Senin, 27 Januari 2014

Penyesuaian Diri Dalam Perkawinan

1. Pengertian Penyesuaian Diri dalam Perkawinan
 Sebelum membahas teori tentang penyesuaian diri dalam perkawinan, terlebih dahulu akan dibahas mengenai penyesuaian diri secara umum. Hal ini dikarenakan penyesuaian diri merupakan bagian dari penyesuaian perkawinan.  Atwater (1983) mengemukan salah satu konsep tentang penyesuaian yaitu penyesuaian diri merupakan suatu perubahan yang dialami seseorang untuk mencapai  suatu hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya.
Bila diperhatikan lebih lanjut, tampaknya ada tiga elemen di dalam proses penyesuaian diri tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Atwater (1983). Ketiga elemen tersebut adalah diri seseorang (ourselves), orang lain (others) dan perubahan (changes). Ketiga elemen ini merupakan unsur yang ada dalam setiap proses adaptasi.  Selain itu, Lazarus (1976) mengatakan bahwa penyesuaian diri dapat dilihat melalui dua perspektif, antara lain :
 a. Penyesuaian sebagai hasil (Adjustment as an achievement).
 Di sini penyesuaian menyangkut kemampuan, hasil, atau status akhir. Dalam pandangan ini, seseorang dikategorikan mampu menyesuaikan diri dengan baik (adjusted) atau tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik (maladjusted). (Haber & Runyon 1984).
  b. Penyesuaian sebagai proses (Adjustment as a process).
Di sini penyesuaian dipandang sebagai proses yang sedang berlangsung, atau sebagai suatu keadaan yang tengah atau terus berlangsung. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu perubahan yang dialami seseorang dalam hidupnya sebagai suatu proses yang sedang berlangsung, atau sebagai suatu keadaan yang tengah atau terus berlangsung untuk mencapai suatu  hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.


2. Karakteristik Penyesuaian Diri dalam Perkawinan
Menurut Haber & Runyon (1984) ada beberapa karakteristik penyesuaian diri yang baik yang harus dimiliki oleh seseorang, yaitu :
a.       Memiliki Persepsi yang Akurat terhadap Realitas atau Kenyataan (Accurate Perception of Reality).
Persepsi yang dimiliki individu biasanya diwarnai dengan keinginan dan  motivasinya. Hanya pada saat-saat tertentu individu dapat melihat dan mendengar  apa yang benar-benar dilihat dan didengar. Sehubungan dengan persepsi yang  akurat terhadap kenyataan, aspek yang terpenting adalah kemampuan individu untuk mengenali konsekuensi dari tindakannya dan mengarahkan tingkah lakunya
b.      .Mampu Mengatasi atau Menangani Stres dan Kecemasan (Ability to Cope with Stress and Anxiety)
Di dalam kehidupan, individu sering menghadapi berbagai macam masalah. Masalah-masalah tersebut ada yang dapat diatasi, namun ada juga yang tidak  berhasil ditangani dengan baik. Masalah yang tidak terselesaikan akan
 menimbulkan rasa kecewa, stres, kecemasan bahkan rasa tidak bahagia dalam diri  individu.
c.       Memiliki Citra Diri yang Positif (A Positive Self Image)
Banyak psikolog sepakat bahwa persepsi diri seseorang itu merupakan indicator dari kualitas penyesuaian dirinya.
d. Mampu untuk Mengekspresikan Perasaan (Ability to Express Feeling)
            Penyesuaian diri yang sehat dilandasi dengan kontrol diri yang baik, yaitu tidak mengontrol diri secara berlebihan namun juga bukan berarti lepas kontrol sama sekali.
 e. Memiliki Hubungan Interpersonal yang Baik (Good Interpersonal Relation)
            Orang yang penyesuaian dirinya efektif, mampu untuk mencapai tingkat  keakraban (intimacy) yang cocok dalam hubungan sosialnya. Mereka biasanya  kompeten dan selalu merasa nyaman ketika berinteraksi dengan orang lain. Selain  itu, mereka pun akan membuat orang lain merasa nyaman ketika ia ada bersamanya.
           Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki  penyesuaian diri yang baik adalah mereka yang dengan keterbatasan, kemampuan serta kepribadiannya untuk bereaksi terhadap lingkungan dengan cara yang matang, efisien, bermanfaat dan memuaskan. Dengan demikian, agar individu dapat  menyesuaikan diri dengan baik, maka ia harus memiliki beberapa karakteristik diantaranya adalah memiliki persepsi yang akurat terhadap realitas, mampu mengatasi  kecemasan, memiliki citra diri yang positif, mampu mengekspresikan perasaan, dan  memiliki hubungan interpersonal yang baik. Sedangkan individu yang memiliki penyesuaian diri yang tidak baik adalah mereka yang tidak mampu mengatasi konflik  yang dimilikinya sehingga menimbulkan perasaan frustrasi pada dirinya.


3. Area Penyesuaian Diri dalam Perkawinan  John, Sutton & Webster (1970) menyatakan bahwa ada beberapa area  penyesuaian pada suatu perkawinan, yaitu :
   a. Kepribadian dan Kemampuan untuk Saling Menyesuaikan Diri dengan Pasangan  (Personality-Getting Along with Each Other).  Hal ini menyangkut kemampuan untuk saling menyesuaikan diri terhadap pribadi serta kebiasaan-kebiasaan pasangannya.
   b. Pembagian Peran (Roles).
 Suami-istri harus membicarakan peran-peran yang berkaitan dengan tugasnya sebagai suami-istri.
   c. Pendapatan Keluarga (Family Income).
Pada area ini, pasangan suami-istri harus melakukan penyesuaian terhadap pengelolaan pendapatan atau sumber keuangan keluarga termasuk pemakaiannya.
   d. Rekreasi atau Kegiatan Waktu Luang (Recreation).
Kesesuaian antara suami dan istri mengenai pemakaian waktu bagi keluarga untuk  berekreasi atau bersenang-senang bersama keluarga.


4. Kriteria Penyesuaian Diri dalam Perkawinan.
            Burgess & Locke (1960) membatasi kriteria penyesuaian dalam perkawinan yang ditandai oleh hal-hal berikut :
   a. Adanya kesesuaian pendapat antara suami dan istri dalam hal-hal yang dapat  menjadi permasalahan berat/ besar.
   b. Adanya minat dan kegiatan bersama.
   c. Adanya pengungkapan kasih sayang dan rasa saling percaya.
   d. Memiliki sedikit keluhan.
   e. Tidak banyak memiliki perasaan kesepian, sedih, marah dan semacamnya.

            Burgess & Locke (1971) mengungkapkan 9 faktor dasar yang mempengaruhi  penyesuaian perkawinan, yaitu :
   a. Karakteristik Pribadi.
  Persamaan karakteristik pribadi antar pasangan suami-istri sangat berhubungan dengan penyesuaian perkawinan.
   b. Latar-Belakang Budaya.
              Persamaan latar-belakang budaya adalah suatu hal yang menguntungkan bagi  suami-istri.
   c. Partisipasi Sosial.
            Kepuasan perkawinan sangat berhubungan dengan jumlah orang yang dekat dengan pasangan suami-istri.
   d. Pengalaman Berhubungan dengan Lawan Jenis.
Masa pacaran dan pertunangan yang cukup lama berhubungan dengan penyesuaian perkawinan yang mudah, sedangkan keterbatasan waktu berhubungan akan berdampak pada kesulitan penyesuaian perkawinan.
   e.  Usia Saat Menikah.
            Usia adalah faktor yang turut menentukan keberhasilan penyesuaian perkawinan.
   f.  Pendidikan.
            Individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki penyesuaian  perkawinan yang lebih baik bila dibandingkan dengan individu yang tingkat  pendidikannya rendah.
   g.  Penyesuaian Terhadap Keluarga.
            Seorang pria atau wanita yang menikah tidak hanya menikahi pasangannya saja  tetapi juga menikah dengan keluarga pasangannya.
   h.  Tingkah Laku Seksual.
            Penyesuaian perkawinan juga berhubungan dengan persamaan nilai dan harapan  pasangan suami-istri dalam masalah seks.
   i.  Jumlah Anak.
             Karena setiap pasangan suami-istri memiliki perbedaan tentang jumlah anak  yang diinginkan  sesuai dengan latar-belakang yang ada pada pasangan  suami-istri.


5. Tahap – Tahap Perkawinan.
           Kurdek & Smith (dalam Hoffman, Paris & Hall 1994) menyatakan bahwa ada tiga tahap yang dilalui pasangan suami-istri dalam usaha membangun pernikahan  mereka, yaitu :
   a. Fase Blending yang terjadi pada tahun pertama.
            Suami dan istri belajar hidup bersama dan memahami bahwa mereka saling tergantung sehingga perbuatan seseorang akan mempunyai konsekuensi terhadap  yang lain.
   b. Fase Nesting yang terjadi antara tahun kedua dan ketiga.
Suami dan istri mengeksplorasi batas-batas kecocokan mereka sehingga mulai  timbul konflik-konflik dalam pernikahan.
   c. Fase Maintaining biasanya dimulai setelah tahun keempat.
            Pada fase ini tradisi sudah mulai terbentuk dan konflik yang muncul pada fase sebelumnya biasanya sudah mulai dapat teratasi. Kualitas dari pernikahan itu pun sudah mulai terlihat.

0 komentar:

Posting Komentar