pada masing-masing elemen tersebut : faktor ketidakberdayaan, ketidakadaan sang ibu, ketakutan sang nenek, bulu-bul yang berjatuhan, ketakutan akan ancaman, perasaan terjebak, burung sebagai pengejawantahan agresi, asosiasi antara burung (dalam beberapa budaya dan cerita rakyat) dengan kematian, dan sebagainya.

Peristiwa traumatis ini tidak dilihat sebagai gangguan yang menyimpang dari masa kecil yang bahagia, namun sebgai bagian dari kisah yang lebih besar tentang kehidupan emosional seseorang, dengan badai arus perasaan yang muncul dengan tanpa bisa dihindari.

Kisah tentang teman saya yang mengalami perasaan takut saat menyebrang jembatan jelas menunjukkan adanya suatu fobia dalam kapasitasnya sebagai “ketakutan irasional”. Orang yang mengalai fobia tidak benar-benar mengetahu mengapa dirinya takut dalam tingkatan yang lebih besar, dibandingkan dengan seseorang yangtertawa mendengarkan sebuah lelucon dan mengetahui mengapa dia tertawa. Memang akan kelihatan aneh bila kita mengatakan : “saya takut menyebrang jembatan”. Namun demikian pengakuan atas “irasionalitas” hanya memberikan sedikit perbedaan pada realits psikis bagi individu yang mengalami fobia.

Dalam kaitannya dentgan reaksi fobia, individu yang mengalaminya bisa dikatakan berada dalam suatu keadaan yang aneh di mana dia mengetahui seseuatu, namun pada saat yang sama dia juga tidak mengetahuinya. Dalam hal ini objek fobia ada dalam dua bagian mental sekaligus, dan keduanya sama-sama nyata bagi individu yang bersangkutan.

Dalam fobia, seperti haknya dalam semua bentuk neurosis, kita bergerak di “negeri antah berantah antara realitas dan fantasi”. Anak dengan senang hti percaya pada realita dari simbol-simbol fobia, betapapun besarnya kekuatan penilaian intelektual yang dimiliki. Demikian pula, anak-anak juga bisa bodoh. Kelemahan intelektual prematur seperti ini mendorong Freud untuk mengasumsikan bahwa fobia bukanlah sekedar rasa takut biasa terhadap suatu objek eksternal atau situasi yang bisa diatasi dengan cara menghindarinya, namun lebih merupakan suatu tanggapan terhadap sebuah ancaman yang terletak pada pikiran.

Tidak perlu waktu lama untuk menegaskan apa yang sudah jelas: bahwa bukan objek fobia yang sebenarnya menakutkan, dan bahwa sumber ketakutan terdapat dalam pikiran. Kesimpulan seperti ini sebenarnya bisa diprediksi hanay menggunakan dasar-dasar logika saat kita mempertimbangkan tentang berbagai macam fobia.

Phobia adalah ketakutan yang berlebih-lebihan terhadap benda-benda atau situasi-situasi tertentu yang seringkali tidak beralasan dan tidak berdasar pada kenyataan.Istilah “fobia berasal dari kata phobi yang artinya ketakutan atau kecemasan yang sifatnya tidak rasional; yang dirasakan dan dialami oleh sesorang. Phobia merupakan suatu gangguan yang ditandai oleh ketakutan yang menetap dan sangat tidak rasional terhadap suatu obyek atau situasi tertentu.

Walaupun ada ratusan macam phobia tetapi pada dasarnya phobia-phobia tersebut merupakan bagian dari 3 jenis phobia, yang menurut buku DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder IV) ketiga jenis phobia itu adalah :
1.      Phobia sederhana atau spesifik (Phobia terhadap suatu obyek/keadaan tertentu) seperti pada binatang, tempat tertutup, ketinggian, dan lain lain.
2.      Phobia sosial (Phobia terhadap pemaparan situasi sosial) seperti takut jadi pusat perhatian, orang seperti ini senang menghindari tempat-tempat ramai.
3.      Phobia kompleks (Phobia terhadap tempat atau situasi ramai dan terbuka misalnya di kendaraan umum/mall) orang seperti ini bisa saja takut keluar rumah.
Phobia dapat disebabkan oleh berbagai macam hal. Pada umumnya phobia disebabkan karena pernah mengalami ketakutan yang hebat atau pengalaman pribadi yang disertai perasaan malu atau bersalah yang semuanya kemudian ditekan kedalam alam bawah sadar. Peristiwa traumatis di masa kecil dianggap sebagai salah satu kemungkinan penyebab terjadinya phobia.

Lalu bagaimana menjelaskan tentang orang yang takut akan sesuatu walaupun tidak pernah mengalami trauma pada masa kecilnya? Martin Seligman di dalam teorinya yang dikenal dengan istilah biological preparedness mengatakan ketakutan yang menjangkiti tergantung dari relevansinya sang stimulus terhadap nenek moyang atau sejarah evolusi manusia, atau dengan kata lain ketakutan tersebut disebabkan oleh faktor keturunan. Misalnya, mereka yang takut kepada beruang, nenek moyangnya pada waktu masih hidup di dalam gua, pernah diterkam dan hampir dimakan beruang, tapi selamat, sehingga dapat menghasilkan kita sebagai keturunannya. Seligman berkata bahwa kita sudah disiapkan oleh sejarah evolusi kita untuk takut terhadap sesuatu yang dapat mengancam survival kita.

Pada kasus phobia yang lebih parah, gejala anxiety neurosa menyertai penderita tersebut. Si penderita akan terus menerus dalam keadaan phobia walaupun tidak ada rangsangan yang spesifik. Selalu ada saja yang membuat phobia-nya timbul kembali, misalnya thanatophobia (takut mati), dll.

Perlu kita ketahui bahwa phobia sering disebabkan oleh faktor keturunan, lingkungan dan budaya. Perubahan-perubahan yang terjadi diberbagai bidang sering tidak seiring dengan laju perubahan yang terjadi di masyarakat, seperti dinamika dan mobilisasi sosial yang sangat cepat naiknya, antara lain pengaruh pembangunan dalam segala bidang dan pengaruh modernisasi, globalisasi, serta kemajuan dalam era informasi. Dalam kenyataannya perubahan-perubahan yang terjadi ini masih terlalu sedikit menjamah anak-anak sampai remaja. Seharusnya kualitas perubahan anak-anak melalui proses bertumbuh dan berkembangnya harus diperhatikan sejak dini khususnya ketika masih dalam periode pembentukan (formative period) tipe kepribadian dasar (basic personality type). Ini untuk memperoleh generasi penerus yang berkualitas.

Berbagai ciri kepribadian/karakterologis perlu mendapat perhatian khusus bagaimana lingkungan hidup memungkinkan terjadinya proses pertumbuhan yang baik dan bagaimana lingkungan hidup dengan sumber rangsangannya memberikan yang terbaik bagi perkembangan anak, khususnya dalam keluarga.

Berbagai hal yang berhubungan dengan tugas, kewajiban, peranan orang tua, meliputi tokoh ibu dan ayah terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, masih sering kabur, samar-samar. Sampai saat ini masih belum jelas mengenai ciri khusus pola asuh (rearing practice) yang ideal bagi anak. Seperti umur berapa seorang anak sebaiknya mulai diajarkan membaca, menulis, sesuai dengan kematangan secara umum dan tidak memaksakan. Tujuan mendidik, menumbuhkan dan memperkembangkan anak adalah agar ketika dewasa dapat menunjukan adanya gambaran dan kualitas kepribadian yang matang (mature, wel-integrated) dan produktif baik bagi dirinya, keluarga maupun seluruh masyarakat. Peranan dan tanggung jawab orang tua terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak adalah teramat penting.

Ada juga yang mengatakan bahwa Fobia merupakan suatu mekanisme pelarian diri dari konflik-konflik bathiniah dari jiwa seseorang. Mungkin ada sekitar 80 atau bahkan 100 macam phobia yang dikenal orang sekarang. Phobia- phobia itu menyebabkan timbulnya ketakutan yang absurd dan tak masuk akal. Biasanya phobia-phobia tersebut berhubungan dengan pengalaman-pengalaman yang terpendam, yang ditekan dalam-dalam dan dilupakan.

Fobia itu dipandang sebagai emosi-emosi substitusi dan seringkali disebut neurosis yang ditekan (repressed neuroses). Ketakutan itu menimbulkan sesuatu hal yang tak menyenangkan dan telah ditekan dalam lubuk jiwa kita. Dengan kata lain phobia itu punya fungsi tertentu, yakni menyembunyikan atau mengalihkan suatu rasa takut yang seluruhnya berbeda yaitu rasa takut yang pernah sangat menyakitkan kesadaran kita.

Phobia merupakan suatu pelarian diri dari sejumlah konflik psikis dari dalam diri kita. Rasa takut akan guruh dan halilintar mungkin dapat menunjukkan adanya ketakutan pada suara ayah yang galak dan suka marah-marah. Ketakutan-ketakutan atau distorsi emosional itu dapat ditelusuri kembali kedalam pengalaman-pengalaman semasa kecil kita yang telah terpendam.


Pengalaman-pengalaman yang ditekan ini menimbulkan kecemasan kronis dan tekanan batin yang hebat. Kecemasan tersebut disalurkan melalui saluran-saluran fisik dan pada waktunya nanti akan semakin memperburuk fobianya Jika sudah terjadi seperti itu maka ‘lingkaran setan’ terus muncul tanpa berkesudahan.Yang akhirnya akan membuat anda terus menerus ‘sakit’.

0 komentar:

Posting Komentar